Women Lead Pendidikan Seks
October 31, 2022

Enggak Bahagia karena Medsos? Mari Menghapusnya dalam Tiga Babak

Ingin menghapus akun media sosial tapi kok rasanya berat sekali? Berikut beberapa cara untuk mulai melakukannya.

by Sharon Horwood
Lifestyle
Share:

Karena sudah terbiasa menggunakan media sosial, kita jadi merasa sangat berat melepaskannya. Sekadar membayangkan untuk mengakhiri hubungan dengan media sosial saja rasanya enggak sanggup.

Namun, layaknya dalam hubungan, apabila media sosial tidak lagi membuat kita bahagia – dan jika membangun persona kita di dunia maya terasa melelahkan ketimbang menyenangkan – mungkin ini saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal.

Akhir tahun lalu, Meta (sebelumnya Facebook) menuai kritik tajam setelah bocornya beberapa dokumen yang mengungkap bahwa perusahaan tersebut sepenuhnya sadar bahwa produk-produk mereka, terutama Instagram, berdampak buruk terhadap kesehatan mental para pengguna.

Meta langsung bergegas melakukan manajemen krisis untuk memperbaiki citra publik mereka. Namun, nampaknya tidak ada yang kaget mendengar berita ini – bahkan bagi para remaja perempuan yang disebut Meta paling rawan terdampak. Apakah kebocoran ini hanya mengkonfirmasi apa yang sudah masyarakat duga, bahwa mudarat media sosial bisa jadi lebih besar daripada manfaatnya?

Bagaimana bisa hubungan kita dengan media sosial yang awalnya menyenangkan malah jadi mengkhawatirkan? Dan mungkin, lebih penting lagi, bisakah (atau perlukah) kita memperbaiki hubungan toksik kita dengan media sosial?

Baca juga: Satu Minggu Tanpa Handphone Sebelum Tidur, Ini yang Saya Alami

Melihat Tanda Bahaya

Para konselor pernikahan atau hubungan asmara sering meminta pasangan yang tengah mengalami masalah untuk memikirkan hal-hal apa saja yang membuat mereka bahagia dalam hubungan mereka. Nah, media sosial, meski tak jarang berdampak buruk, punya beberapa fitur yang bermanfaat.

Sepanjang pandemi, misalnya, kemampuan kita untuk tetap bisa terkoneksi dengan orang-orang yang tidak bisa kita temui secara langsung, menjadi semakin penting dan berharga.

Media sosial juga bisa membantu kita untuk menemukan orang atau komunitas yang cocok, apalagi jika orang-orang di sekitar kita saat ini tidak punya ketertarikan, nilai, atau kepercayaan yang sama.

Namun, jika kita tidak bisa beristirahat dari kegiatan scrolling atau menjelajahi situs sosial untuk sehari saja, serta merasa gatal memberikan likes atau menerimanya dari orang lain, ini bisa jadi tanda bahwa hubungan kita dengan media sosial tidak sedang baik-baik saja.

Meski masih banyak yang harus diteliti, ada banyak riset yang berfokus pada lama penggunaan layar digital dan dampak buruknya terhadap kesejahteraan den kesehatan mental. Suatu metaanalisis tahun 2021 dari 55 studi, dengan total sampel gabungan sebanyak lebih dari 80.000 orang, menemukan hubungan langsung (meski kecil) antara gejala depresi dengan tingkat penggunaan media sosial.

Salah satu temuan pentingnya adalah, dampak buruk kemungkinan lebih disebabkan oleh apa yang dirasakan partisipan dari penggunaan media sosial (what they feel), ketimbang seberapa lama mereka menggunakannya (how long).

Baca juga: 6 Cara Lindungi Kesehatan Mental dari Bahaya Media Sosial

Banjir Informasi

Jika ingin memahami mengapa media sosial bisa jadi membuat kita tidak bahagia, kita tidak boleh mengabaikan dampak dari derasnya arus berita (maupun hoaks) selama 24 jam sepekan terhadap kondisi mental kita.

Survei tahun 2021 dari Deloitte terhadap warga Australia menemukan, sekitar 79 persen responden menganggap berita bohong sebagai masalah. Hanya sekitar 18 persen yang merasa informasi dari media sosial dapat dipercaya. Ketika orang harus berenang di lautan konten yang secara sengaja dibuat untuk memantik rasa takut dan konflik, kondisi kognitif dan emosional mereka tentu menjadi senantiasa terbebani.

Namun, begini masalahnya: Meski tampaknya masyarakat secara umum mengkhawatirkan dampak buruk teknologi terhadap kesejahteraan, ini tak serta mereka membuat orang-orang bersedia melakukan perubahan secara individu.

