Ini kisah saya, saat berada di titik terbawah sebagai ibu dari seorang anak autistik.
Pada 2019, Arsa sudah kelas 1 SMA. Tubuhnya makin tinggi, interaksi dan komunikasi dia dengan orang lain selain keluarga makin baik, kemampuan menjahit sulam pun makin berkembang. Meski demikian, walaupun Arsa telah diterapi sejak usia dua tahun delapan bulan dan pernah mengenyam pendidikan khusus individu autistik, tetap saja ia bisa tantrum atau mengamuk di tempat umum.
Ekspresi tantrum remaja autistik ternyata mengkhawatirkan, karena bisa membuat orang salah sangka. Ada dua insiden saat episode mengamuk Arsa menuai respons negatif dari orang-orang di sekitar lokasi kejadian.
Yang pertama, seorang bapak sampai membantu menegur Arsa karena ia menyerang adiknya. Kali kedua, seorang bapak sampai ingin memukul Arsa karena tidak senang anak perempuannya entah dicubit atau dijambak rambutnya.
Saya syok berat dan mengalami serangan panik. Pada insiden kedua, saya spontan menampar Arsa di depan bapak yang bersangkutan, lalu menyeretnya masuk mobil. Saya pun menangis histeris tak terkendali sambil menelepon suami yang sedang bekerja di luar kota.
Arsa kebingungan karena saya menangis tanpa henti sampai malam. Beberapa kali saya perlu menenggak teh dan suplemen chamomile untuk menenangkan diri.
Suami yang menelepon hanya bilang, sikap histeris tidak akan menyelesaikan apa-apa dan bisa memicu Arsa bersikap emosional juga. Yang seketika terlintas di benak saat itu, Arsa perlu obat penenang—sesuatu yang kami hindari selama ini—dan saya perlu bantuan psikolog.
Sejak itu, saya menderita insomnia. Tidur malam hanya empat atau lima jam, tanpa mengantuk di siang harinya. Bak zombie, saya menjalani hari-hari dengan murung.
Usai memasak, memastikan semua keperluan anak-anak beres, dan membersihkan rumah, saya memakai earphone dan menonton film. Media sosial, termasuk grup WhatsApp tempat saya biasanya berinteraksi dengan sangat intens, menjadi tak menarik lagi.
Saya merasa tak perlu tahu urusan orang lain, malas merespons obrolan dan status orang lain. Saya merasa dengan menonton film saya bisa melupakan sejenak urusan anak yang autistik.
Jika Arsa impulsif “menyerang” adiknya, saya bisa memukuli tembok dan meja dengan sapu lidi untuk melampiaskan emosi. Arsa ketakutan, sementara adiknya diam lalu menangis di pojok ruangan. Setelahnya, bisa berjam-jam saya tidak mau tahu urusan apa pun dengan siapa pun.
Saya juga tak berani lagi bepergian dengan Arsa—baik sendiri maupun dengan adik atau neneknya—tanpa didampingi suami. Tiba-tiba saat itu saya menyadari, bepergian dengan Arsa yang autistik, adiknya yang berusia 6 tahun dan selalu ingin tahu, serta neneknya yang hampir 80 tahun, akan memecah fokus perhatian saya.
Rencana bepergian dan ada Arsa ikut serta saja sudah membuat saya stres.
Padahal dulu, bertahun-tahun saya bisa cukup menguasai diri saat Arsa ngambek dan mengamuk. Kalaupun tak kuat, saya lari bersembunyi di kamar.
Baca juga: Salah Sendiri Punya Anak: Derita Orang Tua di Era Pandemi
Tekanan Jadi Ibu dengan Anak Autistik
Saya sempat curhat ke beberapa teman, terutama tentang kebutuhan saya akan bantuan psikologis, dan mereka mendukung niat saya itu.
Saya jadi teringat perkataan seorang dosen Psikologi beberapa tahun lalu, “Ada penelitian di luar Indonesia yang menyatakan tekanan psikologis yang dihadapi orang tua individu autistik itu serupa dengan tekanan psikologis tentara yang baru kembali dari medan perang.”
Saat itu, saya dengan sombong menjawab, “Tentu makin stres kalau orang tua sendiri ‘denial’ atau enggak ngurusin anaknya, Bu!”
