Women Lead Pendidikan Seks
March 11, 2022

Tahun Ketiga Pandemi: ‘Telemedicine’ adalah Kunci

‘Telemedicine’ dapat menjadi alternatif bagi pasien untuk tetap dapat mengakses layanan kesehatan selama pandemi.

by Irwandy
Issues
Antibiotics_Virus
Share:

Pagebluk COVID-19 di Indonesia telah memasuki tahun ketiga dalam pekan ini. Bisa dibilang, relatif sulit menghitung kapan pandemi ini akan berakhir. Pasalnya, virus itu terus bermutasi dan masih ada puluhan jutaan orang yang belum divaksin.

Varian Omicron yang melanda saat ini tidak akan menjadi varian terakhir yang muncul. Namun berita baiknya adalah, beberapa ahli meyakini bahwa jika dilihat dari polanya, mutasi virus ke depan diprediksi akan menjadi lebih lemah.

Berdasar hal tersebut, memasuki tahun ketiga kita berharap pemerintah untuk mulai fokus dalam menyiapkan berbagai kebijakan dan strategi dengan tujuan lebih jauh ke depan dari sekadar hanya mengendalikan pandemi.

Pemerintah harus mulai memperkuat sistem kesehatan memasuki periode epidemik dan atau endemik, hingga menghadapi pandemi selanjutnya yang diprediksi bisa lebih berbahaya.

Baca juga: Untung Rugi Perempuan di Tengah Pandemi COVID-19

Salah satu paket kebijakan dan strategi yang penting untuk segera dipersiapkan pemerintah untuk memperkuat sistem pelayanan kesehatan kita adalah layanan telemedicine.

Sampai kini layanan medis online ini menghadapi beberapa hambatan. Misalnya adalah kurangnya dukungan legalitas layanan, belum adanya jaminan pembiayaan dari pemerintah, hingga kesiapan rumah sakit yang masih rendah.

Apa itu Telemedicine?

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019, telemedicine adalah pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.

Layanannya meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.

Telemedicine dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama, store-and-forward telemedicine, yakni proses dan pertukaran data dilakukan pada saat pengirim dan penerima tidak hadir pada waktu yang sama. Contohnya, pemeriksaan x-ray pasien yang dikirim ke profesional kesehatan melalui email atau aplikasi tertentu seperti TEMENIN milik Kementerian Kesehatan.

Kedua, real-time telemedicine, layanan ini terjadi saat profesional kesehatan dan pasien berinteraksi dalam waktu yang sama dan bersifat interaktif. Contohnya layanan konsultasi kesehatan online melalui video.

COVID-19 dan Telemedicine

Pandemi COVID-19 telah membawa perubahan besar pada berbagai kehidupan manusia termasuk cara kita berinteraksi, bersosialisasi, bekerja termasuk dalam mengakses pelayanan kesehatan.

Selama pandemi, kunjungan ke pelayanan kesehatan menurun drastis. Alasannya, masyarakat takut tertular virus, demikian pula para tenaga medis. Karena itu, telemedicine dapat menjadi alternatif bagi pasien untuk tetap dapat mengakses layanan kesehatan selama pandemi.

Baca juga: Kisah Perawat COVID-19: Terpisah dari Keluarga, Jadi Teman Curhat Pasien

Sayangnya, perkembangan layanan telemedicine di fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit tidak berkembang secepat implementasi telemedicine pada berbagai perusahaan startup kesehatan.

Padahal, studi yang dilakukan oleh Inventure-Alvara pada 2020 menunjukkan, konsumen berharap rumah sakit dapat menyediakan layanan telemedicine pada masa depan. Hal ini karena ekosistem yang sudah terbentuk, fasilitas, keahlian dokter dan layanan rumah sakit sudah teruji dan lebih memberikan nilai keamanan.

Perlu Dukungan Legalitas Layanan

Saat ini regulasi pelayanan telemedicine di rumah sakit masih sangat terbatas. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 hanya mengatur tentang

penyelenggaraan pelayanan telemedicine antar fasilitas pelayanan kesehatan, belum mencakup layanan antara pasien dan rumah sakit (dokter).

