Women Lead Pendidikan Seks
July 15, 2020

Semangat Aktivisme Sita Aripurnami, Meneliti untuk Berdayakan Perempuan

Sita Aripurnami menjalankan aktivisme untuk memberdayakan perempuan melalui penelitian-penelitian yang dilakukannya di berbagai organisasi.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Wo/Men We Love
Share:

Setiap orang memiliki jalan berbeda dalam menyuarakan kepentingan perempuan, dan Sita Aripurnami memilih melakukannya melalui penelitian dan pendampingan terhadap para perempuan korban kekerasan, termasuk mereka yang diperkosa pada kerusuhan Mei 1998 lalu.

Putri dari pasangan penulis dan seniman Umar Kayam dan Rooslina Hanoum ini merupakan salah satu pendiri Kalyanamitra, organisasi yang berfokus pada isu-isu perempuan dan lahir pada 1985. Bersama teman-temannya, ia aktif melakukan penelitian-penelitian terkait berbagai hal mulai tentang pemerkosaan, hak reproduksi dan program Keluarga Berencana (KB), kesejahteraan perempuan, dan sebagainya.

Salah satu hasil penelitiannya bersama teman-teman di Kalyanamitra tentang penerapan program KB telah diterbitkan menjadi buku berjudul Hak Reproduktif, Antara Kontrol dan Perlawanan pada tahun 1999. Hasil riset tersebut sempat mengundang reaksi keras dari pemerintah rezim Orde Baru karena dianggap menjelek-jelekkan negara, tetapi ia tidak lantas patah arang untuk melanjutkan aktivismenya di bidang penelitian.

Setelah mendirikan Kalyanamitra, Sita dan rekan-rekan mendirikan lembaga penelitian bernama Women Research Institute (WRI) pada tahun 2002. Kemunculan lembaga ini tidak lepas dari keresahan mereka ketika melihat banyaknya peneliti dari luar Indonesia yang melakukan riset di sini tetapi tidak banyak berkontribusi pada masyarakat, terutama pada responden yang mereka manfaatkan datanya.

Ketertarikan Sita pada isu sosial bertunas dalam dirinya lantaran sering berdiskusi dengan keluarganya, terutama dengan sang ayah. Beranjak dewasa, makin banyak buku yang ia baca, termasuk yang menyinggung permasalahan perempuan sehingga ia mulai tertarik dengan isu gender.

“Pada sekitar tahun 80-an, majalah Prisma memuat tulisan ‘Perempuan di Persimpangan Jalan’ bertepatan dengan Hari Kartini. Di situ banyak tulisan, antara lain tulisan yang dibuat Julia Suryakusuma. Lalu ketika S1, saya membuat skripsi tentang pola aspirasi pembantu rumah tangga remaja perempuan. Ketika melakukan wawancara dengan responden, saya mulai tertarik, kenapa perempuan remaja enggak nerusin sekolah?” ujar Sita, yang mendapatkan gelar S1 dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan S2 dalam Kajian Gender dari London School of Economics and Political Science, Inggris.

Baca juga: Menghancurkan ‘Tembok Kaca’ yang Hambat Perempuan di Dunia Sains Internasional

Studi soal pemerkosaan dan pandangan miring orang-orang

Pada tahun 1989, Kalyanamitra memfokuskan riset terkait isu pemerkosaan yang jarang sekali dibahas secara mendalam pada periode itu. Sita dan teman-temannya memantau pemberitaan di koran mengenai pemerkosaan, lalu mendatangi kantor polisi dan meminta izin untuk mengakses laporan-laporan perkosaan yang ada dalam rangka meneliti. Hasil riset mereka diluncurkan setahun setelahnya dan kemudian dibawakan ke seminar-seminar hingga level internasional. Dari riset tersebut, mereka juga melakukan kampanye antiperkosaan.

Ketika membuat riset ini, bahkan saat mendirikan Kalyanamitra dan membuka ruang-ruang diskusi tentang masalah perempuan, Sita menemukan pandangan negatif tentang diri dan kelompoknya.

“Orang menganggap, ‘Ini ngapain sih, cewek-cewek ngumpul terus ngomongin apa yang enggak pernah diomongin sebelumnya? Enggak ada pentingnya. Aneh, perempuan kumpul bareng’,” ujarnya.

