Women Lead Pendidikan Seks
July 27, 2020

Tokoh Agama, Adat Pegang Kunci Pencegahan Perkawinan Anak

Perspektif soal ajaran agama dan tradisi adalah salah satu faktor utama tingginya angka perkawinan anak di Indonesia.

by Selma Kirana Haryadi
Community
Share:

SR masih berstatus sebagai pelajar Sekolah Dasar, tapi kedua orang tuanya sudah berniat menikahkan dia dengan salah satu sepupu jauhnya yang berusia 21 tahun. Keluarga, katanya malu jika ada laki-laki dan perempuan sering bertemu dan mengobrol tanpa ikatan, jadi pernikahan pun direncanakan. Beruntung pernikahan itu batal, lantaran tidak ada penghulu yang mau menikahkan keduanya karena SR masih di bawah umur. 

Kecamatan Sinjai Utara, Sulawesi Selatan, tempat pernikahan SR nyaris berlangsung, bukanlah satu-satunya wilayah di Indonesia dengan tingkat perkawinan anak yang tinggi. Daerah lain misalnya Kabupaten Cianjur di Jawa Barat; Kabupaten Sumenep, Jawa Timur; dan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.

Di tiga daerah inilah lembaga riset dan advokasi Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) melaksanakan “BERPIHAK”, program pencegahan perkawinan anak yang berlangsung 2018-2020 di Kabupaten Cianjur dan Sumenep, serta tahun 2019-2020 di Lombok Utara.

Menurut Nurasiah Jamil, Program Officer BERPIHAK yang bertugas di Cianjur, salah satu faktor yang berpengaruh pada tingginya angka perkawinan anak adalah cara pandang masyarakat soal ajaran-ajaran agama dan adat/tradisi di tempat mereka tinggal. Hal ini membuat advokasi yang dilakukan harus dengan pendekatan agama dan budaya.

“Misalnya, kedekatan masyarakat Cianjur dengan ajaran-ajaran agama Islam menjadi potensi terciptanya saluran advokasi dan penanaman nilai-nilai baru mengenai bahaya perkawinan anak,” ujar Nurasiah dalam “Webinar Nasional Berpihak: Peran Para Pelopor Pencegahan Perkawinan Anak di Wilayah Terdepan” (22/7), hasil kerja sama Rumah KItaB dengan Ford Foundation dan Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Kementerian Dalam Negeri.

“Islam dan tradisi-tradisinya telah berpadu menjadi akar sosial budaya masyarakat Cianjur. Hal itu sebenarnya bisa diandalkan untuk menjadi kekuatan dalam pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan anak perempuan, pemberdayaan perempuan dan kelompok tertinggal, dan perkawinan anak,” katanya.

Langkah advokasi di Cianjur dilakukan dengan melibatkan tokoh ataupun lembaga agama guna menjangkau massa yang luas, ujar Nurasiah.

“Salah satunya adalah sosialisasi dan pelatihan yang dilakukan terhadap 200 jemaah muslimah Nadhlatul Ulama Kabupaten Cianjur, dengan materi sosialisasi mengenai mengapa Islam melarang perkawinan anak,” katanya.

Baca juga: Penghentian Perkawinan Anak Terkendala Kelonggaran Dispensasi Kawin

“Ada pula sosialisasi yang bekerja sama dengan kader perempuan dan tokoh agama setempat yang dilakukan melalui majelis taklim dan pesantren. Dari kelompok ini kami berhasil menjangkau sekitar 700 orang,” Nurasiah menambahkan.

Meski banyak pihak sudah terlibat dalam advokasi dan sosialisasi pencegahan perkawinan anak, masih ada hambatan dalam sosialisasi dan advokasi pencegahan perkawinan anak di Cianjur. Menurut Asisten Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Cianjur Asep Suparman, hambatan itu adalah dogma-dogma tertentu yang beredar dan dipercayai masyarakat.

