Tujuh tahun lalu, “Maya” tidak sengaja terpapar konten pornografi saat berselancar di internet menggunakan ponsel orang tuanya. Waktu itu, Maya duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar (SD) dan sedang diajarkan tentang fungsi organ reproduksi. Momen ini membuat rasa ingin tahunya tentang alat reproduksi kian meledak-ledak. Maya kemudian berinisiatif sendiri untuk mencari tahu di internet, tetapi ia justru ‘terdampar’ di situs pornografi.
“Awalnya saya tidak tahu itu pornografi, tapi dari sana, saya jadi sedikit tahu tentang organ reproduksi laki-laki dan perempuan,” ujar Maya yang sekarang berusia 19 kepada Magdalene.
Remaja yang berdomisili di Kupang itu mengatakan, hanya sesekali ia mengakses konten pornografi. Setiap kali menonton video atau melihat gambar pornografi, Maya mengaku menerima pengetahuan baru yang tidak diajarkan di sekolah, seperti cara menjaga kebersihan organ reproduksi serta hubungan seksual.
“Saya juga belajar ketika melakukan hubungan seks harus melakukan pemanasan terlebih dahulu agar tidak sakit saat berhubungan. Juga cara atau teknik dalam melakukan seks untuk memuaskan kebutuhan sendiri dan pasangan,” kata Maya.
Sama seperti Maya, “Robi” remaja 16 tahun dari Bangka Belitung juga belajar tentang hubungan seksual melalui konten pornografi. Ia mengakses situs pornografi untuk alasan pribadi dan dari sana, ia paham cara menggunakan alat kontrasepsi.
Ia juga relatif beruntung karena orang tuanya terbuka bicara edukasi seksual, terlebih kakaknya adalah tenaga medis. Namun, pornografi tetap dianggap tabu di keluarganya. Celaka dua belas, pendidikan seksual di sekolah buat Robi, tidak memadai lantaran hanya mengajarkan pubertas dan organ reproduksi. Karenanya, pornografi dan edukasi lewat media sosial menjadi “kunci”.
“Pornografi tidak mengajarkan tentang usia berapa, kepada siapa, dan bentuk hubungan seperti apa kita boleh melakukan hubungan seksual,” kata Robi pada Magdalene.
Karena alasan itu, Robi berujar, pornografi belum bisa menjadi alternatif yang memadai. Senada, Maya mengatakan, pornografi belum cukup ideal karena eksplisitnya adegan kekerasan yang ditampilkan. Mereka sepakat, selain konten pornografi, remaja harus punya akses pendidikan seks dari sumber lain, seperti lembaga edukasi seksual di media sosial, orang tua, bahkan guru.
Baca juga: Bak Jarum dalam Jerami, Sulitnya Cari ‘Anime Hentai’ yang Sehat
Apakah Pornografi Bisa Jadi Sumber Edukasi?
Maya dan Robi tidak sendiri. Survei edukasi seksual oleh Magdalene menemukan, 16,9 persen dari 320 remaja 15 sampai 19 tahun di Indonesia yang mengonsumsi pornografi mengaksesnya untuk belajar tentang seks. Sementara, 42,8 persen mengakses karena rasa penasaran, dan 26,2 persen untuk kepuasan atau alasan pribadi.
Meski demikian, tidak semua remaja setuju konten pornografi digunakan sebagai medium untuk belajar. “Tita”, misalnya, siswa SMA berusia 17 tahun di Makassar tidak setuju pornografi memberikan edukasi karena ada adegan kekerasan yang memaksa perempuan untuk melakukan adegan hubungan seksual.
“Mungkin bisa dibilang pemerkosaan. Walaupun setting-an (sengaja dibuat-buat), secara tidak langsung (itu) mengajari (penontonnya) untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan,” ujarnya.
Kepada Magdalene ia menegaskan, jika tidak ada yang mendampingi, menjelaskan, atau memaparkan materi pendidikan seksual, maka konten porno tidak bisa digolongkan sebagai pengetahuan. Belum lagi di dalam konten tersebut, biasanya tubuh perempuan ditampilkan tak realistis. Sementara, tugas pendidikan harus menunjukkan bagaimana gambaran tubuh perempuan yang sebenarnya, ujar dia.
Pertanyaan apakah pornografi bisa memberikan edukasi seksual untuk remaja juga diajukan kepada “Rita”, ibu rumah tangga 44 tahun yang bekerja paruh waktu sebagai make up artist di Depok.
“Memangnya sekarang ada ya pornografi yang mengedukasi?” jawabnya.
