Women Lead Pendidikan Seks
February 03, 2021

Tafsir Ramah Perempuan untuk Ubah Pandangan Negatif Soal Menstruasi

Tafsir ajaran Islam yang lebih berpihak pada pengalaman perempuan tidak lagi menganggap menstruasi sebagai hal yang kotor dan hina.

by Siti Parhani, Social Media Coordinator
Lifestyle // Health and Beauty
Share:

Menstruasi dan nifas masih dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan patut dijauhi. Bahkan dalam iklan soal menstruasi pun, darah haid diganti dengan cairan biru. Dalam banyak kepercayaan, bahkan perempuan yang sedang menstruasi dianggap sebagai pembawa bencana dan kutukan.

Dosen pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an di Jakarta sekaligus pendiri Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI), Nur Rofiah mengatakan, munculnya pandangan buruk perempuan yang mengalami menstruasi tersebut tidak terlepas dari anggapan darah pada zaman dulu yang diidentikkan dengan sesuatu negatif, seperti sakit keras, peperangan, dan pembunuhan.

“Hal itu kemudian semakin dilanggengkan dengan minimnya ilmu pengetahuan tentang anatomi tubuh dan sistem kesehatan reproduksi, sehingga menstruasi sering dihubungkan dengan hal-hal tidak masuk akal, seperti cacat, ilmu hitam, bencana dan kutukan,” ujarnya dalam diskusi Tabu Menstruasi Dalam Perspektif Islam yang digelar oleh Lingkar Ngaji Kajian Gender Islam (KGI) (22/1).

Dalam masyarakat Yahudi dan Nasrani zaman dulu, menurut Nur, perempuan menstruasi dianggap sedang menjalani kutukan Tuhan karena kesalahan Hawa sebagai perempuan pertama yang menyebabkan Adam jatuh dari surga. Para perempuan yang sedang menstruasi lalu diperlakukan secara tidak manusiawi, seperti dilarang tinggal seatap atau makan bersama, seolah-olah mereka manusia yang menjijikkan dan harus dikucilkan.

“Kepercayaan yang menyalahkan perempuan seperti itu juga banyak terjadi di pedalaman Eropa Asia Tengah, dan Afrika Utara, di mana tatapan perempuan yang sedang menstruasi disebut pembawa bencana dan tatapan iblis,” ujar Nur.

Baca juga: Kamu Menstruasi? Sini Cek Dulu

Turunnya Ayat tentang Menstruasi untuk Melindungi Perempuan

Menstruasi atau haid dibahas secara spesifik dalam Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah ayat 222:

Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.

Nabi Muhammad, ujar Nur, mencontohkan untuk tidak memandang buruk perempuan yang sedang menstruasi apalagi sampai mengucilkan mereka. Hal ini tecermin dalam hadis yang menyerukan agar mengumpulkan para perempuan yang sedang menstruasi ke dalam rumah, dan mereka boleh melakukan segala sesuatu kecuali berhubungan seksual, ujarnya.

Pandangan Nabi yang tidak mengucilkan perempuan yang sedang menstruasi, dan justru melindungi mereka agar tidak dipaksa melakukan hubungan seksual, membuat masyarakat saat itu heran dan menyebutnya sebagai orang yang tersesat, tambahnya.  

“Ayat-ayat Al-Qur’an tentang menstruasi turun untuk meluruskan tradisi yang buruk dan merugikan perempuan, misalnya ya itu pemaksaan hubungan seksual saat sedang menstruasi,” ujar Nur Rofiah.

Dalam hadis lain, Aisyah mengatakan bahwa Nabi tidak segan untuk minum di gelas yang sama dengannya dan makan daging bekas gigitannya—hal yang tidak lazim dilakukan dalam masyarakat kala itu. Aisyah melihat sosok Nabi tidak pernah menganggapnya hina hanya karena dirinya sedang menstruasi, ujar Nur.

Baca juga: 5 Dokumenter Layak Tonton Soal Ketubuhan Perempuan

Tafsir Ayat tentang Menstruasi yang Maskulin

Meski dalam konteks penurunan ayat sudah jelas bahwa tujuannya untuk melindungi perempuan dari praktik yang meminggirkan mereka. Namun, masih banyak pihak yang menafsirkan ayat-ayat itu dari sudut pandang laki-laki, ketimbang perempuan yang mengalaminya.

Kata adza dalam surat Al-Baqarah ayat 222 di atas, misalnya, memiliki makna yang tidak tunggal, ujar Nur. Adza bisa berarti sebagai kotor, gangguan, dan sesuatu yang bisa menimbulkan rasa sakit. Tapi kemudian disepakati bahwa yang dipakai adalah adza yang berarti kotor, sehingga dalam ayat tersebut menstruasi dimaknai sebagai sesuatu yang kotor.

Padahal, menstruasi sering kali dibarengi dengan rasa sakit dan perasaan emosi yang tidak stabil, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa adza yang dimaksudkan ayat tersebut memiliki arti rasa sakit, ujar Nur. Hal-hal seperti ini yang menurutnya perlu dikritik, karena maknanya bisa berbeda jauh kalau memakai makna yang lain.

“Bagaimana jika adza yang dimaksud ini adalah rasa sakit? Sehingga orang diharuskan menjauh agar perempuan yang sedang haid punya waktu untuk istirahat? Bukan karena mereka kotor,” ujar Nur.

“Banyak perempuan yang sampai minum pil KB supaya enggak menstruasi saat beribadah haji. Perempuan jadi harus mengikuti standar ibadah haji laki-laki. Padahal, dulu Nabi pernah berkata pada Aisyah, ketika ia sedang ibadah haji dan tiba-tiba haid, bahwa itu sesuatu yang biasa saja dan Aisyah tetap melanjutkan ibadah.”

Pemaknaan kata adza yang berarti rasa sakit juga dipakai dalam Surat Al-Baqarah Ayat 263 yang berbunyi: perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerimanya). Selain itu, dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi Muhammad juga menggunakan kata adza untuk menggambarkan kesakitan hatinya ketika menantunya, Ali bin Abi Thalib, diminta menikahi perempuan lain.

“Selain adza, kata tobat di akhir ayat sering diartikan sebagai keharusan perempuan untuk bersuci dan bertobat. Tapi bagaimana kalau kata tobat tersebut diperuntukkan mereka yang selama ini bersikap salah dalam memperlakukan perempuan? Dan tidak peduli dengan sakitnya perempuan yang sedang menstruasi? Ini sesuai dengan konteks ketika ayat ini diturunkan,” kata Nur.

Menggambarkan Pengalaman Menstruasi yang Lebih Positif

Menurut Nur Rofiah, pemaknaan kata yang lebih positif dalam melihat tafsir menstruasi adalah proses untuk mengubah paradigma negatif yang selalu disematkan pada pengalaman perempuan terkait dengan tugas biologisnya. Adanya aturan dalam Islam yang melarang perempuan yang sedang menstruasi untuk salat dan berpuasa seharusnya tidak lalu menjadikan menstruasi sesuatu yang menyebalkan dan hina. Tapi itu adalah bentuk perhatian agama pada masa-masa berat menstruasi yang dialami perempuan.

Baca juga: Menstruasi Terganggu Saat Pandemi? Kamu Tidak Sendiri

“Ketika melaksanakan haji, banyak perempuan yang sampai minum pil KB supaya enggak menstruasi. Hal ini bagi saya menandakan bahwa perempuan harus mengikuti standar ibadah haji laki-laki. Padahal, dulu Nabi pernah berkata pada Aisyah, ketika ia sedang ibadah haji dan tiba-tiba haid, bahwa itu sesuatu yang biasa saja dan Aisyah tetap melanjutkan ibadah,” ujar Nur Rofiah.

Nur Rofiah menambahkan, penting untuk melihat suatu dalil berdasarkan prinsip halalan thayyiban wa marufan, agar perempuan tidak mudah menginternalisasi pesan keagamaan yang justru tidak berpihak pada perempuan.

Hal itu bisa dilakukan dengan mempertimbangkan tiga prinsip. Pertama, apakah sesuatu itu boleh atau tidak menurut Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini lazim menggunakan nalar bayani atau nalar yang didasarkan pada teks-teks otoritatif, ujarnya.

Kedua, sesuatu yang halal menurut agama itu baik atau tidak untuk kita? Misalnya berhubungan seksual bagi pasangan suami istri itu halal, namun yang halal itu menjadi tidak baik ketika suami memaksa istri yang sedang menghadapi PMS (Premenstrual Syndrome) dan kesakitan.

Ketiga, sesuatu sudah dianggap halal dan baik, tapi kita harus bertanya lagi apakah itu layak atau tidak untuk dilakukan. Misalnya, perempuan habis melahirkan dan habis masa nifas. Secara hukum itu halal untuk berhubungan seksual, tapi apakah layak istri yang masih sakit diajak berhubungan badan?

“Peduli pada kondisi khas perempuan haid ini juga tanda suami sholehah, cermin keluarga Islami, masyarakat Islami, dan semesta yang dirahmati,” kata Nur Rofiah.

Bisa dipanggil Hani. Mempunyai cita-cita utopis bisa hidup di mana latar belakang manusia tidak jadi pertimbangan untuk menjalani hidup.