Dorongan Presiden Jokowi untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) lewat pernyataannya pada (4/1), semakin menyadarkan masyarakat pentingnya RUU tersebut.
Ini dibuktikan melalui hasil survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC). Pada survei yang dilakukan lewat telepon pada 5-7 Januari lalu, 39 persen warga mengaku mengetahui penyusunan RUU TPKS, dan 65 persen di antaranya setuju dengan permintaan Jokowi agar segera disahkan.
Dalam perilisan hasil survei yang digelar daring pada (10/1), Manager Program SMRC Saidiman Ahmad menuturkan, persentase itu meningkat dari survei sebelumnya yang cenderung konsisten sejak Maret 2021.
Kendati demikian, hal tersebut kontradiktif dengan masyarakat yang memilih PKS dan Demokrat. Merujuk hasil survei, hanya 37 persen pemilih yang menyetujui pengesahan RUU TPKS. Begitu pula dengan segelintir wakil rakyat dari fraksi PKS, enggan mengesahkan draf yang mangkrak selama enam tahun itu.
Baca Juga: Tolak RUU PKS, Mereka Berlindung di Balik Kedok Feminisme
Pada acara itu, Ledia Hanifa Amalia selaku Anggota Komisi X menyatakan sikap. Mewakilkan fraksi PKS di DPR, Ledia mengatakan RUU ini tidak perlu disahkan dengan tergesa-gesa.
“RUU TPKS harus mencakup kebebasan dan penyimpangan seksual,” tegasnya.
Ia mengatakan, penolakan tersebut lantaran ada tiga hal yang berkaitan dengan pidana dan seharusnya diselesaikan secara bersamaan, yakni kekerasan, kebebasan, dan penyimpangan. Yang menjadi kekhawatiran lainnya, RUU TPKS tidak menjerat kebebasan dan penyimpangan seksual, sehingga wujudnya seperti sexual consent pada budaya barat.
Irasionalitas dalam Melihat Isu Kekerasan Seksual
Tampaknya, permasalahan pengesahan RUU TPKS masih berputar pada lingkaran yang sama. Sebagian pihak berkeringat dingin, membayangkan jika draf ini sah sebagai UU, artinya negara ini melegalkan zina dan komunitas LGBT. Atau melihat isu kekerasan seksual sebagai permasalahan genital, lepas dari relasi kuasa dalam hubungan.
Baca Juga: Permendikbud Kekerasan Seksual yang Penuh 'Catatan Kaki'
“Memang ada Perpu kebiri, tapi kekerasan seksual semakin tinggi,” ujar Yuniyanti Chuzaifah, seorang pegiat HAM perempuan. Menurutnya, peraturan tersebut tidak melihat pemikiran pelaku kekerasan sehingga sulit dibuktikan dan dieksekusi.
Tak hanya itu, dengan gegabah segelintir masyarakat kalut dalam asumsi RUU ini. Mereka menyimpulkan tindakan ini hanya terjadi pada malam hari, di tempat sepi, korban mengenakan pakaian minim, atau berjalan sendirian. Ujung-ujungnya menyalahkan korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan.
Ditambah dugaan terhadap komunitas LGBT yang dianggap pelaku ulung dalam tindak kejahatan. Mantan Ketua Komnas Perempuan periode 2010-2014 itu menyayangkan, bagaimana mereka diperlakukan layaknya penyandera dalam persoalan keadilan gender dan penghapusan kekerasan seksual. Padahal, banyak masyarakat hetero yang melakukan kejahatan lebih besar dan sadis.
“Apakah kejahatan yang dilakukan orang heteroseksual tidak dianggap sebagai penyimpangan?” tanyanya.
Sementara pemahaman melegalkan zina dikategorikan sebagai simplifikasi kekerasan seksual dan dinilai berbahaya.
Pasalnya, laki-laki dapat melarikan diri, sedangkan perempuan adalah “peninggalan jejak” lantaran bisa hamil, bahkan kehilangan nyawa baik saat memutuskan menggugurkan kandungan maupun melahirkan.
Belum lagi pada ajaran agama tertentu, laki-laki bisa menikah lebih dari satu kali, menjadi “poin plus” untuk terlepas dari jeratan zina. Atau melakukan poligami di luar pengadilan yang terhitung sebagai kejahatan perkawinan.
Baca Juga: RUU PKS Sejalan dengan Ajaran Islam
Pentingnya Memahami Substansi RUU TPKS
Bertujuan menjamin keamanan masyarakat dari kasus kekerasan seksual, serta melindungi dan memenuhi hak-hak korban, sejumlah pihak masih memandang RUU TPKS lewat perspektif bias. Tanpa pemahaman yang benar, mereka membangun pola pikirnya sendiri. Padahal draf disusun berdasarkan fakta, data, dan pengalaman dari berbagai peristiwa.
“Sejak awal, saya mengajak berdiskusi tentang substansi, hal-hal logis yang secara akademis memiliki metode,” jelas Ketua DPP Nasdem Taufik Basari, menanggapi bias terhadap RUU ini.
Permasalahannya, hoaks dan fitnah terkait RUU TPKS terus beredar. Misalnya melegalkan prostitusi, hanya melindungi perempuan, pro terhadap seks bebas dan melegalkan LGBT, hingga mempidanakan perkawinan poligami. Beberapa hal tersebut membentuk keresahan dan perlu dijelaskan agar tidak menghambat pengesahan.
Dalam pemaparan hasil survei SMRC, Taufik menjelaskan upayanya bersama anggota DPR lainnya, meyakinkan berbagai fraksi untuk mendukung RUU TPKS agar semakin kuat.
Ia mengaku sering kali pembahasannya meluas ke hal-hal lain, dan meluruskan pemahaman akan tujuan RUU itu tidaklah mudah. Ditambah adanya proses politik dalam penyusunan, membuat beberapa aspek mengalami penyesuaian, sesuai diskusi dalam Badan Legislasi (Baleg).
Serupa dengan pemaparan kepada masyarakat, dalam diskusi tersebut terdapat penjelasan substansi yang membutuhkan proses, untuk keluar dari kekeliruan narasi dan menghasilkan kesamaan pemikiran. Anggota Komisi III DPR RI itu menegaskan, langkah ini merupakan proses edukasi yang harus dibangun perlahan.
“Kalau pengetahuan masyarakat tentang RUU ini meningkat, pengesahannya dapat semakin didorong,” tuturnya.
Jika melihat semakin tingginya kesadaran masyarakat akan kekerasan seksual, bertambahnya pihak yang berani berbicara dan melaporkan, serta memiliki keberanian melindungi dan memihak pada korban, sepertinya kita dapat berharap perjalanan ini berakhir pada titik terang.
Comments