Sebagai ibu tiga anak, berusia 11, 13, dan 18 tahun, Rita dulunya malu membicarakan pendidikan seksual karena menilainya sebagai tabu. Namun, tidak ingin anak-anaknya terjebak pergaulan bebas, Rita bersama suaminya sepakat, mereka harus terbuka membicarakan soal pubertas, kebersihan, dan fungsi organ reproduksi sejak dini.
Meski demikian, dia tidak setuju anak-anak boleh mengakses situs pornografi. Jika sekolah belum memberikan pengetahuan yang memadai, bertanya ke orang tua adalah alternatif yang lebih baik, tambahnya.
“Menurut saya edukasi itu enggak harus melalui tontonan, cukup dengan pengetahuan yang agama (Islam) kita ajarkan untuk mengontrol tindakan,”ujarnya.
Sebagai informasi, di Indonesia, konten pornografi yang menampilkan hubungan seksual dinilai sebagai tindakan bersifat asusila. Hal itu juga disampaikan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang mendefinisikannya sebagai bentuk media komunikasi, seperti foto maupun video yang melanggar norma kesusilaan di masyarakat, seperti hubungan seksual, mastrubasi, dan organ reproduksi.
Kontrol ketat akses pornografi tak hanya ada dalam UU, dilansir dari Republika, pada 2019 pemerintah Aceh mendeklarasikan kampanye melawan pornografi bersama yang semakin mudah diakses di era digital. Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan, kampanye tersebut merupakan pernyataan perang masyarakat Aceh terhadap pornografi.
“Deklarasi tersebut menolak pornografi dan mengajak masyarakat melakukan pencegahan pornografi dan membentuk generasi anti-pornografi,” ujarnya.
Perang melawan pornografi juga dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) yang bekerja sama dengan lembaga, seperti End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children for Sexul Purposes (ECPAT) Indonesia agar anak tidak terpapar dan menjadi korban pornografi anak. Sementara itu, mengutip dari situs Kemenpppa pada 2019, data dari Unit Cyber Crime Polisi Republik Indonesia menunjukkan, ada 25.000 konten yang mengandung pornografi yang beredar di internet saban bulan.
Menanggapi tentang pornografi sebagai sumber alternatif edukasi seksual, dosen Sosiologi dari Universitas Indonesia, Diana Teresa Pakasi bilang, hal itu tidak hanya dilakukan oleh remaja, tetapi lapisan masyarakat lain yang menilai pendidikan seksual sebatas aktivitas, hubungan atau interaksi seksual. Karenanya, pornografi diakses sebagai sumber untuk mencari pengetahuan. Edukasi seksual yang dimaknai sempit itu juga dapat membuat pendidikannya semakin ditabukan masyarakat, ujarnya.
Edukasi seksual sendiri, tambah Diana, memiliki topik yang luas dan beragam, seperti hak kesehatan reproduksi, seksualitas, pubertas dan perkembangan tubuh, relasi dengan orang sekitar, gender, hingga topik tentang kekerasan. Isu-isu tersebut juga disampaikan secara bertahap sesuai dengan usia remaja.
“Kalau ingin memahami pendidikan seksual, aspeknya sangat luas. Ia mendefinisikan apa, sih artinya menjadi manusia, perempuan, dan laki-laki. Lewat edukasi itu juga kita belajar memahami diri sendiri,” ujar Diana yang penelitiannya fokus pada isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) pada Magdalene.
Diana menyarankan, jika remaja merasa edukasi yang diberikan sekolah belum memadai, sumber alternatif paling tepat adalah lembaga yang bergerak di advokasi pendidikan seksualitas berbasis riset dan data yang bisa diakses secara digital. Di Indonesia, ada beberapa lembaga yang bergerak di bidang tersebut, seperti Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat Indonesia (Yayasan IPAS Indonesia) dan Rutgers WPF Indonesia.
Baca juga: ‘Cabul’: Membaca Buku (tentang) Seks yang Benar
Dampak Pornografi dan Objektifikasi Perempuan
Rita mewanti-wanti pornografi sangat berbahaya karena mampu merusak fungsi otak. Ucapan itu juga yang akan diutarakannya kalau tahu anak-anaknya mengakses konten pornografi. “Saya merasa anak perlu tahu dampaknya itu dan nantinya bisa membuat mereka berpikir panjang untuk tidak melakukannya (menonton pornografi),” kata Rita.