“Itu membuat perkawinan masih saja ada, meskipun ajaran agama Islam sudah menyinggung masalah perkawinan anak, dorongan dari kalangan lain seperti budayawan, tokoh agama, dan masyarakat juga sudah ada. Sosialisasi  harus terus dilakukan sampai ke akar-akar rumput yang ada di daerah pedesaan,” kata Asep.

Dogma sebagai salah satu variabel dari tradisi yang tidak baik ini juga kental berada di masyarakat Sumenep yang banyak melakukan perkawinan anak dengan alasan tradisi.

“Di Sumenep, perkawinan anak merupakan sebuah tradisi dan kebiasaan, sehingga memang tidak bisa dihapuskan begitu saja. Perlu pendekatan berbasis budaya dan keagamaan, juga yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama,” kata Nurul Sugiyati, Assistant Program Officer BERPIHAK yang bertugas di Sumenep.

Di Lombok Utara, pemuka adat di desa-desa memainkan peran penting, tidak seperti di daerah lain di Pulau Lombok, ujar Assistant Program Officer BERPIHAK di Lombok Utara, Nursyida Syam.

“Tokoh adat mempengaruhi aturan adat di masing-masing desa, yang bisa berpotensi menekan atau bahkan meningkatkan angka perkawinan anak itu sendiri,” kata Nursyida.

Pesantren jadi ruang aman

Ada banyak sekali dampak negatif dari perkawinan anak. Tapi putusnya akses pendidikan dan kemiskinan adalah dua akibat yang paling mendasar, ujar Lenny Rosalin, Deputi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA. Ia mengatakan bahwa praktik perkawinan anak telah melanggar hak asasi anak untuk dilindungi dan tidak dikawinkan ketika masih anak-anak, yang seharusnya merupakan fase di mana mereka banyak belajar, bermain, dan mengeksplorasi sekitarnya.

Baca juga: Dicari: Hakim Berperspektif Gender untuk Cegah Perkawinan Anak

“Salah satu indikator kinerja kepala daerah adalah peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM), yaitu bagaimana mereka bisa mencapai target-target Sustainable Development Goals (SDGs). Tapi hanya karena satu variabel, yaitu perkawinan anak, ini menggoyang semua variabel di daerah. Anak jadi putus sekolah. Wajib belajar 12 tahun tidak tercapai. Jadi lahir pekerja anak. Ini malah jadi penyebab kemiskinan baru,” kata Lenny.

Nurul dari Rumah KitaB mengatakan, advokasi dan sosialisasi yang dilakukan melalui lembaga pendidikan ternyata bisa menjadi solusi yang jitu untuk mencegah perkawinan anak karena memberikan anak alternatif pilihan hidup selain menikah.

“Pesantren menjadi ruang aman bagi anak-anak perempuan untuk menunda perkawinan, karena ketika di pesantren mereka belajar, tidak ada alasan untuk menikah. Ada juga kegiatan yang kami lakukan dan mendapat bantuan dari teman-teman yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan Islam yang memiliki latar belakang sebagai korban perkawinan anak,” ujarnya.

Di Lombok Utara, pendekatan pendidikan berbasis budaya untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan pada anak juga dilakukan. Selain melibatkan tokoh adat dan agama, Nursyida juga menggandeng sekolah-sekolah dan mendirikan Klub Baca Perempuan, sebuah organisasi yang mengupayakan pencerdasan anak dan perempuan di Nusa Tenggara Barat.

“Kuncinya adalah pelibatan anak dan remaja secara aktif dalam kegiatan advokasi dan sosialisasi. Kita harus memberi mereka ruang dan mendengarkan apa yang mereka mau. Bukan hanya mendikte kemauan sebagai orang tua. Kami mendorong anak-anak untuk merdeka belajar dan memberikan kesempatan luas untuk berprestasi, sehingga tidak terpikir untuk menikah di usia anak-anak,” kata Nursyida.

Selma adalah reporter magang di Magdalene. Di tengah tumpukan tugas kuliahnya, Selma suka mendalami isu-isu politik, gender, dan hak asasi manusia. Hubungi Selma di Instagram @selma.kirana.