“Lalu pada saat kampanye anti-pemerkosaan, ya saya diomong-omongin seperti, ‘Sita senengnya sama perempuan’. Bahkan, saat saya meluncurkan hasil penelitian soal pemerksoaan itu, saya lagi hamil, masih juga dibilang begitu,” kata ibu dari empat anak ini. 

Di samping itu, ketika mengadvokasi perempuan, misalnya terkait angka kematian ibu (AKI), masih ada yang menyepelekan Sita dan kawan-kawan sebagai peneliti karena mereka perempuan. Karenanya, Sita berstrategi mengajak para laki-laki untuk memahami suatu persoalan perempuan dan kemudian menyampaikan pemahaman dan hasil temuan riset mereka kepada khalayak luas.

“Ketika teman-teman laki-laki yang membicarakan tentang AKI, itu lebih menggugah dan lebih mau didengarkan [publik]. Karena kalau perempuan, ada komentar ‘ya terang aja [lantang menyuarakan isu tersebut], [karena]perempuan’,” kata Sita. 

Baca juga: Menolak Lupa, Kerusuhan Mei 1998

Dipanggil menteri dan pihak militer

Pandangan miring orang terhadap dirinya hanya segelintir tantangan yang Sita hadapi selama menjalani aktivisme. Salah satu momen penuh tantangan lain yang Sita hadapi dan membekas hingga saat ini adalah saat dirinya dipanggil oleh Moerdiono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Sekretariat Negara dan pihak militer setelah ia mempresentasikan hasil penelitian tentang pelaksanaan program KB.

Waktu itu, Indonesia sempat mendapat penghargaan internasional karena dianggap berhasil menekan laju penduduk lewat program KB. Kemudian sekitar tahun 1991-1992, Sita dan kawan-kawan terjun ke suatu daerah ketika program yang disebut safari KB dijalankan.

“Jadi [program itu] kayak chasing binatang safari untuk menjadi target KB. Hasil penelitian Kalyanamitra kami jadikan ilustrasi tentang pembangunan yang koersif, salah satu korbannya adalah perempuan melalui program KB tersebut,” papar Sita.

Menurutnya, safari KB yang dijalankan kala itu mengindikasikan bahwa KB dilihat bukan sebagai bentuk penghargaan terhadap hak reproduksi individu perempuan yang membebaskan mereka, melainkan sebagai alat pengendalian penduduk yang diterapkan lewat pemaksaan.

“Saya ingat sekali salah satu kata-kata dari pihak militer, ‘Menurut saya, memang KB harus dipaksakan. Ibaratnya sekarang, bagaimana Anda mengajarkan anak supaya mau sikat gigi? Kalau enggak dipaksa kan anak itu nggak pernah tahu kalau sikat gigi itu penting. Jadi, KB itu harus dipaksakan supaya dia [perempuan] tahu kalau KB itu penting buat dia’. Cara berpikirnya begitu,” Sita menambahkan.

“Saya melihat pada waktu itu para bapak-bapak [Menteri dan pihak militer] mengatakan, ‘Anda menjelek-jelekkan [negara], ya?’ Saya bilang, enggak menjelek-jelekkan. Menjelek-jelekkan itu kalau mengatakan sesuatu yang tidak betul, lalu menyebarluaskannya. Saya mengatakan sesuatu yang betul jelek, lalu disebarluaskan untuk mencari jalan keluarnya. Jadi, itu bukan menjelek-jelekkan,” kenang Sita.

Kendati diinterogasi sejak pagi hingga malam, Sita merasa masih ada ruang dialog antara dirinya dan pihak-pihak yang memanggilnya. Selain itu, ia bisa menghadapi pemanggilan tersebut dengan lebih tenang karena pada saat itu ia didampingi oleh dua temannya, mendiang Asmara Nababan dan juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, yang keduanya merupakan pembela hak asasi manusia.

Keberpihakan terhadap korban (kekerasan) dan empati kepada mereka adalah modal yang baik untuk seseorang menjadi teman bagi korban, untuk membantu dia, mengangkat dia dari keterpurukan emosinya.

Semua orang bisa menjadi pendamping

Latar belakang pendidikan psikologi yang Sita miliki berkontribusi terhadap ketertarikannya pada isu kekerasan terhadap perempuan dan kegiatan pendampingan korban. Walaupun sempat menggeluti bidang psikologi secara profesional, Sita tetap memilih panggilan sebagai peneliti dalam menjalankan aktivismenya.