Senada dengan Rita, Tita juga mengatakan, “Kalau seseorang habis menonton, dia bisa saja mencari orang lain untuk melampiaskan nafsunya. Atau orang bisa menjadi pecandu seks atau konten pornografi. Bukankah konten seperti itu tidak baik untuk otak?”
Pornografi dan pengaruhnya terhadap otak, terutama bagi remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan merupakan salah satu dampak negatif yang sering disorot. Menurut psikolog anak dan remaja Marcelina Melisa, tidak terdapat dampak jangka pendek untuk remaja yang mengakses pornografi. Namun dalam jangka panjang, mengonsumsi pornografi dapat mengarah ke adiksi atau kecanduan.
“Semua (bentuk) adiksi merusak executive function atau bagian depan dari otak manusia yang didesain mencari kesenangan. Di bagian itu juga ada kontrol yang harus dijalankan dan sebaliknya. Kalau ada adiksi, dia akan cenderung mengabaikan kontrol itu,” ujarnya.
Perkara kecanduan itu juga kembali dibicarakan di dunia maya ketika akun autobase Twitter @bertanyarl, mengunggah pesan tentang anak Taman Kanak-kanak (TK) yang menonton konten porno di sekolah, (18/11). Siswa TK tersebut membawa ponsel milik orang tuanya yang sejarah pencarian dalam ponsel tersebut dipenuhi oleh situs pornografi. Saat siswa ini tertangkap basah dan ditegur oleh guru, ia membalasnya dengan kata kasar.
“Ngamuk terus ngamuk terus tak perkosa sisan koe (ngamuk terus saya perkosa kamu).”
Ketika pihak sekolah melaporkan hal itu pada orang tuanya, mereka hanya memaklumi perkataan kasar si anak.
Perilaku kasar seperti itu juga menjadi kekhawatiran khusus yang disorot Maya. Dalam skala yang lebih besar, dia berpendapat konten pornografi mampu mendorong seseorang untuk melakukan aksi kekerasan seksual. Pasalnya, ujar Maya, anak atau remaja yang masih mencari jati diri akan mencontoh mentah-mentah hal yang ditontonnya, terutama jika tidak dalam pengawasan.
“Bahkan terkadang orang dewasa yang menonton tidak dapat mengontrol nafsu dan terjadi tindakan pemerkosaan,” kata Maya.
Beberapa penelitian telah menelaah apakah konten pornografi memengaruhi perilaku kekerasan dari orang yang mengonsumsinya. David Ludden, psikolog dari Georgia Gwinnett College di Psychology Today mengutip penelitian dari psikolog Kanada tentang isu tersebut. Penelitian itu menyorot maskulinitas agresif menunjukkan ada perasaan tidak suka pada perempuan. Namun, itu tidak membuktikan laki-laki akan berperilaku agresif secara seksual.
“Tidak dimungkiri, ada banyak laki-laki yang menyalahkan perempuan untuk masalah pribadi. Mereka juga menonton pornografi penuh kekerasan guna menyalurkan agresi tersebut. Namun, mereka tidak akan melakukan kekerasan di dunia nyata,” tulisnya.
Sementara Diana mengatakan, konten pornografi yang menunjukkan seksualisasi kekerasan bisa berdampak pada cara remaja memaknai hubungan dan relasi seksualnya. Di sinilah poin kritisnya karena kebanyakan konten pornografi dimaksudkan untuk menjual, alih-alih edukasi.
“Karenanya konten porno tidak lepas dari objektifikasi, seksualisasi perempuan, berlanjut pada kekerasan bahkan melanggengkan rape culture atau budaya pemerkosaan. Khawatirnya konten yang mengobjektifikasi kekerasan dianggap normal oleh remaja,” ujarnya.
Isu tentang pornografi yang menunjukkan kekerasan dan seksualisasi perempuan juga menjadi perdebatan di antara feminis pada 1970-1980-an yang disebut feminist sex wars. Salah satu yang vokal tentang hal itu ialah feminis radikal Andrea Dworkin yang anti-pornografi. Dalam bukunya Pornography: Men Possessing Women (1981) ia menyebut pornografi sebagai bentuk dominasi dan eksploitasi laki-laki terhadap perempuan yang tidak hanya terjadi dalam adegan, tapi industri pornografi secara keseluruhan.
Dari perdebatan tersebut kemudian muncul feminist porn atau pornografi yang dibuat oleh dan untuk perempuan yang diproduksi oleh feminis. Konten pornografinya dibuat untuk tidak mengobjektifikasi tubuh perempuan dan hubungan seks ditampilkan secara realistis. Tujuannya agar perempuan bisa membebaskan hasratnya dan aktor yang bergerak di balik layar tidak dieksploitasi dari segi finansial dan nyaman melakukan adegan.