Pelayanan telemedicine langsung antara pasien dan rumah sakit (dokter) saat ini hanya diizinkan selama masa kedaruratan kesehatan masyarakat atau bencana nasional COVID-19. Regulasi tersebut diatur dalam surat edaran Menteri Kesehatan dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia yang memberikan kewenangan klinis dan praktik kedokteran melalui telemedicine pada masa pandemi COVID-19 di Indonesia bagi dokter dan dokter gigi.

Masalahnya, ketika masa kedaruratan pandemi dinyatakan berakhir, akan ada celah kekosongan regulasi layanan telemedicine untuk rumah sakit, profesional kesehatan, serta pasien.

Oleh karena itu, pemerintah harus mulai mempersiapkan dukungan dalam bentuk legalitas kebijakan mulai saat ini.

Baca juga: Rumah Berpotensi Jadi Tempat Penularan COVID-19

JKN-KIS Perlu Ikut Ambil Bagian

Regulasi yang belum jelas – khususnya layanan konsultasi langsung antara pasien dan dokter di rumah sakit – membuat layanan telemedicine hingga saat ini belum masuk tanggungan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Kementerian Kesehatan mengharapkan ke depannya layanan telemedicine dapat ditanggung oleh JKN-KIS. Namun, sampai saat ini aturan tersebut masih belum terbit.

Padahal, jika layanan telemedicine dapat ditanggung oleh JKN-KIS, maka hal tersebut akan menjadi faktor pengungkit yang sangat besar bagi pertumbuhan layanan telemedicine di Indonesia. Baik dari sisi penyedia seperti rumah sakit maupun dari sisi pasien selaku pengguna.

Selama masa pandemi, BPJS Kesehatan sebenarnya telah berinovasi dengan aplikasi mobile JKN. Melalui aplikasi ini, pelayanan telekonsultasi dapat dilakukan oleh dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) atau puskesmas dengan peserta JKN-KIS. Pembiayaan layanan ini termasuk dalam komponen kapitasi.

Namun penggunaannya masih sangat terbatas dan hanya di layanan FKTP. Upaya pengembangan telemedicine di layanan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) seperti rumah sakit perlu dilakukan.

Saat ini, terkait layanan isolasi mandiri pasien COVID-19, sepertinya pemerintah “lebih senang” mengembangkan layanan telemedicine dengan beberapa perusahaan startup kesehatan dibanding membantu puskesmas dan rumah sakit untuk mengembangkan layanan telemedicine-nya.

Kesiapan Rumah Sakit

Menurut survei pemasaran tahun lalu dari Inventure Knowledge, pandemi telah menghasilkan lanskap industri baru yang ditandai dengan empat karakteristik: Hygiene, Low-Touch, Less-Crowd, dan Low-Mobility.

Industri yang sukses pada era pandemi adalah industri yang bisa beradaptasi dengan empat karakteristik tersebut. Itu sebabnya sektor industri digital, misalnya, lebih berkelanjutan pada era pandemi karena bersifat low-touch.

Sementara, industri yang bersifat high-touch dan high-crowd seperti pariwisata dan kesehatan (rumah sakit) mau tak mau harus bertransformasi dan mengadopsi model bisnis yang low-touch dan less-crowd untuk bisa sukses melewati badai krisis pandemi. Pengembangan layanan telemedicine dapat menjadi solusinya.

Masalahnya, kesiapan rumah sakit untuk menerapkan layanan telemedicine masih sangat rendah. Hingga tahun 2020 masih terdapat 15 persen rumah sakit yang belum memiliki dukungan teknologi informasi seperti sistem informasi rumah sakit.

Layanan teleconsultation sebagai bagian dari telemedicine juga saat ini baru dikembangkan oleh 20 persen rumah sakit di Indonesia, di antaranya RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan aplikasi SiapDok, Siloam Hospital Group dengan aplikasi AIDO, dan RS YARSI dengan aplikasi MAUDOK.

Pandemi COVID-19 saat ini harusnya dapat menjadi peringatan yang membangunkan industri layanan kesehatan di Indonesia agar lebih responsif terhadap serangan mutasi virus dan pandemi berikutnya yang mungkin terjadi.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Irwandy adalah Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin.