“Mantannya Ben Affleck di premiere No Time To Die,” tulis sebuah akun Twitter yang membahas film, sewaktu nge-tweet foto Ana de Armas menghadiri red carpet premiere No Time To Die di London. Twit itu kebanyakan menuai kontra warganet, lantaran menganggap aktris asal Kuba tersebut, hanya sebatas mantan dari Affleck.
Ada juga yang menuduh akun itu rasis dan misoginis karena mengunggah foto De Armas, tetapi tidak aktris berkulit hitam yang juga menghadiri dan membintangi film yang bersangkutan, seperti Naomie Harris dan Lashana Lynch.
Meskipun tampaknya twit itu bermaksud melontarkan guyonan, kalimatnya justru tergolong seksis. Secara tidak langsung, posisi De Armas berada di bawah laki-laki yang menjalin hubungan romantis dengannya, dan menganggap popularitas yang diraih didongkrak oleh bintang film Batman V Superman: Dawn of Justice tersebut.
Baca Juga: Arti Sebuah Nama bagi Perempuan Menikah
Mengecilkan Prestasi Perempuan
Selain De Armas, perempuan lain yang pencapaiannya kurang dilihat, dan dianggap berada di balik bayangan laki-laki adalah Jillian Dempsey, seorang celebrity makeup artist, penata rambut, pengusaha, dan aktivis hewan. Sayangnya, ia masih sering dilihat sebagai istri aktor Patrick Dempsey.
Kemudian, Camilla, Duchess of Cornwall, istri dari Pangeran Charles yang sampai sekarang masih dicap sebagai perempuan simpanan Prince of Wales. Ia dianggap menghancurkan pernikahan Charles dan Putri Diana, lalu berhasil menjadi bagian dari keluarga kerajaan Inggris.
Kenyataannya, selama lebih dari 19 tahun, ia mendukung Royal Osteoporosis Society, satu-satunya badan amal di Inggris yang didedikasikan untuk meningkatkan pencegahan, diagnosis, dan pengobatan osteoporosis. Camilla juga membela hak-hak perempuan, terlibat dalam pusat-pusat krisis pemerkosaan di Inggris, dan mengunjungi tempat pengungsian perempuan.
Direktur Women’s Media Center, sebuah organisasi nonprofit di Amerika Serikat, Soraya Chemaly mengatakan kepada HuffPost, kalimat-kalimat tersebut menempatkan perempuan di luar standar yang dapat diterima lingkungan masyarakat.
Baca Juga: Identitas Perempuan dalam Sejarah Bangsa
Dalam kasus Camilla, moralnya cenderung diragukan karena perbuatannya dianggap tidak pantas. Tak dimungkiri, mayoritas masyarakat dunia melihatnya sebagai sosok yang layak dikucilkan, sedangkan Putri Diana adalah korban kejahatannya.
Berdasarkan penelitian “Speaker Introductions at Internal Medicine Grand Rounds: Forms of Address Reveal Gender Bias” (2017) oleh Julia A. Files dkk., gelar profesional pada perempuan jarang disebut, dibandingkan laki-laki. Perbedaan formalitas itu mampu membuat perempuan merasa terisolasi, bingung dengan perannya di dunia kedokteran akademis, dan menciptakan marginalisasi.
Artinya, penggunaan bahasa sangat berpengaruh dan memiliki jangka panjang dalam karier perempuan. Tak hanya itu, peran gender yang ditempatkan di masyarakat memiliki pengaruh besar dalam mengecilkan prestasi perempuan. Sementara, laki-laki lebih mendapatkan sorotan dalam kariernya, dan ikut serta membingkai kehidupan perempuan dalam kehidupan berpasangan dan berkeluarga.
Kemudian, perempuan yang memiliki segudang keberhasilan masih dianggap mengintimidasi. Anggapan mereka sebaiknya tidak mengejar karier atau pendidikan masih dinormalisasi, hanya karena dikhawatirkan sulit menemukan pasangan yang sepadan, jika posisinya terlalu tinggi.
Hal tersebut mampu membatasi ruang gerak perempuan karena pencapaiannya tidak diakui. Padahal, setiap perempuan berhak menerima credit atas kerja kerasnya, dan dirinya memiliki definisi lebih dari pendamping hidup laki-laki. Pun laki-laki seharusnya mendorong perempuan agar mereka berani membicarakan prestasinya dengan bangga.
Baca Juga: Representasi Identitas dalam Sastra Masih Kurang Beragam
Setiap Orang Punya Identitas
Manusia cenderung mengidentifikasi dirinya berdasarkan situasi, cara pandang orang lain, peran dalam lingkungan masyarakat, maupun perilaku. Namun, mengutip Psychology Today, keempat hal tersebut bukanlah diri kita sebenarnya.
Apabila mengenal diri hanya berdasarkan hal-hal tersebut, akhirnya kita membatasi pertumbuhan diri karena berusaha menyesuaikan dengan kehidupan bermasyarakat atau ekspektasi orang lain. Itulah yang terjadi pada perempuan—mungkin juga kebanyakan orang, hingga menutup keterbukaan terhadap diri sendiri.
Menurut David M. Buss dan Nancy Cantor dalam Personality Psychology: Recent Trends and Emerging Directions, identitas dikualifikasikan ke dalam keyakinan, kepribadian, kualitas, dan cara seseorang mengekspresikan diri.
Kualifikasi tersebut sifatnya cair dan dapat berubah, tetapi setiap orang berhak dikenal lewat identitasnya sebagai manusia yang utuh, karena kita adalah individu dengan identitas yang dapat didefinisikan masing-masing.
Oleh karena itu, rasanya belum cukup jika merefleksikan bagaimana masyarakat sejauh ini memperlakukan perempuan, terutama hanya berdasarkan perannya sebagai bagian dari hidup laki-laki.
Tentu menjadi ibu dan istri adalah peran mulia, tapi belum sepenuhnya mendefinisikan diri perempuan, itu hanya bagian dari kehidupan seseorang. Tentu profesi yang kita tekuni berharga, tapi itu hanya satu dari sekian bagian diri sebagai individu. Tentu keadaan kita bernilai, tapi tidak akan mengubah identitas diri sendiri, sekalipun situasi menjadi lebih baik atau buruk.
Pada akhirnya, hanya diri sendiri yang berhak mendefinisikan siapa kita, dan kita berhak menentukan seperti apa diri ini ingin dilihat melalui sudut pandang orang lain. Yang jelas bukan berdasarkan keterlibatan maupun keberhargaan kita di mata mereka, terlebih jika itu sampai memengaruhi reputasi.
Comments