Women Lead Pendidikan Seks
December 08, 2020

Tragedi Sigi dan Kerentanan Petani di Tengah Pandemi

Dalam sejumlah aksi terorisme di daerah Sulawesi Tengah, petani sering kali menjadi sasaran teror dan mereka berada di posisi serbasulit.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Issues
Share:

Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan tragedi yang terjadi di Sigi, Sulawesi Tengah pada 27 November lalu. Empat warga Desa Lembantongoa tewas dibunuh secara keji dan enam rumah dibakar oleh kelompok teroris. Polisi menduga tindak kriminal tersebut dilakukan oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin Ali Kalora.

Aksi terorisme di Sulawesi Tengah sendiri bukan kali pertama ini yang terjadi. Dalam catatan Institut Mosintuwuꟷorganisasi masyarakat akar rumput yang mengupayakan perdamaian dan keadilan di wilayah Poso dan sekitarnyaꟷ, selama 2020 telah ada tiga korban jiwa akibat aksi terorisme sebelum tragedi Sigi, dan satu korban jiwa pada tahun 2019.

Ketika ada pembantaian di suatu lokasi, tidak jarang muncul dugaan bahwa kejadian tersebut dipicu konflik agama. Akan tetapi dalam konteks tragedi Sigi, menurut peneliti isu terorisme Leebarty Taskarina, asumsi tersebut kurang tepat.

“Aksi teror yang dilakukan oleh kelompok MIT mengarah pada masalah kebutuhan logistik dan mempertahankan eksistensi mereka di mata penduduk lokal, tanpa melihat agama apa pun,” kata Leebarty yang tengah melanjutkan studi doktoral di jurusan Kriminologi, Universitas Indonesia.

Pernyataan Leebarty ini sejalan dengan fakta bahwa selama 2019 dan 2020, korban jiwa akibat terorisme berlatar agama berbeda-beda.

Di samping itu, ia menilai ada faktor kebutuhan lain yang bersinggungan dengan urusan keluarga pimpinan MIT yang perlu dilindungi. Adanya kebutuhan ini membuat para teroris tidak segan menyerang atau mengalihkan perhatian aparat penegak hukum.

Baca juga: Jangan Diam, Lawan Teroris!

Terkait modus terorisme dalam tragedi Sigi berupa pemenggalan warga yang diakhiri pembakaran rumah, Leebarty menilai hal ini dilakukan untuk menunjukkan eksistensi MIT sebagai kelompok yang sudah lama melawan pemerintah. Dengan cara-cara kejam seperti itu, mereka menyebarkan fear of crime bagi penduduk sipil yang melawan mereka, terutama penduduk yang memberikan informasi terkait keberadaan mereka kepada polisi.

Situasi pandemi tak hentikan aksi

Baik secara global maupun di dalam negeri, aksi kelompok teroris tak serta merta hilang akibat pandemi COVID-19. Leebarty mengatakan, sementara kelompok Al-Qaeda dan Taliban meminta anggotanya untuk tidak mendesak melakukan serangan terbuka, kelompok ISIS justru meminta sebaliknya. Mereka melihat momen kelumpuhan ekonomi dan lemahnya pengawasan sebagai kesempatan baik untuk melakukan serangan.

“Dalam kurun waktu 1 Januari sampai 30 November 2020, ada 191 insiden serangan oleh ISIS di Irak dan Suriah dan 153 serangan di luar negara-negara itu. Di Indonesia dalam periode yang sama, ada 11 insiden teror, 9 di antaranya dilakukan MIT,” papar Leebarty.

“Dari 9 itu, 4 insiden bermodus penculikan yang berakhir pembunuhan, 1 insiden penyerangan simbol dan aparat pemerintah , 2 insiden penyerangan penyerangan anggota Polri, 1 insiden penodongan warga sipil, dan 1 insiden pembunuhan disertai pembakaran,” tambah penulis buku Perempuan dan Terrorisme ini.

Ia melanjutkan, semua kegiatan komunikasi kelompok teroris dialihkan secara online, selain untuk menyiapkan serangan, ini juga tetap dilakukan untuk menambah konten propaganda dan perekrutan anggota.

Petani jadi sasaran terorisme

Lian Gogali direktur Institut Mosintuwu dalam pernyataan tertulis organisasinya (28/11) menyoroti kaum petani yang disasar kelompok teroris sepanjang 2020 di Sulawesi Tengah. Ia mengatakan, fakta ini membuat para petani merasa tidak aman, terutama bagi mereka yang tinggal di kebun di pinggir hutan.

“Akibatnya, ratusan hektar kebun di wilayah Poso ditinggalkan. Para petani bukan hanya takut dicap bantuan polisi oleh kelompok MIT, mereka juga bisa saja dicurigai polisi menjadi bagian dari MIT. Ini membuat posisi mereka serbasulit,” tulis Lian.

Serangkaian teror selama bertahun-tahun di sana juga memicu kemiskinan. Dalam konteks pandemi, lapangan kerja terbatas, sumber makanan berkurang, dan lahan pertanianlah yang menjadi sumber utama keberlanjutan hidup warga. Sayangnya, penghidupan petani dan masyarakat luas yang bertumpu pada ketersediaan pangan ini mesti terancam akibat adanya teror terhadap petani.

Baca juga: Peran Penting Perempuan dalam Penyelesaian Konflik dan Terorisme

Sementara itu, Leebarty berpendapat bahwa bukan tanpa alasan petani menjadi sasaran aksi teror MIT. Petani menjadi target mereka lantaran medan wilayah yang dikuasai MIT berupa gunung dan hutan di mana mayoritas penduduk yang tinggal di sana adalah petani atau peladang.

“Umumnya, pembunuhan terhadap petani dilakukan [MIT] untuk memenuhi kebutuhan logistiknya. Selain itu, petani merupakan kalangan masyarakat yang rentan diancam, terutama terkait bantuan informasi yang mereka berikan ke penegak hukum,” kata Leebarty.

Ia mencontohkan, kasus turunnya Jumiatun alias Umi Delima, istri pemimpin MIT terdahulu, Santoso, dari area gunung setelah suaminya meninggal pasca-kontak senjata dengan aparat. Jumiatun sempat kelaparan dan tersesat hingga akhirnya ditemukan petani yang sedang bekerja. Setelah ia diberi makanan oleh si petani, dirinya dibawa ke pos terdekat satuan tugas Tinombala.

“Walau dari segi jumlah korban lebih banyak yang berlatar petani, target utama MIT adalah polisi dan pemerintah. Selama pengejaran, banyak kontak senjata [MIT] dengan aparat, upaya mereka merebut senjata aparat, dan perlawanan operasi pengintaian yang dilakukan polisi. Karenanya, aparat juga layak diperhitungkan sebagai potential target,” jabar Leebarty.

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop