True crime, sebuah genre sastra, podcast, dan film non-fiksi yang berfokus pada kejahatan aktual. Genre ini merinci peristiwa kejahatan dengan melibatkan orang-orang nyata di dalamnya. Dalam mengungkap peristiwa kejahatan, true crime paling sering memuat cerita pembunuhan dengan popularitas paling banyak datang dari cerita para pembunuh berantai.
Kepopuleran genre ini memang tidak bisa dianggap kaleng-kaleng. Dilansir dari TIME, saluran TV di Amerika Serikat, Oxygen mendapat minggu dengan rating tertitinggi lima tahun mereka mengudara setelah menayangkan 12 Dark Days of Serial Killers.
Netflix sebagai streaming platform yang belakangan gencar memproduksi film atau serial dokumenter true crime juga tak ketinggalan. Situs web pelacakan industri film The Numbers, misalnya berhasil melacak kepopuleran genre ini di Netflix. Sekitar sebulan setelah Netflix meluncurkan fitur 10 teratas di aplikasinya, sejak saat itu pula delapan dokumenter true crime Netflix mencapai peringkat satu dan berhasil stabil di posisi itu selama total 58 hari.
Di Indonesia sendiri, kepopuleran ini tak jauh beda. Bisa dilihat dari berbagai kanal Youtube yang sengaja dibuat untuk memenuhi dahaga para pecinta true crime. Contohnya, mulai dari Detective Aldo, Nessie Judge, Bodhi Purnama, hingga Nadia Omara, kanal-kanal Youtube ini memiliki banyak subscriber dengan jumlah views yang rata-rata bisa mencapai lebih dari 2 juta.
Nessie Judge misalnya memiliki subscriber sebanyak 9.35 juga per 7 Juni 2022 dengan kontennya #NERROR yang berisi konten true crime yang paling banyak mendulang popularitas. Videonya “P. Berantai JEPANG yg TERJAH4T!” bahkan mencapai total 4.2 juta views.
Kepopuleran genre ini tak terlepas dari “naluri” manusia. Dilansir dari Science Focus¸ para psikolog evolusioner mengatakan kita tertarik pada kisah-kisah ini karena pembunuhan, pemerkosaan, dan pencurian telah memainkan peran penting dalam sejarah manusia sejak masa berburu dan mengumpulkan makanan.
Sudah menjadi sifat alami manusia untuk sangat terbiasa dengan kejahatan dan manusia secara naluriah punya dahaga untuk mengetahui 'siapa', 'apa', 'kapan' dan 'di mana' dari sebuah peristiwa. Sehingga manusia dapat mengetahui faktor apa saja yang membuat penjahat beraksi karenanya manusia bisa lebih bisa melindungi diri sendiri dan kerabatnya.
Kendati demikian, minat tinggi akan genre ini juga berbanding lurus dengan segala problematika yang mengiringinya. Dan sayangnya, problematika ini hingga kini masih belum dibenahi.
Baca Juga: ‘Our Father’: Cerita Korban Pemerkosaan Medis Cari Keadilan
Genre True Crime Mengglorifikasi Kejahatan
Tidak ada yang lebih menyeramkan dari bagaimana hampir setiap konten true crime apalagi yang membahas pembunuh berantai selalu mengglorifikasi kejahatan para pelaku. Lihat saja bagaimana Netflix berusaha mati-matian menjaring penontonnya dengan merilis berbagai dokumenter true crime dengan sang pelaku dan segala aksi kejahatannya sebagai poros narasi. Tidak sedikit bahkan Netflix “sengaja” merilis dokumenter true crime dengan menggunakan suara rekaman asli dari para pelaku. Tujuannya jelas, yaitu untuk mengajak penonton merasakan sensasi masuk ke dalam pikiran sang pelaku kejahatan.
Conversations with a Killer: The Ted Bundy Tapes (2019), Memories of a Murderer: The Nilsen Tapes (2021), Conversations with a Killer: The John Wayne Gacy Tapes (2022) adalah tiga contoh dokumenter itu. Diiringi dengan latar musik dan tone warna dokumenter yang gelap Netflix memasukan berbagai potongan rekaman suara pelaku demi membangun kengerian aksi kejahatan tiga pembunuh berantai ini yang sayang dalam prosesnya justru mengglorifikasi kejahatan mereka.
Hal ini misalnya bisa dilihat dalam dokumenter Memories of a Murderer: The Nilsen Tapes. Dennis Nilsen, pembunuh berantai dan necrophile mengungkapkan keinginannya untuk mulai menuliskan otobiografinya tujuh tahun setelah pengakuannya ke pihak berwajib. Selama 18 tahun ia menulis otobiografinya dengan dirinya secara rutin merekam suara dirinya sendiri.
Melalui episode yang sengaja dibuat dengan cliff hanger di akhir tiap episodenya dan dipenuhi oleh latar musik yang mencekam, Netflix menampilkan berbagai video dan foto tempat kejadian perkara yang dibarengi dengan rekaman suara Nielsen. Dalam rekaman tersebut, Nilsen terdengar sama sekali tidak bersalah.
Ia berkali-kali menceritakan bagaimana ia membunuh korbannya dan menghilangkan tubuh mereka. Ia juga mengejek kepolisian dan media massa dan “kebodohan” mereka. Apa yang berusaha ditampilkan Netflix dalam dokumenter ini jelas memenuhi hasrat narsistiknya untuk dikenal luas oleh masyarakat.
