Women Lead Pendidikan Seks
July 01, 2020

Seminar Poligami: Komodifikasi Agama Secara Terang-terangan

Seminar poligami adalah komodifikasi agama yang tidak menerapkan prinsip berkeadilan.

by Siti Parhani, Social Media Coordinator
Issues // Politics and Society
Poligami
Share:

Dengan senyum lebar dan mikrofon melingkar di wajah, pose Hafidin tak kalah dengan motivational coach pada umumnya. Mengacungkan empat jari, ia seperti ingin menunjukkan “keberhasilannya” memiliki empat istri dan 24 anak selama 20 tahun pernikahannya. Dengan tulisan-tulisan motivasi layaknya tips sukses berbisnis di usia muda, poster seminar “Mindset Sukses Poligami” yang diinisiasi oleh Robbanian Family, sebuah lembaga konsultasi syariah, itu ramai dibicarakan di media sosial.

Poster-poster kelas poligami semacam ini cukup marak belakangan ini. Yang membuat “wow” juga adalah nominal fantastis yang harus dibayar peserta. Kelas Hafidin yang akan digelar 5 Juli dibanderol Rp4.749.000 dengan diskon 20 persen untuk 10 pendaftar pertama. Sebelumnya pada 28 Juni, ada seminar serupa di Bekasi dari penyelenggara yang berbeda, dengan biaya Rp3,5 juta untuk laki-laki dan Rp1,5 juta untuk perempuan.

Dalam poster, Hafidin menjanjikan akan mengajarkan hal-hal berikut: Istri tidak menolak dipoligami; mudah mengamalkan syariat poligami; manajemen keluarga bahagia; dan 35 persen teori, 65 persen poligami.

Menurut seorang anggota panitia acara seminar Hafidin yang tidak mau disebutkan namanya, acara semacam ini laris digelar di beberapa kota di Indonesia, dengan audiens yang tidak sedikit. Yang harga jutaan seperti di atas bisa meraup 20 peserta, sementara jika biayanya lebih murah dapat menjaring 30-40 peserta dalam satu kelas.

“Yang kami ajarkan nanti dalam pelatihan bukan cuma cara, tapi juga bagaimana menata mindset yang benar, manajemen keluarga, dan juga peran seorang lelaki atau kepala keluarga dalam rumah tangga,” ujarnya kepada Magdalene lewat telepon.

“Polanya nanti diterapkan kepada istri pertama, hingga sampai sukses mendapatkan istri kedua tanpa istri pertama menolak bahkan tanpa perlu sembunyi-sembunyi punya istri kedua,” tambahnya.

Baca juga: Menghadiri Diskusi Tentang Poligami dan Inilah yang Saya Pelajari

Selain itu, peserta juga akan dibekali buku saku kiat sukses menjadi suami poligami plus konsultasi berkelanjutan ketika istri pertama menolak untuk dipoligami, ujar panitia tersebut.

Ketika saya tanya apakah kemaslahatan dan perspektif istri, atau aspek psikologis istri dan anak serta soal finansial akan dibahas, dia tidak menjawab. Anggota panitia tersebut hanya mengatakan bahwa nanti akan diajarkan bagaimana menjadi suami yang baik saat poligami.

Validasi kelompok dengan legitimasi agama

Justito Adiprasetio, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran sekaligus penulis buku Sejarah Poligami: Analisis Foucauldian Atas Poligami di Jawa mengatakan, luputnya pembahasan soal istri, anak, dan finansial, adalah karena wacana agama yang dipakai hanya melihat relasi pernikahan dari aspek seksualitas.

“Jika kita lihat data BPS (Badan Pusat Statistik), rasio laki-laki itu masih lebih tinggi daripada perempuan. Kalau motivasi menikahi 2,3,4 (istri) adalah dakwah sebenarnya kita bisa lihat bahwa itu sangat tidak efektif dalam kacamata sosial,” ujarnya.

“Punya 24 anak sangat tidak ramah lingkungan. Apakah mereka ketika mengamalkan dengan motivasi agama itu memikirkan aspek sosial? Aspek yang lebih makro terkait implikasi perilaku tindakan yang mereka lakukan? Kayaknya enggak, karena agamanya dianggap sebagai sesuatu yang individual. itu yang kemudian punya implikasi bagaimana poligami itu bekerja,” kata Justito kepada Magdalene.

