Dalam satu adegan di film Thailand-Korea, The Medium, Mink (Narilya Gulmongkolpech) dengan jelas menunjukkan rasa tidak percayanya tentang perdukunan. Dia bahkan lanjut mencemooh praktik ilmu gaib sebagai omong kosong yang mantranya dibuat-buat sampai ada dukun bodong, seperti dukun doraemon yang tidak jelas gunanya. Sikap antipati Mink atas segala hal berbau klenik itu berbanding terbalik dengan sejarah keluarga dari sisi ibunya, Noi (Sirani Yankittikan) yang datang dari keluarga dukun.
Secara turun-temurun perempuan di keluarga Noi adalah wadah untuk roh Ba Yan yang melindungi dan membantu warga kampungnya. Roh Ba Yan mulanya ‘merasuki’ nenek kemudian tantenya sebelum memilih Noi sebagai wadah selanjutnya. Namun, ia menolak dan pindah ke agama Katolik yang membuat Ba Yan akhirnya ‘memiliki’ adik perempuannya, Nim (Sawanee Utoomma).
Perkara perdukunan itu bisa dibilang sebagai konflik utama di keluarga tersebut. Akting Yankittikan dan Utoomma yang cukup meyakinkan juga menunjukkan adanya jarak antara dua saudara yang ditengahi oleh kakak laki-laki mereka, Manit (Yasaka Chaisorn). Konflik itu semakin diperkuat ketika Mink diduga dipilih Ba Yan sebagai dukun selanjutnya. Ini pun menjadi dilema untuk Noi dan cara menyelesaikannya membuka rahasia mengerikan, seperti inses, pembantaian, dan penyebab kematian tak wajar di keluarganya.
Berlokasi di Isan, daerah di Timur Laut Thailand, film yang berdurasi lebih dari dua jam itu berpusat pada tema dukun, agama, dan kepercayaan. Jika menilik aspek kepercayaan dan hal-hal mistis lokal, masyarakat Thailand mencampurkannya dengan ajaran Buddhisme. Karena itu, sepanjang film juga banyak simbolisme yang mengandung pelbagai makna terkait kegiatan berbau mistis.
Benang putih untuk ‘pemurnian’, misalnya, yang digunakan saat upacara pengusiran setan hingga dupa dipasang terbalik sebagai pertanda buruk yang dilakukan roh jahat. Serupa dengan salib terbalik yang merupakan ulah makhluk halus atau setan. Sejatinya, aspek simbolisme itu yang mengandung banyak penjelasan menyeramkan dalam film, tapi luput untuk orang-orang yang tidak familier dengan budaya dan kepercayaan di Thailand. Oleh sebab itu, perlu mencari semacam penjelasan agar sepenuhnya memahami The Medium.
Film ‘Found Footage’ yang Efektif
Dengan cerita perdukunan dan kesurupan, The Medium sekali lagi menunjukkan Thailand sebagai ladang emasnya film horor Asia. Film yang digarap Banjong Pisanthanakun, sutradara Shutter (2004) dan Pee Mak (2013) juga berhasil membangun nuansa horor dengan apik. Bagian pertama film dibuat dengan tensi rendah dengan penjelasan latar belakang aktivitas perdukunan Nim dan sosok Ba Yan.
Tensi perlahan-lahan naik ketika cerita mulai berfokus pada Mink yang kerasukan. Akting Gulmongkolpech dengan mata membelalak, badan yang berjalan patah-patah, dan bertindak layaknya ‘binatang’, anak kecil, hingga pemabuk menambah efek kengerian film itu. Belum lagi Mink yang kekurangan nutrisi hingga tulang-tulangnya menonjol menunjukkan komitmen Gulmongkolpech mendalami perannya.
Akting yang ciamik itu semakin meyakinkan karena gaya sinematografi found footage membuat beberapa orang sempat terkecoh apakah The Medium kejadian nyata atau tidak. Sama halnya saat The Blair Witch Project rilis 1999 silam, beberapa masyarakat AS menyangka kemalangan yang dialami Heather Donahue sebagai hal yang nyata. Apalagi film itu menggunakan nama yang sama dengan pemainnya.
Formula found footage atau mockumentary ini memang selalu sukses membuat penonton merinding. Pasalnya, pengalaman supranatural tampak benar-benar dialami sekelompok orang atau keluarga yang biasa saja. Apalagi penonton merasa terlibat langsung di situasi yang seakan-akan bukan rekayasa itu, seperti waralaba Paranormal Activity (2007-), Keramat (2009), dan Gonjiam: Haunted Asylum (2018).
Namun, gaya sinematografi itu juga yang membuat kameramen dibalik kemalangan keluarga Mink menjadi tokoh yang menyebalkan. Dalam situasi apapun bahkan yang mengancam nyawa, mereka hanya merekam dan tidak ikut membantu. Kru film itu menjadi semacam karakter pasif yang baru kelihatan wujudnya di bagian akhir film. Cukup berbeda dengan Quarantine (2008) atau As Above, So Below (2014) yang melibatkan sosok di balik kamera dalam kisah mengerikannya.
Indonesia Bisa Bikin ‘The Medium’
Jika menyoal tentang narasi film, Pisanthanakun menunjukkan gaya film horornya yang suka cerita balas dendam. Shutter, misalnya, hantu perempuan gentayangan mengusik si karakter utama karena ingin membalas perilaku jahatnya. Begitu pula dengan Mink dan keluarganya yang menerima balasan dari orang-orang hingga binatang yang mereka zalimi.
Semantara produser The Medium, Na Hong-jin yang menggarap film tentang dukun di Korea Selatan, The Wailing (2016) juga menunjukkan warnanya. Tidak hanya dari aspek kegiatan klenik karena The Medium dimaksudkan sebagai sekuel The Wailing, tapi dari alur cerita.
Ketika menilik penyebab Mink kerasukan dan alasan kemalangan menimpa keluarganya, penonton semacam dikecoh tiga kali atau triple cross sampai menemukan jawaban sebenarnya. Hal itu senada dengan jalannya cerita The Wailing yang harus ditipu berkali-kali sampai menemukan dukun biang kerok yang membawa malapetaka. Namun, triple cross yang kebanyakan mudah membuat cerita tidak fokus dan inkonsisten.
Jika melihat The Medium secara keseluruhan, ceritanya sangat dekat dengan budaya Indonesia. Praktik perdukunan, santet, dan ilmu gaib menjadi budaya yang sangat melekat karena sudah dianggap adat. Nim yang menyerap energi negatif dengan telur juga sesuatu yang sangat familiar karena digunakan sebagai bentuk pengobatan alternatif yang masih banyak di kota maupun kampung di Indonesia.
Belum lagi menyerahkan sesajen di tempat keramat untuk menghormati roh adalah praktik animisme yang umumnya masih dilakukan di kampung yang bahkan mayoritas muslim. Apalagi hal yang bersangkutan dengan ritual pengusiran setan dan melawan pesugihan yang sering terjadi di sekitar masyarakat.
Karenanya, Indonesia juga bisa membuat film seperti The Medium, nuansa desa atau kota kecil di kabupaten yang suka mistis juga mirip dengan lokasi film tersebut. Walaupun memang cerita santet dan balas dendam sudah sering digarap, sudah saatnya melirik cerita horor yang terjadi di perkampungan dan cerita praktik perdukunannya yang tidak kalah menyeramkan. Sudah saatnya keluar dari formula orang ibu kota datang ke desa dan mengalami nestapa atau santet karena kesalahan mereka sendiri.
Comments