Ketika NCT Dream tiba di Indonesia pada (19/5), sejumlah NCTZen—sebutan untuk penggemarnya—memadati Bandara Soekarno Hatta untuk menyambut kedatangan mereka.
Dalam berbagai unggahan yang dipublikasikan warganet, mereka tampak berlarian demi mengejar idolanya. Bahkan, aksinya itu kurang memerhatikan keadaan sekitar, sampai menginjak rumput yang notabene merupakan fasilitas bandara. Mereka juga dinilai kurang mempertimbangkan kenyamanan penumpang lain.
Perilaku tersebut adalah contoh pelanggaran privasi yang dilakukan penggemar. Pasalnya, anggota boyband asal Korea Selatan itu sedang berada di ruang publik, alih-alih melakukan pekerjaannya di atas panggung.
Sayangnya, dalam hemat saya, sering kali sebagian penggemar bertindak di luar batas. Mereka memanfaatkan momentum kedatangan idolanya untuk sekadar melihat dari dekat, dan berinteraksi.
Perilaku serupa tidak hanya dilakukan penggemar. Masyarakat umum juga terlibat dalam pelanggaran privasi figur publik.
Masih seputar kedatangan NCT Dream ke Indonesia, sekelompok perempuan yang mengaku bukan fans, menginap di hotel yang sama dengan mereka. Ingin merasakan euforia kedatangan boyband tersebut, katanya. Namun, yang dilakukan lebih dari itu.
Di Instagram, mereka mengunggah foto dengan suasana kamar yang sama dengan personel NCT Dream, lalu mempublikasikan lokasi hotelnya. Selain itu, mereka memotret salah satu anggota yang berdiri enggak jauh di depannya.
Di Korea Selatan, tindakan itu disebut sasaeng. Definisi untuk penggemar obsesif yang ingin lebih dekat dengan idolanya.
Mereka melakukan sejumlah kegiatan yang mengganggu privasi figur publik. Misalnya camping di halaman rumah, kejar-kejaran dengan kendaraan yang ditumpangi idola, hingga menjual data pribadi idolanya.
Perbuatan itu menegaskan, kehidupan selebritis sepenuhnya di tangan publik. Hanya karena berstatus figur publik, batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur. Namun, apakah mereka pantas menerima perlakuan yang mengganggu privasinya?
Baca Juga: Dangkal dan Sensasional: Wajah Selebriti di Media Massa
Kehidupan Pribadi Selebritis Dikonsumsi Publik
“Cekrek cekrek hengpong jadul.”
Siapa yang masih familier dengan kalimat caption andalan akun Instagram Lambe Turah, kala mengunggah update terbaru dari selebritis kiriman warganet.
Memang enggak bisa dimungkiri, kehadiran media sosial juga berperan dalam pelanggaran privasi selebritis. Layaknya paparazzi dadakan, warganet cukup bermodalkan smartphone, kuota, dan akun media sosial. Siapa saja bisa bikin “laporan terbaru” tentang figur publik yang ditemui. Tanpa sepengetahuan, apalagi persetujuan mereka.
Mirisnya, era digital ini bikin warganet enggak sadar, kita enggak bisa memotret siapa pun, termasuk figur publik seenaknya. Mereka juga kerap gagal paham dengan menganggap kehidupan pribadi mereka yang terekspos adalah risiko dari pekerjaannya.
Dalam Celebrities’ Rights to Privacy: How Far Should the Paparazzi Be Allowed to Go? (2013) peneliti Jamie Nordhaus menyebutkan, sebenarnya citra yang dibangun oleh selebritis, secara esensial diorbitkan sebagai konsumsi publik.
Karena itu, mereka memiliki kebutuhan untuk mempertahankan imejnya. Namun, secara tidak sadar, publik mempersepsikan kehidupan selebriti juga milik mereka. Alhasil, mereka bertindak seenaknya ketika bertemu figur publik.
Hal ini mengingatkan saya dengan peristiwa yang terjadi pada Dian Sastrowardoyo beberapa tahun lalu. Saat bertemu di pusat perbelanjaan, penggemar menghampiri Dian untuk foto bareng. Namun, pemeran Aruna dalam Aruna & Lidahnya (2018) itu menolak permintaannya.
Kemudian, si penggemar membagikan pengalamannya di media sosial. Ia ilfeel akibat respons yang diterima dan menganggap Dian sombong.
