Women Lead Pendidikan Seks
September 30, 2016

Setara dalam Rumah Tangga

Kesetaraan dalam rumah tangga yang sebenarnya tercerminkan dalam kualitas hubungan antara suami dan istri.

by Lutviah
Issues // Gender and Sexuality
Share:

Seperti para feminis kebanyakan, saya pikir kesetaraan dalam rumah tangga hanya dapat dicapai jika istri juga memiliki kesempatan untuk memberdayakan dirinya di ruang publik dan otonom secara finansial. Namun demikian, mindset tersebut berubah setelah saya menjalani peran sebagai ibu rumah tangga 100 persen. Ibu rumah tangga 100 persen  disini berarti bahwa saya benar-benar hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak tanpa penghasilan dan tanpa afiliasi apa pun di ruang publik. Sering kali saya mempertanyakan, apakah dengan profesi saya saat ini, saya masih pantas disebut feminis?
 
Pada awalnya, bagi saya menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga bagaikan mimpi buruk. Saya yang sebelumnya sehari-hari menghabiskan waktu di luar rumah dan sangat aktif di ruang-ruang publik, saat ini sering kali hanya menghabiskan waktu di dalam rumah sambil memomong anak, memasak, mencuci piring, atau melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Namun demikian, pengalaman menjadi ibu rumah tangga di fase ini justru membuka pikiran saya tentang makna kesetaraan yang lebih luas, khususnya di lingkup rumah tangga.
 
Kesetaraan dalam rumah tangga tidak bisa secara simplistis hanya dilihat dengan kaca mata finansial dan ruang publik. Pada banyak kasus, banyak istri yang bekerja dan memiliki jabatan yang tinggi justru gerak dan suaranya terbatas ketika menghadapi suaminya di rumah. Oleh karena itu, kesetaraan dalam rumah tangga seharusnya juga dilihat menggunakan indikator kualitas hubungan antara suami dan istri, terlepas dari sang istri bekerja atau tidak. Kualitas hubungan ini antara lain bisa dilihat dari bagaimana suami dan istri membina hubungan dan komunikasi antara kedua belah pihak, misalnya terpenuhinya aspek keterbukaan, saling menghargai, saling menghormati dan saling memberi kesempatan satu sama lain. Sebagai contoh, meskipun hanya suami yang bekerja, penghasilan yang didapat dianggap sebagai uang bersama sehingga istri juga mengetahui berapa banyak uang yang dimiliki oleh suami serta memiliki akses terhadap uang tersebut.
 
Selain itu, terbukanya ruang diskusi dan negosiasi yang setara antara suami dan istri dalam pengambilan keputusan juga penting dalam mewujudkan rumah tangga yang setara. Dalam kasus saya, saya dan suami sepakat bahwa saat ini suami yang memiliki kesempatan lebih dulu untuk melanjutkan kuliah dan giliran saya ketika anak kami berusia dua tahun. Meskipun mungkin bagi sebagian orang saya terlihat “tertinggal” dari suami, bagi saya ini adalah pilihan terbaik untuk kami sekeluarga.  Seyogianya, pernikahan tentu tidak dilihat seperti kompetisi dimana ada yang tertinggal dan yang terdepan. Sepanjang kedua belah pihak nyaman dengan pilihannya masing-masing, kita tidak punya hak untuk melabeli mereka seperti itu.
 
Hal lain yang selalu menjadi perdebatan dalam diskursus kesetaraan gender dalam rumah tangga adalah adanya pembagian kerja domestik antara suami dan istri. Dalam hal ini, saya setuju bahwa sudah seharusnya pekerjaan rumah tangga  sama-sama dilakukan oleh suami dan istri. Namun kenyataannya, pekerjaan domestik ini tidak selalu bisa dibagi rata.  Misalnya dalam hal mengurus anak, kebanyakan anak lebih ingin dan butuh dekat dengan ibunya sehingga mau tidak mau istri lebih banyak menghabiskan waktu mengurus anak dibandingkan dengan suami. Begitu pula pada kasus ibu rumah tangga, istri tentu lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga dibandingkan suami yang bekerja di luar rumah karena perbedaan jumlah waktu yang mereka miliki di rumah. Namun pada situasi dimana suami dan istri sama-sama bekerja di luar rumah, pembagian kerja domestik yang dibagi rata mungkin bisa diaplikasikan.
 




Mengetahui kualitas hubungan pasangan suami istri tentu tidak mudah dan sama sekali bukan urusan kita sebagai orang luar. Untuk itu, seyogianya kita berhenti melabeli para istri yang berhenti bekerja setelah menikah sebagai kemunduran. Bisa jadi, ruang-ruang domestik yang bagi sebagian orang dianggap sebagai simbol perbudakan, justru bagi sebagian orang lainnya dianggap sebagai lapangan kerja yang menyenangkan.
 
Lutviah (Via) adalah seorang ibu rumah tangga dengan satu anak. Sudah lama menggeluti isu gender dan sedang tertarik mempelajari maternal feminism.