Women Lead Pendidikan Seks
May 02, 2018

Stigma dan Fasilitas Tak Memadai Hambat Pekerja dengan Disabilitas

Fasilitas tidak memadai dan stigma tidak mampu mengerjakan tanggung jawabnya masih membayangi pekerja dengan disabilitas.

by Tabayyun Pasinringi
Issues // Politics and Society
Share:

Pemerintah Indonesia telah mengatur isu ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, termasuk soal peluang kerja tanpa adanya perilaku diskriminatif.
Sayangnya, aktivis hak-hak disabilitas mengatakan bahwa tempat kerja masih sarat diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, seperti pemberian gaji atau upah yang lebih rendah, tidak tersedianya fasilitas yang memadai, dan kesempatan pengembangan karier yang minim.
Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Maulani Rotinsulu mengatakan para penyandang disabilitas masih menghadapi stigma sebagai orang-orang yang tidak mampu melakukan tanggung jawabnya sehingga mereka harus menunjukkan usaha lebih agar dianggap “mampu” untuk bekerja.
Hal tersebut berpengaruh pada gaji atau upah yang mereka terima, ujar Maulani, yang memakai tangan kanan palsu.
“Saya punya seorang teman, dia tunanetra dan seorang guru Bahasa Inggris yang sangat excellent di bidangnya. Ia bekerja di sebuah tempat kursus dan upah yang diberikan lebih rendah dari guru lainnya. Itu sudah dianggap seperti hal biasa ‘ya sudahlah ya, segitu saja sudah cukup’,” jelasnya dalam diskusi Suara Pekerja Perempuan dan Difabel pada Festival Pekerja di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pada 21-22 April lalu.
Hal tersebut kemudian sangat kontradiktif dengan kebutuhan kehidupan penyandang disabilitas yang lebih tinggi, akibat kurang memadainya fasilitas publik yang disediakan negara yang belum mempertimbangkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas, tambahnya.
“Banyak sekali fasilitas yang disediakan negara bagi warga negara, tapi ketika mempersiapkan fasilitas, ada satu kelompok yang tertinggal karena mereka tidak mengetahui bagaimana kelompok itu bisa menikmati pembangunan bersama masyarakat lain,” ujar Maulani.
UU No. 8 Tahun 2016 sebetulnya mengatur agar penyandang disabilitas mendapatkan kesempatan peluang kerja dan tidak mengalami diskriminasi baik di ruang formal pemerintah maupun swasta dengan perolehan upah yang sama, memperoleh kesempatan mengembangkan jenjang karier dengan berbagai hak normatif untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, serta penyediaan akomodasi yang dapat membantu dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang produktif dalam bekerja.
Namun, pada praktiknya, menurut Maulani, masih harus ada upaya untuk memperbaiki perspektif masyarakat secara umum bahwa penyandang disabilitas mampu menjadi subyek pembangunan.
“(Para penyandang disabilitas) harus difasilitasi dan diperbaiki lingkungannya karena permasalahan ada pada lingkungan atau aksesibilitas infrastruktur dan kedua faktor perspektif atau perilaku,” ujarnya.




Akomodasi Layak dan Penghapusan Stigma
Survei antar sensus Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 menyebutkan terdapat lebih dari 21 juta penyandang disabilitas di Indonesia. Di dunia kerja, Kementerian Ketenagakerjaan dalam laporan untuk Komite Hak Penyandang Disabilitas PBB pada 2016 menyebutkan ada lebih dari 7 juta  penyandang disabilitas.
Maulani mengatakan aturan yang berlaku menyatakan bahwa kuota kerja bagi penyandang disabilitas memiliki adalah minimal 1 dibanding 50, dan pemberi kerja harus memastikan hak berserikat serta mempromosikan akomodasi dan aksesibilitas di ranah kerja, mengakomodasi proses pengaduan atas pelanggaran hak, serta mendapatkan jaminan sosial dalam lingkup ruang kerja.
Meskipun begitu, masih bisa ditemui keterbatasan fasilitas serta stigma di ranah kerja yang akhirnya menimbulkan ketidaknyamanan bagi penyandang disabilitas.
“Mereka (penyandang disabilitas) tidak betah karena adanya stigma-stigma yang berkembang. Mereka sudah dilatih kemampuannya, misalnya di Cibinong ada pelatihan profesional dengan standar internasional. Namun ketika masuk ke suatu tempat kerja, kantor atau lingkungannya tidak mempersiapkan kehadiran mereka,” jelasnya.
“Secara kebijakan ini bukan hal yang baru, tapi ketika diberikan kepada perusahaan itu hanya sebagai pilihan saja. Mereka menganggap, ‘Kalau enggak ada, enggak penting juga’. Begitu kan? Tapi untuk penyandang disabilitas ini adalah yang harus ada,” jelasnya.
“Jadi mereka dicemplungin saja langsung ke perusahaan dan menyesuaikan diri dengan pekerjaanya. Misalnya dia pengguna kursi roda kemudian ruang kerjanya sempit, sehingga kalau lewat menyenggol meja rekan kerjanya bisa menimbulkan ketidaknyamanan,” lanjutnya.
Maulani menyebutkan penting dilaksanakannya proses orientasi agar orang-orang di lingkungan kerja bisa memahami dan tahu cara berinteraksi dengan para penyandang disabilitas.
“Kalau tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas, mereka juga tidak akan betah karena mereka akan merasa, ‘kok saya salah melulu ya’, ‘kok saya ngebebanin orang melulu’. Orientasi terhadap lingkungan kerja hingga cara bergaul itu sangat penting” jelasnya.
Maulani mengatakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus menyiapkan unit layanan disabilitas, tempat masyarakat atau perusahaan memperoleh informasi atau pelatihan terkait penyandang disabilitas.
“Perusahaan yang ingin memperkerjakan penyandang disabilitas mendapatkan bimbingan agar perusahaan, pemilik, atau rekan kerja bisa mengerti tentang penyandang disabilitas yang pendekatannya memang sedikit berbeda dari biasanya,” ujar Maulani.
 
Baca juga tentang 32 tahun posyandu, yang masih miskin dana, regenerasi, dan perspektif gender.
Tabayyun Pasinringi adalah reporter magang Magdalene, mahasiswa jurnalistik yang gemar mendengarkan musik
dream pop dan menghabiskan waktunya dengan mengerjakan kuis Buzzfeed.