Women Lead Pendidikan Seks
November 01, 2019

She Creates Change Berdayakan Perempuan Penggerak Perubahan di Bidang Lingkungan

Program She Creates Change dari Change.org Indonesia mengumpulkan aktivis perempuan di bidang lingkungan hidup untuk saling menguatkan.

by Shafira Amalia
Issues // Politics and Society
Seni_Komunitas_SupportGroup_SarahArifin
Share:

Vivi Dwi Santi sudah empat tahun menjadi dokter hewan di Borneo Orangutan Survival Foundation, Kalimantan Tengah, profesi yang dipilihnya dengan sadar dan sepenuh hati sejak ia melihat foto orang utan yang terperangkap di atas pohon yang dibakar warga bertahun-tahun lalu.

Ia mengatakan masih banyak orang-orang yang menyepelekan perempuan, terutama perempuan-perempuan yang bekerja dalam bidang dan medan yang dianggap “sulit”, seperti dirinya.

“Di lapangan, saya masih saja mendapat pertanyaan mengapa perempuan bekerja di hutan seperti ini. Orang-orang memperingatkan bahwa di hutan tidak bisa mendapatkan jodoh. Padahal, hello, we have more important things to worry about,” ujar Vivi, 28, sambil tertawa.

Kurangnya dukungan dan adanya sikap menyepelekan ini membuat banyak perempuan menjadi putus asa dengan mimpi-mimpinya, katanya.

“Padahal perempuan bisa menjadi apa pun yang mereka mau. Kita tidak terbatas, kita bisa jadi apa pun. Kita tahu apa yang kita sedang lakukan, jangan dengarkan mereka,” ujar Vivi kepada Magdalene.

Untuk memberi dukungan pada perempuan penggerak perubahan dalam lingkungan hidup,  Change.org Indonesia, sebuah platform untuk mendukung masyarakat dalam kampanye sosial dengan petisi daring, kemudian meluncurkan program She Creates Change: Green Camp yang berlangsung pada 24-28 Oktober 2019.

Desmarita Murni, Project and Partnership Director Change.Org, mengatakan inspirasi program ini didapat setelah mengikuti acara serupa di India tahun lalu. Change.Org Indonesia memilih tema spesifik lingkungan hidup karena di antara petisi-petisi daring sampai akhir 2018, isu ini menempati peringkat pertama.

Baca juga: Perempuan Bali Mimpi Terlibat Aktif dalam Gerakan Lingkungan Hidup

“Kampanye yang trending di Change.Org pada saat itu adalah kriminalisasi orang-orang yang menjadi saksi ahli dalam kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan lainnya,” kata Desmarita.

“Banyak dari kampanye itu digerakkan oleh perempuan. Kita melihat bahwa ini pintu masuk yang tepat untuk membawa pemberdayaan perempuan yang berkaitan dengan isu lingkungan,” katanya.

Desmarita mengaku kesulitan untuk memilih antara perempuan peserta program, yang pendaftarannya dibuka beberapa bulan lalu.

“Yang mendaftarkan diri lebih dari 1.200 orang. Padahal kita hanya memiliki spot untuk 20 perempuan. Akhirnya program ini diikuti oleh 21 perempuan keren karena sudah tidak bisa disaring lebih jauh lagi,” ujar Desmarita.

Berlangsung di Wisma Saung Nini, Cianjur, Jawa Barat, program ini diikuti perempuan dengan kisaran usia 20 tahun sampai 53 tahun, yang sudah memiliki inisiatif lingkungan hidup di daerahnya masing-masing.

Selain Vivi, ada Linda Nursanti, 25, dari Gresik, Jawa Timur, seorang pembuat film dokumenter yang memperlihatkan perjuangan warga yang daerahnya yang tercemar limbah berbahaya. Ada juga Westiani Agustin yang mengembangkan usaha pembalut kain untuk mengurangi dampak pembalut sekali pakai terhadap lingkungan dan juga meningkatkan akses informasi tentang kesehatan reproduksi.

Sementara itu, Syalfitri dari Palembang, Sumatra Selatan, membangun Junjung Birru, sebuah pusat pendidikan usia dini yang berfungsi sebagai posyandu lansia di teras rumahnya sendiri. Biaya masuk Junjung Birru? Hanya dengan sampah plastik.

Baca juga: Tertarik Aktivisme, Tapi Mulai Dari Mana?

Masih banyak lagi perempuan-perempuan penggerak perubahan lainnya. Di dalam program ini, mereka saling berkenalan, berdiskusi, dan juga belajar dari kampanye-kampanye di Change.org. Mereka juga melakukan latihan refleksi diri untuk mengevaluasi mimpi-mimpi mereka dan strategi yang mereka sedang lakukan untuk mencapainya.

Menurut Desmarita, latihan ini mengonfirmasi fakta bahwa banyak perempuan yang merasa bahwa mereka tidak mampu, terintimidasi, atau takut salah jika memulai gerakan perubahan.

“Masih ada rasa tidak percaya diri pada perempuan penggerak perubahan. Kami berharap mereka dapat lebih menggali potensi dirinya, melihat sebuah masalah secara utuh, dan juga strategi yang tepat untuk menggerakkan perubahan ini,” ujarnya.

Desmarita menambahkan ia berharap dukungan sesama perempuan dapat muncul di antara peserta program She Creates Change ini.

“Dukungan dari sesama perempuan, apalagi perempuan yang juga berjuang di dalam isu yang sama, itu memberikan energi yang saling menguatkan. Misalnya, awalnya ada salah satu yang berjuang sendiri di Papua, sekarang ia mendapatkan teman dari berbagai daerah yang juga berjuang,” lanjutnya.

Vivi mengaku awalnya merasa tidak percaya diri saat berdiri bersama peserta lainnya. Tetapi ia kemudian merasa program itu mengapresiasi kerjanya, dan bahwa semua peserta terjun dalam bidang yang berbeda-beda tetapi dengan kekhawatiran dan hati yang sama.

“Mungkin di luar sana banyak perempuan changemaker lainnya yang masih tidak percaya diri juga, yang masih merasa mereka tidak melakukan apa-apa, bahkan masih disepelekan oleh orang-orang sekitarnya,” kata Vivi.

“Tetapi saya ingin mereka tahu bahwa mereka bisa, ada yang mendengarkan, ada yang melihat kerja keras mereka. Ayo berjuang bersama.”

Shafira Amalia is an International Relations graduate from Parahyangan Catholic University in Bandung. Too tempted by her passion for writing, she declined the dreams of her young self to become a diplomat to be a reporter. Her dreams is to meet Billie Eilish but destroying patriarchy would be cool too.

Follow her on Instagram at @sapphire.dust where she's normally active.