“Saya cuma setahun menjalani profesi psikolog. Waktu itu teman-teman sih bikin biro konsultasi. Tapi saya lebih tertarik pada penelitian dan dari awal, saya inginnya penelitian tidak berhenti sebagai laporan saja. Tetapi, bagaimana itu juga bisa memberi manfaat bagi orang, terutama orang-orang yang menjadi responden itu,” kata Sita.

Setelah meneliti di bawah bendera Kalyanamitra, ia jadi mengetahui betul kondisi para korban dan kurangnya tempat-tempat yang memberi pelayanan pendampingan bagi korban-korban kekerasan. Melalui diskusi tiap Kamis, Sita dan kawan-kawan membentuk Forum Pembela Perkara Perempuan dan memikirkan bagaimana supaya ada organisasi yang memberi pelayanan terhadap korban kekerasan.

Berbekal pendidikan dan pengalaman yang ia punya, bersama teman-temannya yang berlatar psikologi, Sita mencoba memberikan pelatihan bagi para relawan yang melakukan pendampingan terhadap korban-korban kekerasan. Selain itu, mereka juga aktif mendorong kelompok-kelompok masyarakat untuk membantu para korban.

“Karena saya percaya, semua orang bisa menjadi pendamping. Tidak harus jadi psikolog untuk jadi pendamping,” ujar Sita.

Keyakinannya ini tidak jarang mendatangkan perdebatan dengan teman-teman berlatar Psikologi lainnya.   

“Mereka merasa, ‘Kan orang-orang itu [yang mendapat training] tidak punya latar belakang sebagai psikolog’. Tapi bagi saya, keberpihakan terhadap korban dan empati kepada mereka adalah modal yang baik untuk seseorang menjadi teman bagi korban, untuk membantu dia, mengangkat dia dari keterpurukan emosinya karena mengalami perkosaan dan bentuk kekerasan lainnya,” Sita menjelaskan.

Baca juga: Akhiri Budaya Pemerkosaan di Indonesia

Membumikan bahasa-bahasa feminis

Kerap kali, selain mendapat label negatif, feminis dianggap berjarak dengan masyarakat karena menggunakan bahasa-bahasa yang tidak dimengerti khalayak. Belum lagi bila isu yang mereka bicarakan tidak dekat dengan hal-hal yang terjadi dalam keseharian masyarakat. Sita menilai bahwa situasi tersebut merupakan bagian dari proses melakukan aktivisme sebagai feminis.

“Saya pun melewati proses itu. Belajar tentang konsep, dapat istilah, terus kayaknya ‘wah’ gitu, ya. Sejauh itu sebagai upaya untuk memahami hal-hal yang diperjuangkan kelompok feminis, menurut saya enggak masalah. Tetapi, yang juga penting adalah bagaimana dari konsep yang kita pahami dapat dibumikan menjadi sesuatu yang kontekstual di Indonesia,” ungkap Sita.

Ia mengambil contoh, dalam sebuah FGD dengan perempuan kepala keluarga di satu daerah, ia tidak bisa langsung menjelaskan mengenai hak ekonomi atau marginalisasi perempuan.

“Artinya marginalisasi apa? Langsung didaratkan ke kenyataan sehari-hari. Kalau kita bicara dengan teman-teman akar rumput kan kita tidak bisa bilang marginalisasi atau stereotip. Lalu kita harus jelaskan kenapa sesuatu menjadi bentuk diskriminasi terhadap perempuan? Apa sih masalahnya kalau perempuan dilabelkan?”

Sita kemudian menyebut salah satu kebijakan pada awal era reformasi dan desentralisasi di Banten di mana seseorang dilabelkan perempuan tidak baik jika kedapatan keluar di atas pukul 18.00.

“Kalau cara berpikir pelabelan seperti itu ada pada pengambil keputusan, maka hasilnya akan muncul kebijakan-kebijakan yang berbahaya bagi perempuan. Harus dikaitkan ke situ ketika kita membicarakan soal pelabelan. Katanya kan mereka [pembuat kebijakan] melindungi perempuan. Tapi, ini perempuan yang mana yang dilindungi?” jabar Sita.    

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop