Hari-hari ini di Twitter, kita melihat orang-orang riuh berkicau soal pencapaian hidup di usia 25 tahun. Ada yang bilang, jika Kamu memasuki usia seperempat abad, idealnya sudah punya tabungan Rp100 juta, mencicil rumah, gaji minimal Rp8 juta, dan memiliki mobil sendiri. Buat kita generasi Z dan milenial, standar bikinan itu mungkin terasa familier. Apalagi saat bertemu keluarga besar yang hobi menyodorkan pertanyaan-pertanyain ajaib macam: Kapan kawin, kapan punya anak, kapan lulus kuliah, kapan beli rumah sendiri?
Bisa jadi kamu gatal ingin menjawab, “Tante kapan mati?” Namun, Kamu perlu menahan diri sebab mereka tak lebih dari orang yang termakan standar sosial belaka. Standar ini memang merepotkan di satu sisi karena hidup orang berbeda antara satu dan lainnya. Pun, hidup jadi terasa banal karena diukur dari tuntutan pencapaian material saja. Padahal bisa jadi yang Kamu inginkan cuma duduk santai sambil menonton serial Netflix tanpa takut dibayang-bayangi tuntutan tersebut.
Baca Juga: Sulitnya Gapai Impian Setelah Jadi Ibu
Keyakinan Irasional
Standar sosial tak lahir dari ruang hampa, itu muncul dan dioper dari mulut ke mulut, dilanggengkan lewat media sosial dan media massa. Kita sendiri mungkin secara tidak sadar, pernah menanamkan target pencapaian berdasarkan standar sosial hingga menjadi terlalu ambisius. Menjadi ambisius memang tak salah, yang keliru adalah ketika sifat ini justru menjadi bumerang untuk kesehatan mental.
Apalagi sekarang gaya hidup serba instan andil membentuk perspektif kita, sehingga berkiblat pada pencapaian orang lain. Seolah-olah setiap individu melalui proses yang sama dan wajar jika distandarisasi.
Perilaku ini bisa dikategorisasikan sebagai bentuk keyakinan irasional. Menurut Albert Ellis, psikolog asal Amerika Serikat, keyakinan irasional adalah ide-ide yang tidak logis terhadap sebuah situasi dan diyakini oleh seseorang secara terus-menerus, hingga menimbulkan self-defeating atau tindakan mengalahkan diri.
Ada sebelas keyakinan irasional yang diinventarisasi oleh Ellis. Adapun yang berlaku pada konteks ini ialah seseorang harus memiliki pencapaian atau ia merasa tidak berharga dan tak bahagia jika berbeda dengan orang kebanyakan. Keyakinan irasional lainnya, yakni ketika seseorang memiliki sedikit kemampuan dalam mengontrol kesedihan dan gangguan dalam diri mereka.
Regina Yohana (21), mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di Toronto, Kanada, pernah menetapkan beberapa target pencapaian sebelum berusia 30 tahun. Ia yakin akan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang baik sebelum lulus kuliah dan ingin mengunjungi Jepang, Inggris, serta mengeksplor Amerika Serikat.
“Target itu terbentuk karena saya melihat kesuksesan mama yang langsung melanjutkan pendidikan di Jerman usai menyelesaikan pendidikan S1 dan sekarang berprofesi sebagai pebisnis,” ujarnya pada Magdalene, (22/6). Itulah yang membuat ia terbebani dan ingin menjadi sosok yang hebat demi memenuhi ekspektasi orang lain.
Baca Juga: Ketika ‘Ageism’ dan Seksisme Bersinggungan Bagi Perempuan Pekerja
Kesehatan Mental Jadi Taruhan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ellis, keyakinan irasional dapat menyebabkan beberapa gangguan emosional, seperti depresi, kecemasan, kemarahan, dan perasaan bersalah. Hal ini dialami oleh Regina jelang kelulusannya. Ia stres dan takut gagal saat melihat teman-temannya sudah bekerja di publikasi terkenal di Toronto. Saking stresnya, ia enggan bertemu dengan teman-temannya yang “sudah sukses duluan”.
“Selama sebulan saya hanya di kamar, enggak komunikasi dengan siapa pun. Di situ, kesehatan mental saya sedang tidak baik-baik saja. Akhirnya saya sadar, enggak ada yang perlu ditargetkan. It’s impossible, mengharapkan gaji pada nominal tertentu tapi belum ada pengalaman kerja,” tuturnya. Kini ia memilih tak terlalu keras pada diri dan menentukan target dalam jangka pendek yang lebih mudah direalisasikan.
Psikolog Anak Anastasia Satriyo M.Psi., Psi menjelaskan, seseorang yang berusia di bawah 25 tahun berada dalam situasi rentan dan masih sangat labil.
“Otak manusia itu baru berkembang secara matang di usia 25 tahun, sedangkan banyak keputusan hidup yang dipaksa terbentuk di usia sebelum itu, sehingga memicu tekanan,” ucapnya.
Sering kali, pola pikir kita terkait pencapaian diterapkan berdasarkan apa yang dilihat di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, Anastasia menyarankan untuk belajar berkomunikasi dengan diri sendiri dengan lebih manusiawi.
“Kita yang paling sering mengkritik diri sendiri, jadi kita juga harus yang paling sering memberikan apresiasi, sekaligus mengingatkan masih ada hari esok untuk mencoba lagi,” imbuhnya.
Baca Juga: Merengkuh Usia Tua dengan Gembira
Target Pencapaian Bukan Tolok Ukur Kebahagiaan
Saat remaja, sering kali kita bermimpi cepat dewasa agar bisa bekerja dan meraih cita-cita. Dalam imajinasi tersebut, kita mengandaikan kondisi ideal di mana perasaan jadi otomatis bahagia ketika telah mencapai itu semua. Sayangnya, semakin bertumbuh dewasa, kita sadar kebahagiaan atas pencapaian yang diraih hanya terasa di momen tertentu, sementara perjalanan hidup akan tetap berlanjut, apapun yang terjadi.
Anastasia menjelaskan dalam hal ini, sebagai manusia, kebahagiaan dapat dihadirkan melalui hal-hal yang lebih esensial. Ini sesederhana menyadari bahwa diri kita berharga hanya dengan bernapas. Ini pun bukan sesuatu yang mustahil untuk dilatih.
“Napas yang semakin tenang, membuat kita merasakan oksigen yang masuk ke otak, sehingga kita bisa mengontrol situasi. Itu suatu bentuk kebahagiaan,” jelasnya.
Dalam hematnya, apabila segala sesuatu dalam hidup mengikuti target sosial, maka kita terkungkung pada pola pikir bahwa manusia adalah human doing, alih-alih human being. Kita bukan dinilai berharga berdasarkan pencapaian yang dihasilkan karena hidup tak sematerialistik itu.
“Semakin seseorang mencari kebahagiaan di luar diri, justru ia semakin tidak menemukannya karena kebahagiaan sebenarnya datang dari dalam diri,” tutur Anastasia.
Perempuan Punya Beban yang Lebih Berat
“Sudah jatuh, tertimpa tangga.”
Sepertinya kalimat tersebut cukup merepresentasikan situasi perempuan dalam perjalanannya meraih cita-cita dan memenuhi standar sosial. Budaya patriarki yang mengakar adalah dalangnya.
Berdasarkan data dari Global Dreams Index Survey pada 2016, separuh dari populasi perempuan di dunia memutuskan untuk menyerah pada mimpi mereka dan tidak puas dengan kehidupannya sekarang. Pasalnya, banyak perempuan yang masih menerima tanggapan kurang menyenangkan dari orang-orang di sekitarnya yang seharusnya memberikan dukungan, seperti dianjurkan untuk menjadi realistis, tak perlu terlalu ambisius, lebih baik “bermain di zona aman”, hingga berhenti bermimpi.
Peristiwa ini pernah dialami oleh Regina. Sejak berusia 7 tahun, ia memiliki cita-cita untuk bersekolah di luar negeri. Namun, ayahnya pernah menyarankannya untuk tidak memiliki impian setinggi itu.
“Papa sendiri yang bilang kalau perempuan enggak usah sekolah tinggi-tinggi. Dia malah menyarankan (saya) untuk kuliah di Universitas Sumatera Utara. Katanya, pendidikan itu enggak menjamin kehidupan, dan keluarganya sempat mempertanyakan kenapa bukan abang saya yang ke luar negeri, hanya karena dia laki-laki dan anak pertama,” ceritanya.
Namun, hal tersebut tak mematahkan keinginannya. Dengan tekad yang kuat, ia meraih impiannya untuk sekolah di luar negeri.
Pengalaman serupa dialami oleh Wening Nareswari (23), seorang pekerja lepas. Ia pernah disarankan untuk bergabung dengan sebuah organisasi keagamaan, yang mana saat itu mereka dalam tahap pencarian pengurus baru. Namun, niatnya itu diurungkan karena para pengurus organisasi tersebut meragukan kemampuan kepemimpinan perempuan.
“Mereka berpendapat kalau pengurus sebaiknya laki-laki aja. Alasannya, jika perempuan yang memimpin, justru malah terlalu banyak drama di organisasi,” ujarnya.
Ia menilai, anggota organisasi tersebut terlalu menggeneralisasi perempuan tanpa memberikan kesempatan untuk mengembangkan diri.
Berkaca dari pengalaman Wening, perempuan perlu memilih perusahaan yang tepat agar dapat mendukung jenjang karirnya. Sebab, jika melihat realitas sekarang, perempuan membutuhkan ruang yang mendukung mereka berani menetapkan mimpi sendiri, bahkan jika mimpi itu berbeda dari standar sosial.
Comments