Riset saya yang terbit pada tahun lalu menemukan lebih dari dua pertiga responden percaya, penggunaan smartphone berdampak negatif terhadap kesejahteraan. Namun, penggunaan gawai mereka masih sangat tinggi – rata-rata 184 menit per hari. Angka tersebut seolah-olah berbicara bahwa apa yang mereka yakini tidak mempengaruhi perbuatan mereka.

Apa yang menyebabkan adanya ketidakcocokan kognitif-perilaku (cognitive-behavioural dissonance) di antara para responden?

Hasil riset jangka panjang dari tim peneliti University of Amsterdam di Belanda bisa jadi menawarkan sedikit jawaban. Mereka menemukan, hidup di dunia yang “senantiasa online” menyebabkan pudarnya kemampuan kita untuk mengendalikan penggunaan media sosial. Akibatnya, tingkat kesejahteraan masyarakat pun turut memburuk.

Dengan kata lain, kita tahu apa yang kita lakukan berdampak negatif, tapi kita tetap saja melakukannya.

Baca juga: Perlawanan Terberat Abad Ini: Detoks Digital

Langkah-langkah Kecil yang Bisa Diambil

Bagaimana kita tahu kapan saatnya menilik kembali hubungan kita dengan media sosial? Ada satu satu hal sederhana yang perlu kita tanyakan ke diri sendiri: Apa yang kita rasakan saat menggunakan media sosial?

Coba ingat-ingat perasaan kita sebelum, selama, dan setelah kita memakai media sosial. Jika justru merasa membuang-buang waktu sepanjang hari, sepanjang pekan (atau, bisa jadi, sepanjang hidup) di media sosial – ini adalah lampu kuning. Jika yang muncul adalah emosi negatif seperti kesedihan, kecemasan (anxiety), rasa bersalah atau rasa takut, jawabannya cukup jelas.

Tapi, bisa jadi langsung putus hubungan dengan media sosial adalah langkah yang terlalu berat.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk pelan-pelan menjauhinya, atau bahkan menyelamatkan hubungan yang toksik ini?

1. Mulailah dengan percobaan kecil

Menghapus akun secara sementara (soft delete) membuat kita bisa melihat bagaimana perasaan kita tanpa media sosial, sebelum akhirnya kita benar-benar menghapus akun.

Kabari teman-teman dan keluarga bahwa kita sedang beristirahat dari media sosial. Hilangkan aplikasi-aplikasi tersebut dari smartphone. Tetapkanlah target mungkin satu atau dua minggu untuk tidak mengakses akun-akun media sosial.

Jika kita masih hidup dan dunia masih baik-baik saja di akhir percobaan ini, teruskan! Begitu kita tak lagi mudah tergoda media sosial, kita akan siap untuk benar-benar menekan tombol delete.

2. Kurangi jumlah platform

Jika kita punya Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, Youtube, Snapchat, WhatsApp, Tumblr, Pinterest, dan Reddit di smartphone, tablet, atau komputer, kemungkinan kita sudah jauh melewati titik jenuh dan sesaat lagi akan “tenggelam” di lautan dunia maya.

Pilihlah satu atau dua aplikasi yang benar-benar bermakna atau berguna, lalu tinggalkan yang lain. Generasi X (kelahiran sektiar 1965-1980) kerap sulit berhenti menggunakan Facebook. Tetapi Generasi Z (kelahiran sekitar 1996 -2012) secara umum telah meninggalkannya. Mereka saja bisa melakukannya, kita tentu juga bisa!

3. Jika langkah 1 dan 2 masih terlalu berat, coba kurangi waktu yang kita habiskan di media sosial

Yang utama, matikan semua notifikasi (ya, semuanya). Jika otak kita terkondisi untuk selalu merespons setiap suara “ting”, kita akan merasa mustahil untuk berhenti.

Tetapkan satu waktu dalam sehari untuk mengecek media sosial kita atau menjelajahi dunia digital. Aturlah alarm untuk slot waktu ini. Ketika berdering, letakkan smartphone sampai tiba jam yang sama esok hari.

Melakukan hal-hal di atas tidaklah mudah, dan meninggalkan media sosial akan terasa menyakitkan di awal. Tapi jika hubungan ini menjadi tidak nyaman, atau bahkan toksik, sudah sepantasnya kita mulai melakukan sesuatu.

Siapa tahu, kita justru bisa jadi menemukan kebahagiaan yang luar biasa di luar layar smartphone.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Sharon Horwood adalah Dosen Senior Psikologi, Deakin University.