Masyarakat Indonesia sudah terbiasa meminum obat-obatan herbal, seperti jamu, sehingga tidak heran saat pandemi COVID-19 terjadi dan vaksin belum tersedia, banyak yang kemudian mengonsumsi jamu. Kepopuleran campuran jamu seperti empon-empon melesat di tengah pandemi, memberikan peluang bisnis bagi sejumlah orang.
Meski ada manfaatnya terhadap imunitas, para ilmuwan menggarisbawahi bahwa peran jamu itu komplementer atau pelengkap, bukan berarti bisa menggantikan peran vaksin yang teramat vital.
Sampai hari ini, memang vaksin COVID-19 masih berada pada tahap pengujian klinis dan penelitian lanjutan, dan masih perlu waktu sebelum diedarkan kepada masyarakat luas. Hal itu tidak berarti obat herbal dapat menggantikan vaksin.
“Sifat vaksin memberikan respons spesifik terhadap antigen (mikroorganisme parasit), menargetkan secara spesifik, dan punya jumlah yang cukup untuk melawan virus. Kalau kita anggap itu tentara, nah, tentaranya sudah dilatih untuk menghadapi musuh-musuh, sehingga ketika ada musuh yang sebenarnya dia sudah bisa melawan,” Neni Nurainy, Manajer Senior Proyek Integrasi Peneliti Bio Farma, lembaga penelitian produsen vaksin, dalam webinar bertajuk “Vaksin dan Herbal: Bisakah Disandingkan?”, Rabu (18/11).
Menurut Neni, vaksin bermanfaat mengontrol mortalitas (kematian), morbiditas (derajat kerasnya penyakit dalam pengobatan dan epidemiologi), dan komplikasi yang disebabkan infeksi. Bayi-bayi di seluruh dunia telah terhindar dari kematian karena vaksinasi, ujarnya.
Baca juga: Pemerintah, Bio Farma Kembangkan Vaksin Merah Putih untuk COVID-19
Dalam kasus pandemi COVID-19 ini, kata Neni, target dari vaksin adalah untuk menimbulkan kekebalan individu maupun kelompok, atau yang sering disebut dengan istilah herd immunity.
“Secara prinsip scientific, kalau (tubuh) kita diberi sesuatu yang meningkatkan sistem imun, seperti jamu, diharapkan hasil vaksinnya menjadi lebih baik,” ujar Neni dalam webinar yang diselenggarakan oleh Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) itu.
Untuk mendapatkan vaksin yang aman perlu waktu yang sangat panjang, kata Neni. Namun masyarakat harus selalu sadar dan gencar dalam menjaga imunitas diri, salah satunya dengan mengonsumsi obat-obatan herbal, selain tentunya melaksanakan protokol kesehatan standar.
“Sambil menunggu vaksin, kita tetap harus meningkatkan imunitas tubuh. Jamu dan herbal bisa menjaga sistem imun, bahkan beberapa jenis punya antivirus tertentu, dan ada yang komponen-komponennya bisa jadi disinfektan, meski tetap membutuhkan uji klinis,” ujar Neni.
Pengusaha jamu Nova Dewi Setiabudi, yang memiliki kedai jamu Suwe Ora Jamu, mengatakan bahwa jamu secara empiris telah dipercaya secara turun temurun sebagai pemelihara imunitas bangsa Indonesia.
“Kita masih menunggu vaksin selesai. Gimana caranya supaya sambil menunggu kita tidak sampai lengah menjaga kesehatan. Ketika badannya lemah, pasti lebih gampang terdampak virus-virus. Ketika kita sehat, jamu peranannya preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif,” ujarnya pada webinar yang sama.
Baca juga: Pandemi Hambat Program Penapisan Kanker Serviks di Indonesia
Nova juga mengatakan pentingnya mengenali tubuh kita sendiri di masa-masa yang mengkhawatirkan ini. Menurutnya, ketika kita sudah merasa ada yang salah dari tubuh kita, kita harus memperbaiki itu dengan melakukan booster, salah satunya dengan meminum jamu, untuk membiasakan diri kita memiliki pola hidup yang lebih sehat.
“Kalau kita tidak mau mendongkrak stamina hanya karena jamu rasanya pahit, bagaimana kita bisa menjadikan ini new habit? Tubuh kita perlu dilatih supaya bisa menerima jamu untuk bersinergi meningkatkan imunitas,” ujarnya.
Pembuatan vaksin lama
Secara umum, Neni dari Bio Farma mengatakan bahwa pembuatan vaksin memerlukan waktu enam sampai 15 tahun. Fase pembuatannya sangat panjang dan kompleks, dimulai dari penelitian, uji pra-klinis terhadap hewan, uji klinis fase 1-2-3 terhadap manusia, sampai post-marketing surveillance, agar vaksin itu benar-benar terbukti aman bagi masyarakat. Saat ini, kita sudah berada di uji klinis fase tiga, kata Neni.
Tapi dalam kasus vaksin COVID-19, pembuatan vaksin bisa selesai dalam waktu 12 sampai dengan 18 bulan karena beberapa faktor yang mendukung percepatannya, ujarnya. Faktor-faktor itu termasuk pengalaman pembuatan vaksin corona jenis lain (SARS-1 dan MERS), prosesnya yang paralel dengan usaha negara-negara lain di seluruh dunia, serta adanya relaksasi regulasi dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) untuk bisa mengeluarkan izin darurat penggunaan setelah sudah ada bukti keamanan dan kualitas vaksin ini, ujar Neni.
Baca juga: 4 Peran Penting Puskesmas Hadapi New Normal
Meski begitu, tetap ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam mengembangkan vaksin di saat pandemi. Tantangan-tantangan ini muncul seiring dengan karakteristik perubahan tatanan hidup manusia pasca pandemi menyerang beberapa bulan terakhir ini.
“Yang pertama itu kecepatan, karena kita ingin menyelamatkan manusia, dan sekarang sudah banyak yang jatuh jadi korban. Bukan berarti penelitiannya dihentikan. Tapi dipercepat karena teknologi platform yang cepat dan relaksasi regulasi,” kata Neni.
“Karena produksinya dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat (scalability dan akses), kapasitas global tidak cukup. Jadi tidak bisa mengandalkan produksi negara sendiri. Biaya yang dibutuhkan juga cukup tinggi, karena tidak ada garansi vaksin ini akan dipakai rutin,” ujarnya.
Setelah vaksin selesai pun masalah distribusinya hingga bisa sampai ke masyarakat tidak bisa dilakukan sembarangan. Vaksin harus dibawa dengan transportasi menggunakan truk berpendingin untuk menjaga suhu dan sterilitasnya untuk menjaga kualitas vaksin itu sendiri.
Comments