Di negara Barat, feminist porn adalah sesuatu yang lumrah karena ada pelbagai situs yang bisa diakses secara legal. Di Swedia, misalnya, sutradara pornografi perempuan Erika Lust meluncurkan situs Lust Cinema, sementara itu Cindy Gallop konsultan periklanan asal Inggris yang menciptakan situs Make Love Not Porn. Meski demikian, feminist porn bukan sesuatu yang familier di Indonesia, Maya, Tita, dan Robi tidak mengenal istilah tersebut dan berpendapat kawan-kawannya juga berpikiran sama.
Selain itu, ada UU Pornografi yang melarang konten bersifat asusila dan menurut Pasal 29 UU tersebut, setiap orang yang memproduksi, menyiarkan, dan menyediakan pornografi akan dipidana penjara minimal enam bulan dan maksimal 12 tahun atau denda Rp250 juta sampai Rp3 miliar. Mengutip dari situs Hukumonline, Pasal 6 dalam UU tersebut memberikan pengecualian pada lembaga yang diberi kewenangan, seperti lembaga pelayanan kesehatan atau terapi seksual dan lembaga pendidikan.
Selain itu, ada juga UU ITE Pasal 27 ayat satu yang juga mengatur larangan distribusi dan transmisi dokumen elektronik yang bermuatan pelanggaran kesusilaan. Mengutip CNNIndonesia, Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu, kedua regulasi bisa menjerat penyebar konten pornografi. Bedanya, UU Pornografi menjerat pelaku yang melakukan tindakan asusila, sedangkan UU ITE menjerat pelaku yang menyebarkan kontennya.
Diana mengatakan, ide tentang feminist porn yang melawan nilai patriarki dan merebut kembali ruang yang dieksploitasi itu sebagai sesuatu yang menarik. Namun, jika melihat konteks negara Indonesia dan jika ditujukan untuk memberi pengetahuan harus tidak eksplisit, dilakukan oleh lembaga yang memiliki wewenang di bidang tersebut, dan diajarkan kepada calon pengantin yang sudah dewasa.
Magdalene menanyakan kembali pada Maya dan Tita terkait dampak mengonsumsi feminist porn. Maya mengatakan, akan ada perbedaan dalam hubungan seksual karena perempuan menantang budaya patriarki untuk ditaklukkan dalam hubungan seksual.
Sedangkan Tita berpendapat, “Tidak akan ada yang berbeda dengan pornografi pada umumnya karena tetap menampilkan tubuh dan aktivitas seksual.”
Baca juga: Mastrubasi Perempuan: Bagaimana Orang Tua Menyikapi Ini?
Tabu Edukasi Seksual Komprehensif
Diana mengatakan, dampak, pengaruh, dan tanggapan remaja tentang pornografi idealnya masuk dalam pembahasan pendidikan seksual yang komprehensif. Ini sekaligus bisa jadi pintu untuk membuka dialog tentang edukasi seksual.
Hasil survei Magdalene juga menunjukkan, dari total 405 responden 79 persen remaja pernah menonton pornografi, sedangkan 15,1 persen tidak pernah sama sekali. Selain itu, dari responden yang mengakses pornografi, 35,3 persen menontonnya kurang dari satu kali dalam seminggu. Hanya pernah sekali mengakses 33,1 persen dan lebih dari satu kali dalam seminggu sebanyak 15,6 persen.
Meski demikian, kata Diana, tabu membicarakan pornografi dan edukasi seksual menjadi hambatan hal tersebut. Jika membongkar tabu dan terbuka membicarakannya, dampak dan pengaruh pornografi dapat ditekan. Namun, kalau pornografi didiskusikan oleh guru atau pihak yang berwenang, umumnya sebatas larangan bukan diskusi yang dapat membantu remaja membuat pilihan terbaik untuk perkembangan mental maupun fisik dirinya, kata Diana.
“Pendidikan seksualitas itu juga harus memahami emosi. Tidak bisa dari sisi dogmatis dan larangan saja. Kalau sifatnya hanya satu arah saja susah. Pendidikan itu dibangun dari interaksi siswa maupun dosen atau guru yang memfasilitasi,” ujarnya.
“Gambar anatomi tubuh saja yang tidak eksplisit dan bukan konten pornografi masih dianggap tabu.”