Aktivis gender sekaligus ahli sosiolog dan antropologi agama, Lies Marcoes, mengatakan poligami dalam sejarahnya melibatkan tiga ranah. Pertama, ranah penguasa sebagai simbol penaklukan wilayah, praktik para petani miskin dengan tujuan untuk bertahan hidup dan menekan biaya produksi, dan ranah agama. Dalam ranah agama, praktik poligami dilegitimasi agar hubungan itu menjadi “halal”, artinya berhubungan dengan seksualitas, ujarnya.

Baca juga: Hiperseksual sebagai Dalih Pamungkas Poligami

“Nah itu poligami zaman dulu, bagaimana dengan sekarang yang katanya sudah modern? Tentu aspek ekonominya juga bisa dilihat. Bagi laki-laki sebetulnya itu adalah siasat untuk menurunkan biaya pemuasan seksualitasnya. Dia hanya cukup bayar akad nikah sudah bisa dapat istri kedua, ketiga, atau keempat. Pada situasi tertentu itu juga sebagai taktik licik mereka untuk numpang hidup karena yang ngurusin mereka kan tetap perempuan,” ujar Lies, yang juga direktur lembaga penelitian Rumah KitaB.

Ia menambahkan, poligami kini tidak lagi berdasarkan alasan sosiologis dan politis seperti jaman dulu, tapi lebih dipakai sebagai legitimasi laki-laki dengan dalih agama.

“Dari sisi perempuan, mereka kadung meyakini laki-laki adalah imam dunia akhirat. Mereka yang ikut kegiatan semacam itu sedang mencari argumen bahwa tidak masalah dipoligami karena yang dibutuhkan adalah laki-laki sebagai imam, terlepas dari laki-lakinya bisa mencari nafkah atau tidak,” ujar Lies.

Kenyataan itu kemudian menjadi alasan mengapa jualan poligami dengan kedok seminar masih terus laku di Indonesia, tambahnya. Mereka butuh kelompok yang memvalidasi keinginan mereka untuk punya perempuan lebih dari istrinya—tuntutan yang kemudian dikapitalisasi fasilitator seminar.

“Mereka butuh kelompok yang sama-sama ‘aku enggak salah banget sih ini ada temen’. Itu dikapitalisasi oleh yang mau jualan. Yang jualan sebenarnya sedang menipu laki-laki yang ingin poligami tapi dia merasa malu takut, dan enggak ada temen, ngerasa enggak punya argumen,” ujarnya.

“Pada dasarnya laki-laki menipu laki-laki. Mereka itu malu jadinya mau membayar apa pun agar dia mendapat legitimasi. Dari siapa? Dari yang jualan seminar itu,” tambah Lies.

Seminar poligami ini pada dasarnya laki-laki menipu laki-laki. Mereka itu malu jadinya mau membayar apa pun agar mendapat legitimasi.”

Komodifikasi agama

Komodifikasi adalah tindakan mengubah sesuatu hal sebagai komoditas belaka dengan komersialisasi kegiatan atau produk untuk tujuan kapital. Justito mengatakan harga fantastis yang tertera dalam poster seminar poligami merupakan bentuk komodifikasi agama secara terang-terangan karena sudah jelas Hafidin juga mencari keuntungan yang tidak sedikit.

“Kalau kita lihat terkait poligami ini sebenarnya tidak spesial-spesial amat. Maksudnya sekarang ini kalau kamu mengundang pemuka agama kondang tarifnya itu pasti mahal. Termasuk ketika ada seminar poligami, karena komodifikasi itu kan mencakup banyak hal termasuk agama dan yang ada di dalamnya ini,” ujar Justito.

Dosen dan peneliti di Institut Kajian Krisis dan Studi Pembangunan Alternatif (INKRISPENA) Ruth Indiah Rahayu mengatakan, adanya seminar semacam itu adalah bukti bahwa orang-orang berbisnis dengan menjadikan perkawinan poligami sebagai produk.

“Nah, selain seminar kan ada konseling, ini bisnis juga. Konseling tentang poligami tapi tidak berpihak pada perempuan, ini untuk laki-laki. Jadi itu kan patriarkal banget karena ini ada untuk menyenangkan laki-laki,” ujar Ruth.

Materi poligami yang diberikan kepada perempuan pasti akan seputar menurut suami, jaminan surga, dan hal-hal lain yang bisa membuat perempuan takluk, sehingga kalaupun ada perempuan ikut tetap untuk kepentingan laki-laki, ujar Ruth.

Menurut Lies Marcoes, jika dipikir secara nalar ilmu pengetahuan, permasalahan rumah tangga itu beragam dan kompleks, apalagi jika poligami. Satu seminar dengan harga selangit tidak akan mampu menjelaskan tentang poligami yang sesuai konteks, ujarnya. Padahal untuk bisa memahami hubungan-hubungan yang sangat unik dalam poligami perlu memahami ekonomi dan urusan bertahan hidup seperti praktiknya zaman dulu, ia menambahkan.