Menanggapi hal tersebut, Dian menuliskan dalam unggahan Instagramnya. Perempuan 40 tahun itu mengatakan, manajemen dan keluarganya memiliki kebijakan untuk tidak melayani permintaan foto bareng di luar jam bekerja. Pasalnya, di samping perannya aktor, ia juga seorang istri dan ibu yang harus mengurus keluarga ketika bepergian.
Baca Juga: Selingkuh, Viral, dan Centang Biru: Bekal 'Influencer' Dadakan
Namun, tentu saja penggemar tetap menganggap permintaan itu sudah konsekuensinya sebagai selebritis. Sehingga, seharusnya permintaan semacam itu dikabulkan oleh mereka.
Selain media sosial, media arus utama juga berperan dalam mengekspos privasi selebritis. Misalnya yang dilakukan penyiar radio Howard Stern terhadap Harry Styles.
Ketika Styles menghadiri Howard Stern Show pada (18/5) untuk mempromosikan album ketiganya, Harry’s House, Stern berusaha mengulik kehidupan asmaranya. Ia menanyakan tanggapan Styles yang jatuh cinta kepada Olivia Wilde, di lokasi syuting Don’t Worry Darling (2022).
Namun, penyanyi “Late Night Talking” tersebut tidak memberikan jawaban yang diharapkan Stern.
“Saya senang bisa main di film yang disutradarai Olivia,” ujarnya. “Akting, tuh bisa bikin enggak nyaman, dan kita harus menaruh kepercayaan besar. Jadi, untuk bisa memercayai sutradara itu sebuah anugerah.”
Tipikal pertanyaan seperti yang dilemparkan Stern akan selalu menarik untuk dikonsumsi publik. Bahkan, praktiknya juga banyak dilakukan media arus utama di Indonesia.
Padahal, masalah privasi diatur dalam pasal 9 kode etik jurnalistik, yang diterbitkan Dewan Pers. Dalam pasal itu disebutkan, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Celaka dua belas, meski sudah jelas diatur sedemikian rupa, pemberitaan tersebut masih laku dikonsumsi publik.
Baca Juga: Kepo Agama Idola, Kenapa Kita Terobsesi?
Menghargai Privasi Selebritis
Layaknya setiap orang yang bekerja, figur publik juga memiliki pekerjaan yang menjadi bagian dalam dirinya. Bagi selebritis, hal tersebut adalah ketenaran. Kendati demikian, bukan berarti mereka harus menerima atensi publik selama 24 jam dalam seminggu.
Meskipun bukan tanggung jawab dia, setidaknya publik perlu memiliki kesadaran untuk tidak mengekspos kehidupan pribadi selebritis. Sesederhana, dengan tidak memotret mereka diam-diam, lalu mengirimkannya ke siapa pun, termasuk akun julid. Pasalnya, tindakan tersebut akan membuka diskusi dan spekulasi, yang seharusnya tidak perlu diketahui.
Tindakan ini sendiri tampaknya lebih mudah dilakukan di lingkup fandom. Umumnya, hasrat kepoin update terbaru sang idola merupakan naluri penggemar. Karena itu, mereka cenderung mengunggah kembali foto-foto dari paparazzi, sesama fans, atau publik, yang diambil tanpa consent, khususnya di fanbase atau fan account.
Pertanyaannya, apakah selebritis ingin keberadaan mereka diketahui publik?
Penting bagi penggemar perlu memahami batasan dan menghargai privasi tokoh idola. Walaupun foto-foto tersebut telah disebarluaskan di dunia maya, ada langkah yang dapat dilakukan untuk melindungi privasi mereka, seperti dipublikasikan oleh BTS ARMY Help Center Indonesia–wadah bagi ARMY untuk saling memberikan dukungan dengan aman.
Mereka menyebutkan beberapa upaya sederhana. Misalnya menahan diri untuk tidak memotret dan mengunggah kembali foto-foto di internet. Kemudian, melaporkan pelaku yang menyebarkan foto dan data pribadi figur publik—termasuk sasaeng. Ditambah tidak meninggalkan komentar, atau apa pun yang meningkatkan engagement di unggahan nonkonsensual.
Dengan demikian, selebritis yang merupakan tokoh idola akan memperoleh haknya.
Bagaimana pun, sebagai publik maupun penggemar, perlu diingat bahwa mereka adalah manusia yang punya privasi. Ketika kita melewati batas itu, artinya ada hak privasi individu yang dilanggar. Kalau kamu ada di posisi selebritis, apakah mau mengalami hal yang sama?
Comments