Setelah meramaikan dunia maya lewat videonya dengan Zara Adhisty, musisi Niko Al Hakim alias Okin, kembali meresahkan. Pasalnya, ia dan temannya, Elnanda Utomo, membuat challenge tidak senonoh di Instagram live, (31/7) dan melakukan pelecehan seksual terhadap teman lainnya, Hassan Alaydrus.
Okin menawarkan penonton perempuan bergabung di live tersebut, dengan syarat harus berkomentar tidak sopan tentang anggota tubuh Hassan. Tak hanya itu, saat bergabung, ia meminta penonton yang diundang untuk menggoda Hassan dengan menyasar ke alat kelaminnya dan diucapkan dengan suara menggemaskan. Meskipun temannya itu sudah menunjukkan gerak-gerik tak nyaman, Okin tetap asyik menikmati “hiburannya” dan mengundang beberapa perempuan di live-nya.
Terlepas dari pelecehan seksual di balik kedok lelucon yang dilakukan, Okin dan Elnanda tidak menghargai Hassan ketika ia menolak challenge tersebut. Mereka justru meng-gaslight Hassan dengan menuduhnya enggak asyik.
Satu hal yang menempel di kepala saya, bagaimana jika 10 ribu penonton live itu menganggap challenge Okin menghibur, dan mempraktikannya ke orang lain di sekitarnya? Meskipun ada sebagian orang yang tak membenarkan perilaku mereka, thirsty comments (komentar yang mencari perhatian seksual. Red) tetap bermunculan, seolah penonton pun menikmati konten itu.
Baca Juga: Stop Jadikan Humor Seksis Wajar
U.S. Equal Employment Opportunity Commision (EEOC) menyebutkan di laman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), komentar seksual tak diinginkan, lelucon, dan sindiran termasuk dalam pelecehan seksual halus. Jika dibiarkan lebih lanjut, dapat menciptakan lingkungan tidak bersahabat bagi penerimanya.
Perilaku demikian telah menanamkan “bibit-bibit” normalisasi pelecehan seksual, karena si pelaku bisa menyangkal perbuatannya sebagai bahan lelucon. Apalagi Okin adalah figur publik, seharusnya sadar tingkah lakunya dikonsumsi audiens, tidak lagi bersifat kesenangan pribadi.
Pelecehan Seksual di Kelompok Pertemanan
Kenyataannya, kelompok pertemanan Okin dan Elnanda hanya satu dari sekian banyak yang mengemas pelecehan seksual dalam guyonan. Dari survei yang dilakukan Executive Director National School Boards Association (NSBA), Anne L. Bryant berjudul “Hostile Hallways: The AAUW Survey on Sexual Harassment in America’s Schools” (1993), 81 persen remaja di bangku SMA di AS pernah mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh teman-temannya.
Sementara melalui penelitian “Peer to peer sexual harassment in early adolescence: A developmental perspective” (2002) oleh Loren E. McMaster dkk., lelucon menjadi salah satu cara yang sering digunakan.
Baca Juga: Pelecehan Seksual Kian Marak, Termasuk dalam Situasi WFH
Berkaca dari kedua penelitian tersebut, terlihat bagaimana pelecehan seksual masih berada di kelompok pertemanan kita. Misalnya memanggil dengan sebutan tidak pantas yang mengarah ke hal-hal seksual, menyentuh bagian tubuh tanpa izin, dan mengomentari anggota tubuh yang sifatnya personal, baik secara verbal maupun di media sosial.
Semasa kuliah, saya mendengar teman laki-laki satu geng, melontarkan kalimat tidak pantas terhadap seorang teman perempuan kami, “Lo ke kampus kok bawa melon?” Ternyata ucapan itu merujuk ke fisiknya, yang dilanjutkan dengan kalimat berikut, “Mendingan kalau ke kampus jangan pakai baju itu deh, payudara lo kan besar.”
Mereka memosisikan teman perempuan kami perlu menutupi dadanya agar tidak mengganggu pandangan, padahal ia mengenakan kaos tidak ketat. Mungkin mereka tidak berpikir ucapannya menyinggung dan membuat orang lain tidak percaya diri dengan bagian tubuhnya.
Umumnya, pelaku meremehkan perilakunya karena menganggap toh ucapannya dituturkan pada seorang teman, ditambah embel-embel “demi kebaikan.” Ia akan menanggapi temannya sebagai orang baperan karena enggak bisa diajak bercanda atau menerima sarannya.
Menghindari Kelompok Pertemanan Toksik
Menerima perilaku pelecehan seksual, apalagi dilakukan oleh teman, sepertinya membuat korban berada pada posisi terhimpit. Di satu sisi merasa komentar yang diucapkan menyinggung perasaannya, tapi mau melawan pun sulit karena pelakunya teman sendiri, bahkan terngiang jika pelecehan itu adalah saran yang dikemas dalam komentar seksis. Ujung-ujungnya hanya memaksakan reaksi tertawa.
Namun, menurut komedian Sakdiyah Ma’ruf dalam Instagram live Magdalene “Bisik Kamis” (7/1), justru sebaiknya pelecehan seksual berbentuk lelucon tidak direspons dengan giggling atau emoji. Menurutnya, giggle merupakan persetujuan, artinya ikut senang dan menikmati sekaligus menunjukkan posisi inferior dan minder.
Tak bisa dipungkiri, lelucon merupakan hal esensial di hidup kita. Mengutip World Economic Forum, lelucon menjadi salah satu kemampuan yang dibutuhkan setiap orang. Sayangnya, dalam keseharian banyak lelucon seksis yang masih diutarakan dan dianggap normal.
Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
Dalam kelompok pertemanan, perlawanan malah diperlukan untuk menegaskan perilaku tersebut tidak pantas dan sebuah bentuk pelecehan, karena jika mengabaikannya, secara tidak langsung kita ikut melanggengkan lelucon seksis dan membiarkan lingkup pertemanan toxic.
Untuk menanggapinya, kita dapat mengajak pelaku berbicara baik-baik dan memberikan pemahaman terkait kesalahannya, bahwa perilakunya termasuk pelecehan seksual. Apabila komentarnya berkedok lelucon, tanyakan letak lucunya kalimat tersebut. Sementara jika berbentuk saran, kita bisa mengatakan agar mereka menyampaikannya secara privat dengan kalimat sopan.
Harapannya, lelucon seksis tidak lagi dilakukan, setidaknya mulai dari kelompok pertemanan.
Comments