Hasil survei “Kekerasan Seksual di Kalangan Jurnalis” yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menunjukkan bahwa kekerasan seksual banyak dialami oleh jurnalis, sebagian besar perempuan, dan pelaku terbanyak adalah narasumber pejabat publik. Pelaku lain berupa narasumber non-pejabat publik, atasan, kolega, sesama jurnalis dari kantor berbeda, aparat, massa aksi, dan dosen.
Dilakukan pada Agustus 2020 silam, survei ini dilakukan untuk menciptakan iklim kerja yang aman bagi jurnalis karena banyaknya cerita kekerasan seksual di antara para wartawan yang menunjukkan kerentanan mereka.
Survei tersebut juga dibagikan kepada seluruh wartawan Indonesia dan dari total 34 responden, 25 di antaranya mengaku pernah mengalami kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang dilakukan pejabat publik dilaporkan oleh 13 responden.
Ketua divisi gender AJI Jakarta, Nurul Nur Azizah mengatakan survei ini tidak menekankan pada jumlah atau kuantitas, tetapi pada kasus kekerasan seksual yang terjadi secara nyata di kalangan jurnalis.
“Kami menganggap, ini adalah sebuah awal dan selanjutnya mendorong adanya mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual di kalangan jurnalis dan pemulihan korban,” ujarnya dalam webinar peluncuran survei tersebut (16/1).
Bentuk kekerasan seksual yang dialami jurnalis juga beragam: catcalling, pemerkosaan, sentuhan fisik, pesan bernada seksual, menjadi bahan candaan bernuansa seksual, gratifikasi untuk mengharap tindakan seksual atau romantis, penguntitan, eksploitasi seksual, dan tatapan ke arah dada.
Baca juga: Riset: Pemahaman Jurnalis Atas Isu Kekerasan Seksual Sangat Minim
Kekerasan Seksual di Kantor Media
Para responden ini mengatakan kekerasan seksual pada jurnalis terjadi saat melaksanakan liputan, di kantor, di luar waktu kerja tapi masih berhubungan dengan pekerjaan, dan saat acara pertemuan jurnalis.
“Seorang responden bisa mengalami lebih dari satu kekerasan seksual karena pada pertanyaan ini bisa memberi lebih dari satu jawaban,” ujar Widia Primastika, koordinator survei.
Dari responden yang mengalami kekerasan seksual, 63,3 persen tidak melaporkan kasusnya ke kantor dan sisanya melaporkan, ujar Widia. Namun hanya satu orang responden yang diberi pendampingan oleh perusahaan media tempatnya bekerja.
“Responden menyatakan mereka tidak melapor karena malu, takut disalahkan, takut tidak dipercaya, tidak punya cukup bukti, tidak punya dukungan, diintimidasi pelaku, dan dianggap tidak penting,” ujarnya.
Respons perusahaan media sendiri beragam terhadap pelaporan kasus kekerasan seksual ini: Merespons tapi tidak melanjutkan pelaporan, mengintimidasi korban karena mengalami kekerasan seksual di dalam kantor, menyalahkan korban, tidak menanggapi kasus, atau menganggap itu sebagai risiko pekerjaan.
Baca juga: Riset: Pemahaman Jurnalis Atas Isu Kekerasan Seksual Sangat Minim
Menanggapi tentang pelaku kekerasan seksual dari sesama wartawan dan rendahnya respons perusahaan media untuk penanganan kasus, Pemimpin Redaksi Tempo, Wahyu Dhyatmika mengatakan, kondisi tersebut merefleksikan cara media memberitakan isu perempuan dan kelompok minoritas.
“Misalnya, LGBT yang sering menjadi korban pemberitaan bias. Perempuan juga sering kali mengalami bias gender dan tidak ditempatkan di posisi yang setara dengan laki-laki,” kata Wahyu, yang juga Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) itu.
Pentingnya Pembentukan SOP Kekerasan Seksual
Nenden S. Arum dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengatakan, riset tentang kekerasan seksual yang dialami jurnalis melebarkan konsep keselamatan pada jurnalis, yaitu melampaui definisi kekerasan fisik non-seksual. Selain itu, KKJ masih belum memiliki mekanisme perlindungan yang spesifik menyasar kasus kekerasan seksual pada jurnalis.
“Satu korban sudah cukup banyak untuk kasus kekerasan jurnalis. Menarik ketika mengangkat kasus ini (kekerasan seksual) sebagai salah satu konteks dari keselamatan jurnalis secara umum,” ujarnya.
Baca juga: ‘Bombshell’: Meja Redaksi jadi Sarang Predator Seksual
Hasil survei yang melibatkan jurnalis dengan rentang usia 18-51 tahun itu menunjukkan 52,9 persen dari responden menyatakan kantor media tempatnya bekerja tidak memiliki standard operating procedure (SOP), sementara 35,3 persen tidak tahu tentang SOP, dan 11,8 persen memiliki SOP.
Agus Sudibyo dari Dewan Pers mengatakan, lembaganya mendukung dibentuknya SOP dalam menangani kasus kekerasan seksual di kalangan jurnalis. Ia mengatakan jika draft SOP dari asosiasi wartawan sudah disiapkan, langkah selanjutnya adalah dirumuskan dan disepakati bersama.
“Dewan pers tinggal mengesahkan. Dewan pers tidak pernah merumuskan aturan sendiri, selalu ada inisiatif dari asosiasi jurnalis dan dibahas bersama,” ujar Agus.
Justitia Avila Veda, pengacara dari Kolektif Advokat untuk Kesetaraan Gender (KAKG) mengatakan, selain SOP atau mekanisme penanganan kasus yang detail, pola pikir bystander antara kolega atau menyaksikan kasus kekerasan dan diam saja, perlu dihapuskan.
“Selain itu, diperlukan juga mekanisme mengenai rujukan psikologis untuk pemulihan korban, mekanisme agar pelaporan tidak sekedar menjadi wacana, serta pelatihan gender karena jurnalis bertemu dengan pihak yang sarat kultur seksisme, seperti pejabat publik,” ujarnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.
Comments