Women Lead Pendidikan Seks
February 21, 2020

Sebenarnya Kita Berproses Jadi Lebih Baik atau Sekadar Mabuk Berhijab?

Perempuan masih saja menghakimi perempuan lain soal pilihannya untuk berhijab atau tidak, atau apakah hijabnya cukup syar’i.

by Dinna Leili Fauzia
Issues // Politics and Society
Share:

Begitu banyak narasi negatif yang kita baca terkait pemakaian hijab, dan semakin ke sini, saya semakin miris. Teguran keras sering ditujukan kepada perempuan muslim yang tidak mengenakan hijab atau perempuan yang dinilai hijabnya belum sesuai syariat.

Darurat toleransi mungkin pantas disematkan masyarakat kita, lebih-lebih perempuan. Maaf saya sebut perempuan, karena kelihatannya banyak pelakunya adalah sesama perempuan.

Tafsiran mengenai wajib tidaknya perempuan muslim mengenakan hijab itu beragam. Salah satunya saya temukan dalam buku K.H. Quraish Shihab yang berjudul Jilbab. Di buku itu dikisahkan bahwa Umar bin Khattab, salah satu sahabat terdekat Nabi, melarang keras hamba sahaya (budak) memakai jilbab (hijab). Pasalnya pada saat itu, jilbab merupakan tanda strata atau status sosial seseorang. Namun di sisi lain, ada juga penjelasan Quraish Shihab bahwa tidak bisa dimungkiri, jilbab bisa menjadi salah satu alat menjaga diri bagi perempuan. Ini penjelasan beliau, terlepas adanya fakta bahwa otak laki-laki bisa tergoda meski perempuan mengenakan pakaian sangat tertutup sekalipun.

Di samping dua argumen tadi, Quraish Shihab juga mencantumkan pendapat ulama-ulama kenamaan zaman dahulu sampai dengan mufti-mufti dari Mesir yang memfatwakan pemakaian jilbab. Apakah itu wajib atau sunah, semuanya dilandasi dalil ayat dan hadis yang melalui ijtihad (pemikiran sungguh-sungguh) sehingga membuahkan fatwa.

Dari semua referensi bacaan yang saya ketahui, Nabi Muhammad SAW  tidak pernah memaksa orang lain untuk beriman kepadanya. Bahkan beliau bersikap sangat hati-hati ketika menegur umatnya yang sekiranya melenceng dari ajarannya. Beliau lebih cenderung memberi suri teladan yang membuat orang lain terpukau dan pada akhirnya bersyahadat. Cara beliau sungguh anggun dalam mendekati mereka-mereka yang masih menyembah berhala.

Nabi Muhammad sangat paham sifat dasar manusia yang respek terhadap orang yang membuat dia nyaman, bukan sebaliknya. Tidak dengan nada kasar, kekerasan, ujaran kebencian atau narasi-narasi sepadan. Tidak pula dengan menyuruh orang kembali menyembah berhala (mengafirkan) jika orang tersebut tidak sependapat dengan beliau.

Baca juga: Rina Nose dan Seni Mencintai Diri Tanpa Atribut Agama

Hal itu berlawanan dengan yang banyak dilakukan orang akhir-akhir ini, menyuruh orang lain untuk memeluk agama yang lain jika tidak sependapat dengan pemahaman dia (seperti yang pernah juga saya alami). Pertanyaan besarnya, Nabi saja tidak demikian, lha kamu tuh sebenarnya pengikutnya siapa?

Banyak orang yang merasa agama yang dianutnya paling benar dan mereka mengumbar hal tersebut. Merasa menganut agama paling benar dan lebih baik dari orang lain saya ibaratkan ekstasi. Nikmatnya berubah menjadi candu kalau tidak diketahui takaran tepatnya. Semakin berlebihan ia menginterpretasikan agamanya, semakin menjauh ia dari hakikat beragama itu sendiri.