“Hubungan yang problematik dan kompleks itu lalu disimplifikasikan dalam seminar-seminar mekanik. Itu kan enggak masuk akal. Hubungan seperti apa yang ingin dibangun, tawaran apa yang mau dikasih si trainer untuk merangkai sebuah hubungan yang begitu unik, dinamis, dan beragam? Mana bisa. Mereka jualan agama karena yang paling laku,” kata Lies.

Baca juga: Isu Besar Bagi Muslim: Pernikahan Nabi Muhammad-Aisyah dan Poligami

Pentingnya narasi tandingan

Kyai dan penulis buku Sunnah Monogami, Faqihuddin Abdul Kodir, mengatakan nihilnya narasi antara ilmu pengetahuan atau nalar dengan agama ketika berbicara hubungan seksualitas, apalagi poligami, adalah karena ada anggapan bahwa hal yang berbasis ilmu pengetahuan diidentikkan dengan Barat, bukan Islam.

“Saya menulis buku tentang sunnah monogami tidak dengan mengutip bahasa-bahasa barat yang selama ini sering ditentang kalau meng-counter poligami. Buktinya semua yang saya tulis itu rujukan-rujukan dari ulama. Dan hasilnya enggak ada yang menjadikan poligami sunnah. Ketika poligami pada praktiknya tidak adil, maka kata salah satu ulama abad ke-5, sebaiknya jangan poligami,” ujar Faqihuddin, yang juga salah satu pendiri Fahmina Institute, lembaga nonprofit yang berfokus pada gender, demokrasi, dan pluralisme dari perspektif Islam.

Menurut Faqihuddin, kitab-kitab keislaman arus utama tidak ada yang mengglorifikasi poligami. Yang ada adalah kritik terhadap poligami karena takut menzalimi perempuan dan tidak bisa berlaku adil. Glorifikasi poligami justru muncul 10-20 tahun terakhir, ujarnya.

“Saya melihat glorifikasi poligami terjadi semacam counter terhadap apa yang mereka pahami sebagai westernisasi. Jadi ketika orang Barat menghantam poligami mereka ingin mendapatkan narasi itu kembali. Padahal mereka enggak mendakwahkan Islam secara utuh, Islam yang berkeadilan bagi laki-laki maupun perempuan,” ujar Faqihuddin.

Selama narasi agama alternatif yang melawan mereka belum banyak disuarakan, maka narasi poligami dengan embel-embel surga akan terus laku dan potensi dimodifikasi lebih besar.

Ia juga menegaskan pentingnya narasi tandingan yang bisa melawan argumen-argumen sepihak terkait poligami. Istilah-istilah poligami itu ibadah sebetulnya tidak ada dalam fikih maupun Al-Quran, ujar Faqihuddin. Ketika perempuan tidak mau dipoligami, ia selalu punya pilihan untuk bercerai. Selama narasi agama alternatif yang melawan mereka belum banyak disuarakan, maka narasi poligami dengan embel-embel surga akan terus laku dan potensi dimodifikasi lebih besar.

“Setiap ada promosi keislaman atau apa pun itu harus dibalikkan kepada misi dasar islam. Misi besar itu kan pertama rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam). Kedua adalah misi akhlak mulia,” ujarnya.

Ketika melihat acara seperti itu, ia menambahkan, apakah islam yang disampaikan itu rahmatan lil alamin untuk laki-laki dan perempuan serta memberikan kasih dan kenyamanan. Kalau tidak, maka yakinlah itu bukan bagian dari Islam, tapi narasi yang dibuat dengan subjektivitas masing-masing yang menceramahkannya.

“Selalu ingat prinsip mubadalah (berkeadilan di dua pihak). Kalau sesuatu (ajaran) hanya dimanfaatkan oleh laki-laki, maka itu bukan Islam yang mubadalah. Jadi berbicara poligami seperti pada poster itu, yang bermanfaat dan enaknya itu kan cuman laki-laki. Dan hidup berkeluarga seperti itu tidak saling sakinah, saling membahagiakan, cuman satu yang merasa bahagia. Maka itu masih ceramah yang berat sebelah,” kata Faqihuddin.

Bisa dipanggil Hani. Mempunyai cita-cita utopis bisa hidup di mana latar belakang manusia tidak jadi pertimbangan untuk menjalani hidup.