Saya menghakimi orang tua lain, merasa saya telah berdedikasi total karena keluar dari pekerjaan untuk mengasuh dan mendidik Arsa, sementara mereka tetap bekerja dan menyerahkan pengasuhan pada tempat terapi atau perawat pribadi di rumah.
Perbandingan tekanan psikologis veteran perang dengan orang tua anak autistik tersebut saya gunakan sebagai tameng untuk tampak “kuat”. Tanggapan orang pun serupa terhadap semua cerita saya di media sosial tentang merawat Arsa: “Mbak Ivy, keep strong ya, jadi ibu yang kuat”, “Enggak kebayang kalau saya jadi mbak Ivy”, “Kamu luar biasa, mbak”, dan seterusnya.
Ditambah lagi saat mereka menyimak bagaimana Arsa berkembang sedemikian rupa. Seorang autistik, yang juga artisan sulam tangan dengan karya yang sudah tersebar di mancanegara. Pernah diwawancara, dibuatkan film, jadi tempat curhat plus konsultasi, semakin menguatkan citra saya sebagai ibu yang “kuat”
Tanggapan dan reaksi itu jauh melambungkan saya. Kepada orang tua anak autistik yang lain, saya seolah-olah menuduh, “Kamu udah melakukan apa saja sama anakmu? Tanggung jawab, dong, sebagai orang tua.” Atau, “Duh, ibu ini maunya apa, sih. Sudah diberi saran, masih tanya melulu. Capek aku, tuh”
Saya lupa saat-saat saya terpuruk. Tidak mengingat masa-masa saya kebingungan dan bertanya sana-sini. Saya melupakan juga pihak yang tulus membantu atau menjadi pendengar keluh kesah saya.
Baca juga: Anak Berkebutuhan Khusus di Tengah Pandemi: Semua Lelah, Harus Bagaimana?
Kesombongan Ibu dengan Anak Autistik
Sikap sombong saya selama bertahun-tahun itu kini menuai akibatnya. Saya sendiri yang “terganggu” dan memerlukan bantuan. Suami berupaya mendukung dengan memberi waktu untuk saya hibernasi, jauh dari interaksi bersama anak-anak. Saya diberi waktu sendiri. Beberapa kali saya pun menyempatkan bepergian seorang diri. Hal-hal ini cukup melegakan perasaan dan mendorong saya berpikir tentang perlunya untuk memulihkan diri.
Selama belasan tahun saya dihantui perasaan bersalah dan tak bertanggung jawab bila meninggalkan Arsa di rumah. Bersalah karena seperti menjilat ludah penghakiman kepada orang tua lain.
Terbayang akan jadi ibu seperti apa saya bila jiwa saya tidak sehat dan mudah terpancing emosi. Setiap usai “me time”, saya menjadi bersemangat. Langsung memasak untuk anak-anak, bercanda dengan mereka, dan membersihkan rumah.
Saya menyadari banyak hal. Betapa saya dengan mudah menyalahkan adiknya saat konflik muncul atau ketika Arsa bersikap buruk. Bertahun-tahun saya mengabaikan fakta bahwa saya dan suami pun perlu disayang dan diperhatikan satu sama lain—sesuatu yang mungkin (tak sengaja) kami kesampingkan untuk fokus kepada anak yang autistik.
Baca juga: ‘Me Time’ Bukan Mitos Bagi Orang Tua Baru, Ini Perlu Dilakukan Rutin
Kondisi itu sungguh tidak sehat dan tidak membantu Arsa menjadi lebih baik.
Saya pun berusaha menanamkan ke diri sendiri bahwa waktu sendiri buat orang tua selama beberapa saat adalah tidak apa-apa. Seperti tubuhmu yang perlu rehat untuk kemudian segar lagi. Karena saya tetap manusia biasa, perempuan dengan segala kerumitan dan tak ada bedanya dengan ibu-ibu kebanyakan.
Dengan kesadaran itu, jari-jari saya semakin terkontrol untuk tidak mudah menuliskan toxic positivity atau penghakiman pada pernyataan dan pertanyaan orang lain di media sosial, terutama berkaitan dengan autisme, menjadi orang tua, dan semacamnya.
Sungguh saya masih banyak perlu belajar. Belajar waras dan belajar tak mudah menghakimi.
Comments