Berita baiknya, ternyata banyak ulama sekarang yang mengajak kita membuka mata, membuka pikiran. Mereka  “menghalalkan” kita untuk berpikir dengan menyesuaikan kondisi zaman. Sebagai contoh, dalam fikih, terdapat penjelasan bahwa perempuan boleh dinikahi pada usia berapa pun. Seiring dengan itu, ada penjelasan kapan bolehnya diajak berhubungan badan. Beruntunglah hukum pernikahan di Indonesia mengharuskan batas usia tertentu bagi perempuan menikah yang dimuat dalam Undang-Undang Perkawinan. Hal ini mengindikasikan adanya kemajuan dalam upaya mendobrak budaya patriarkis yang berakar pada kebiasaan zaman dahulu dan diterapkan dalam fikih islam.

Fikih ulama terdahulu merupakan hasil pemikiran yang mendasarkan dari penafsiran ayat-ayat Al-Quran dan hadis. Hasil pemikiran-pemikiran tersebut sangat mungkin dipengaruhi hal-hal lain yang sangat krusial pada saat itu. Misalnya saja, ada kecenderungan politik tertentu atau pengalaman-pengalaman lain yang sangat dipengaruhi budaya setempat. Hal ini berpengaruh pada perlakuan terhadap ulama-ulama yang berbeda pandangan dengan pihak yang sedang berkuasa. Tidak sedikit ulama yang berakhir di tiang gantungan karena berbeda pandangan dengan penguasa saat itu.

Jadi mungkin (bisa saja pandangan saya salah), Islam membutuhkan perkembangan dan tak sepenuhnya perlu merujuk pada fikih ulama terdahulu yang memang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Sebagai informasi, agama Islam dan fikih Islam itu dua hal yang berbeda. Islam membawa Al-Quran dan hadis sebagai dasar, sedang fikih merupakan bidang ilmu dalam syariat Islam yang membahas persoalan hukum terkait berbagai aspek manusia dengan Tuhan.

Baca juga: Hijab dan Kita yang Tak Pernah Diberi Pilihan

Fikih merupakan hasil pemikiran ulama yang didasarkan oleh banyak hal seperti tafsiran Al-Quran dan hadis. Hadis sendiri adalah sesuatu yang secara turun temurun diyakini merupakan perkataan atau perbuatan Nabi Muhammad SAW. Proses munculnya hadis tidak sebentar. Contohnya, Imam Bukhari menyeleksi hadis selama 16 tahun guna mendapatkan hadis yang ia yakini sanad kebenarannya.

Kembali ke soal hijab, dari deskripsi yang saya sampaikan tadi, terbayang kan betapa kompleksnya interpretasi tentang suatu hal, misalnya pemakaian hijab.

Saya sendiri masih berproses belajar mendalami hakikat pemakaian hijab. Namun menurut saya, perempuan boleh kok, memutuskan untuk berhijab ataupun tidak dengan beragam alasan. Kalaupun pada akhirnya ia memilih berhijab, bisa saja alasannya hanya diketahui dirinya sendiri dan Tuhan. Bisa juga untuk menutupi jidat jenong misalnya, agar pipi tampak lebih tirus, agar merasa lebih aman, atau agar terdorong untuk terus memperbaiki akhlaknya. Kalau alasannya agar tampak lebih salihah, itu juga urusan dia. Tapi, lain cerita kalau seseorang memilih berhijab lalu berkoar-koar menyatakan diri lebih baik dan lebih salihah dari orang lain.

Dari adanya narasi negatif soal pemakaian hijab, saya jadi berpikir, sebenarnya kita sedang berusaha berproses menjadi lebih baik, atau sekadar mabuk berhijab? Hal-hal semacam ini hanya akan membesarkan rasa apatis atau menghasilkan narasi kejelekan pada agama itu sendiri. Mari kembali menengok teladan Nabi Muhammad SAW dan usahakan bercermin pada beliau. Jangan mengikuti nafsu untuk mendapatkan pengakuan orang lain bahwa kamu itu lebih baik dengan hijab yang kau kenakan saat ini.