Sebuah survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman menunjukkan bahwa tiga dari lima perempuan di Indonesia adalah korban pelecehan seksual di ruang publik. Bentuk pelecehannya beragam, mulai dari pelecehan verbal, pelecehan fisik sampai gestur vulgar, dan mayoritas dilakukan di siang hari.
Survei ini melibatkan 62.224 responden di seluruh Indonesia dan berlangsung pada 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan pada akhir 2018. Penyelenggara survei adalah organisasi-organisasi yang bergerak melawan kekerasan seksual, yakni Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, dan Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG), dan survei itu dimuat oleh Change.org Indonesia.
Dari analisis data survei tersebut, Koalisi menemukan bahwa pelecehan seksual di ruang publik terjadi pada perempuan dan laki-laki, namun perempuan 13 kali lebih rentan mengalaminya. Sebanyak 64 persen dari 38.766 perempuan yang mengikuti survei pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, sementara dari 23.403 laki-laki yang mengikuti survei, hanya 11 persen pernah mengalaminya.
“Dan 52 persen responden pertama kali mengalami pelecehan seksual sebelum mereka menginjak usia 16 tahun,” ujar Rastra Yasland dari Lentera Indonesia, kelompok dukungan untuk penyintas kekerasan seksual, dalam acara peluncuran survei tersebut di Jakarta (17/7).
Sebanyak 60 persen dari responden survei mengalami pelecehan seksual verbal yaitu mendapatkan komentar atas tubuhnya, siulan, diklakson, suara ciuman, dan komentar seksual; 24 persen mengalami pelecehan fisik yaitu disentuh, dihadang, digesek, dikuntit, atau difoto; dan 15 persen darinya mengalami pelecehan visual yaitu gestur vulgar, dipertontonkan masturbasi atau di flash (diperlihatkan kelamin).
“Indonesia sebelumnya tidak memiliki data tentang pelecehan seksual secara detail dan berskala nasional. Survei ini kami harapkan dapat menjadi data yang dapat mendorong kesadaran bahwa pelecehan seksual itu ada dan juga untuk mendorong institusi dan pemerintah untuk menyediakan ruang yang aman,” ujar Rastra.
Baca juga: Perusahaan transportasi online didesak cegah kekerasan terhadap perempuan.
Selain menunjukkan seberapa sering terjadinya pelecehan seksual, survei ini juga ingin menunjukkan pentingnya isu ini dengan menunjukkan dampaknya terhadap korban pelecehan, ujar Rastra. Pada saat pelecehannya sendiri, kebanyakan korban menceritakan bahwa mereka merasa tidak nyaman, merasa direndahkan dan juga merasa marah. Pelecehan juga memiliki dampak yang jangka panjang yaitu trauma dan pembatasan ruang gerak.
“Korban sering kali merasa mereka tidak bisa melakukan sebuah aktivitas tertentu atau mengubah rutinitas mereka karena trauma dengan pelecehan yang dialaminya. Mereka juga mungkin menutup diri dan bahkan mengubah metode transportasi untuk mencegah hal itu terjadi lagi,” ujar Rastra.
Mitos pakaian terbuka
Survei tersebut juga bermaksud untuk membantah mitos-mitos pelecehan seksual di ruang publik yang sering kali menyalahkan pakaian korban atau waktu terjadinya pelecehan. Hasil dari survei menunjukkan bahwa 35 persen kejadian pelecehan seksual di ruang publik paling sering terjadi pada siang hari, diikuti dengan sore hari dengan 25 persen. Hasil ini membongkar mitos yang menyalahkan korban perempuan karena beraktivitas pada malam hari.
Mitos yang menyalahkan pakaian korban juga dibuktikan salah dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa 18 persen korban sedang memakai rok atau celana panjang saat pelecehan terjadi, 17 persen adalah perempuan berhijab, 16 persen sedang memakai baju lengan panjang, dan 14 persen menggunakan seragam sekolah atau baju longgar.
“Kita ingin menunjukkan bahwa pelecehan seksual itu dapat terjadi kapan saja dan ke siapa saja. Dulu kita harus menjelaskan berdasarkan data internasional, tetapi kini kita memiliki data sendiri,” kata Rastra.
Pelecehan seksual memiliki dampak yang jangka panjang yaitu trauma dan pembatasan ruang gerak.
Dengan survei ini, koalisi berharap bahwa masyarakat jadi semakin sadar terhadap isu pelecehan seksual dan aktif dalam menyuarakan dan mencegah pelecehan yang terjadi di sekitarnya. Menurut survei, hanya 56 persen korban sudah berani melawan pelaku pelecehan seksual. Sementara itu, 92 persen responden merasa terbantu saat ada orang lain yang mengintervensi pada saat terjadi pelecehan. Hanya 43 persen responden pernah membantu korban mengintervensi pelecehan seksual di ruang publik.
“Dampak kepada korban besar, tetapi jika kita meluangkan waktu untuk mendatangi mereka dan memberitahu mereka bahwa apa yang dialaminya adalah tidak benar tetapi itu bukan salah mereka, itu bisa sangat membantu,” ujar Rastra.
“Just take the time to talk to them, to tell them that you saw that, that what happened was wrong, that it wasn’t their fault and that you are there to help them if they need anything,” tambahnya.
Mariana Amiruddin, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mengatakan survei ini juga diharapkan tidak hanya meningkatkan kesadaran tentang pelecehan seksual di masyarakat tetapi juga pemerintahan.
“Survei ini sangat penting karena dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dengan menunjukkan isu pelecehan seksual dari perspektif korban secara meluas. Karena jarang korban melaporkan isu pelecehan seksual di ruang publik ke Komnas Perempuan,” ujar Mariana.
“Dengan meningkatnya kesadaran tentang seberapa menyeramkan isu pelecehan seksual dan seberapa pentingnya penanganan isu pelecehan ini, Komnas Perempuan berharap masyarakat juga bisa membantu mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS),” tambahnya.
Baca juga: RUU PKS tidak menyalahi ajaran Islam.
Aktris dan aktivis hak perempuan Hannah Al Rashid mengatakan sudah banyak korban yang berani melapor dan berani berbicara tentang pelecehan tapi pada akhirnya tidak mendapatkan keadilan yang mereka layak dapatkan.
“Undang-undang kita masih sering berpihak kepada pelaku dan bukan korbannya. Ini yang menyebabkan korban akhirnya malas atau takut untuk melaporkan. Bahkan masih banyak kasus pelecehan yang berakhir ‘damai’,” ujar Hannah.
“Kita kadang mengesampingkan isu dengan harapan akan diselesaikan dengan orang-orang yang memiliki power yang lebih seperti para pembuat keputusan. Padahal, kita sebagai masyarakat juga memiliki kekuatan untuk mengedukasi, meningkatkan kesadaran sesama masyarakat dan juga mendorong perhatian pemerintah dalam suatu isu,” tambahnya.
“Terus pelajari tentang isu ini, terus menyuarakan, terus advokasi tentang penanganan dan juga mendorong pemerintah untuk sahkan RUU PKS. We have more power than we know,” ujar Hannah.
Comments