Di Indonesia, ketabuan itu, menurut Diana, sulit dibongkar karena agama, budaya, dan norma masyarakat yang menilai topik itu saru. Karenanya, sering ada ketakutan atas persekusi jika memberikan edukasi seksual. Mereka takut dilabeli mempromosikan perbuatan asusila dan melanggar moral.
Resistensi atas dasar moralitas tersebut, tambah Diana, menjadi hambatan yang muncul dari lapisan masyarakat, mulai dari remaja itu sendiri, orang tua, guru, hingga tokoh publik. Dengan demikian, cara tepat untuk membongkar stigma dan sifat menutup diri terhadap edukasi seksual itu dengan melakukan dialog secara terus menerus terutama dengan tokoh agama dan figur publik yang memiliki dampak di masyarakat.
“Ini kerja yang berkelanjutan dan tidak bisa berhenti. Kita harus terus mengajak dialog para tokoh publik, agama, dan stakeholder. Selain itu, agar remaja bisa nyaman berdiskusi bisa memaksimalkan peer educator yang juga harus terus dibimbing,” ujarnya.
Upaya melakukan dialog tersebut juga harus dilakukan bersama orang tua. Diana mengatakan, jangan sampai ketika anak telah menerima pengetahuan seksual dia malah ‘terbentur’ atau terhambat di rumah karena orang tua yang masih memberikan stigma.
Ia mencontohkan salah satu aktivitas dialog atau diskusi dengan orang tua yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat Forum Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Bali. Dalam forum itu, orang tua bisa melakukan dialog soal pornografi hingga pendidikan seks dengan ahli, seperti psikolog, seksolog, dan pegiat Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).
Senada dengan itu, Marcelina menganggap keterbukaan dan keterlibatan orang tua penting untuk menciptakan ruang komunikasi tanpa tekanan agar anak tidak merasa malu atau takut jika memiliki pertanyaan atau penasaran tentang pornografi. Jika anak merasa akan disalahkan mengajukan pertanyaan, maka akan muncul rasa enggan yang menjadi salah satu alasan mengapa anak lebih memilih mengakses pornografi untuk mencari jawaban.
“Hal yang mendorong anak mengakses konten pornografi karena telah mengalami pubertas dan ada rasa penasaran juga didorong dengan faktor eksternal, seperti teman dan suka pada orang lain. Rasa enggan bertanya ini juga salah satunya,” kata Marcelina.
Keterbukaan orang tua membicarakan konten pornografi juga sempat menjadi sorotan ketika selebritas Yuni Shara mengatakan tidak melarang anaknya menonton film dewasa, tapi akan melakukan pendampingan pada anak-anaknya. Hal itu disampaikannya dalam obrolan di kanal Youtube milik model Venna Melinda, Juli lalu. Yuni mengatakan, di era digital ini banyak ragam konten pornografi yang bisa diakses anak dan remaja dan dia akan mendampingi karena mereka akan terpapar.
Meski demikian, media memutar perkataan Yuni menjadi menonton film dewasa atau pornografi bersama anak, tanpa mendiskusikannya untuk tujuan edukasi seksual. Terlepas dari cara media memelintir perkataan Yuni, Marcelina mengatakan, terbuka untuk berdialog dengan anak menjadi tindakan baik untuk membuat anak merasa nyaman berdiskusi seputar isu seksualitas dengan orang tua.
Karenanya, saran Marcelina, orang tua jangan merasa takut ketika anak memberikan pertanyaan yang beragam dan tidak terduga. Jika orang tua tidak tahu cara menjawabnya bisa mengatakan kepada anak untuk menunggu jawaban kemudian mencari tahu lewat internet, psikolog, atau pakar di bidang edukasi seksual, ujarnya.
“Orang tua bisa merespons dengan ‘Oh kamu pengen tahu, ya?’ dan menjelaskan kepada anak secara logis tentang pertanyaannya. Atau bisa secara terbuka mengajak anak ngobrol, ‘Waktu saya pubertas dulu saya seperti ini’ dan terbuka diskusi untuk edukasi,” ujarnya.
Dia menambahkan, ketika orang tua menemukan anak mengakses pornografi langkah pertama untuk tidak panik dan merespons nada suara atau gestur tubuh yang tidak menyerang. Selanjutnya mengajak anak atau remaja berkomunikasi alasan mengakses pornografi.
“Kita juga bisa menyampaikan kalau di masih bawah umur dan dia dimaafkan agar anak tetap merasa diterima dan didampingi untuk menjawab rasa penasaran anak,” ujarnya.
Comments