Tak hanya Netflix, kanal Youtube Real Stories juga memiliki cara yang hampir sama dalam mengglorifikasi kejahatan para pelaku kejahatan yang prosesnya juga memenuhi hasrat narsistik mereka. Misalnya saja dalam dokumenter Jeffrey Dahmer: The Milwaukee Cannibal (2019), Real Stories juga menempatkan Dahmer sebagai poros narasinya. Berkali-kali dokumenter ini menjelaskan secara mendetail modus operandi Dahmer yang sayangnya disusul dengan foto-foto korban dalam keadaan tidak baik yang sebagian dikaburkan.
Glorifikasi atas kejahatannya ini kemudian diperkuat dengan bagaimana Real Stories berusaha untuk menyelami masa kecil Dahmer agar penonton setidaknya bisa sedikit “berempati” dengan dirinya. Bahwa pembunuh berantai dan necrophile ini lahir melalui keadaan yang tidak berpihak padanya. Sehingga sejatinya, tindakan kejahatan yang ia lakukan tidak serta dilakukan tanpa ada pemicunya.
Melihat bagaimana glorifikasi kejahatan dalam true crime jelas sangat mengkhawatirkan. Dilansir dari artikel The Conversation, glorifikasi kejahatan akan memicu copy cats atau peniru. Hal ini misalnya dapat dilihat dari kejadian penembakan massal di Christchurch pada 2019. Sembilan hari setelah penembakan massal Christchurch, terjadi serangan pembakaran terhadap sebuah masjid di California, diikuti dengan penembakan yang serupa. Ketika diusut oleh pihak berwajib ternyata pelaku yang melakukan kejahatan ini memuji tindakan penembak Christchurch, Brenton Tarrant.
Baca Juga: 3 Catatan Penting dari Film Kekerasan Seksual ‘Cyber Hell’
Narasi Korban yang Hilang
Aksi kejahatan hampir selalu dipastikan memakan korban. Baik penyintas maupun keluarga atau orang terdekat korban akan mengalami trauma. Karenanya, dalam tiap aksi kejahatan pemulihan trauma korban seharusnya menjadi hal yang paling utama dilakukan karena hak hidup dan nyawa manusia jadi taruhannya. Akan tetapi dalam true crime, posisi korban yang seharusnya lebih dipentingkan justru dinihilkan.
“Meskipun ini (true crime) tentang kenyataan, tetap saja itu memang memiliki tujuan untuk menghibur, bahkan jika mereka tidak mengatakannya secara langsung,” kata Dawn Cecil, seorang kriminolog di University of South Florida dalam wawancaranya bersama The Ringer.
Karena alasan inilah maka korban dalam true crime mengalami dehumanisasi. Foto-foto dan informasi terkait mereka disebarluaskan dan dibuat dalam sebuah dokumenter tanpa masukan atau bahkan persetujuan dari orang-orang yang paling terkena dampak kejahatan atau orang-orang terdekat korban. Maka tak mengherankan korban biasanya dilihat hanya sebagai angka demi menggarisbawahi betapa kejamnya aksi kejahatan pelaku.
Perlakuan terhadap korban ini pun tak ayal menciptakan luka trauma berulang pada orang-orang terdekat yang ditinggalkan. Mindy Pendleton adalah salah satunya. Dalam wawancara bersama Time ia mengungkapkan bagaimana segala ketakutannya muncul dan melahirkan trauma berulang ketika Netflix memutuskan menggarap dokumenter true crime, I Am A Killer (2018) tentang pembunuhan anak tirinya, Robert Mast.
Ketika Netflix meminta keluarga dan teman-teman Mast pada Februari 2019 untuk berpartisipasi dalam serial tersebut, Pendleton memohon kepada produser untuk membatalkan proyek tersebut. Permohonan Pendleton jelas berdasar karena tak etis rasanya menjual sebuah dokumenter tentang sebuah tragedi yang menimpa seseorang dengan mengorbankan emosi keluarga yang masih diliputi rasa duka.
"Sebagai orang tua, sesama manusia, saya mohon Anda untuk tidak melakukan ini. Tolong jangan lakukan ini!" tulis Pendleton di emailnya yang ia kirim ke banyak banyak produser.
Sayangnya, permohonan Pendleton tak diacuhkan. Pada 31 Januari, Netflix merilis musim kedua acara tersebut dengan episode yang merinci pembunuhan anak tirinya. Tidak hanya itu, jauh dari menggambarkan Haugen sebagai seorang pembunuh, I Am a Killer justru memberikan gambaran yang relatif simpatik kepada pelaku dengan menggarisbawahi tindakan Haugen dilandasi cinta mendalam untuk Mast.
Baca Juga: ‘City of Joy’: Ubah Luka Korban Pemerkosaan Jadi Kekuatan
Dehumanisasi korban pun juga dapat dilihat dari Serial, podcast true crime dan Making a Murderer (2015) Netflix yang relatif membungkam realitas kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan.
Dilansir dari Quartz, kedua acara memiliki kecenderungan untuk menyederhanakan dua kekerasan ini dengan sengaja memusatkan perhatian pada masalah sistem peradilan dan modus operandi pelaku.Serial misalnya tidak memberikan ruang sama sekali narasi korban dengan menggarisbawahi perilaku Adnan Syed yang penuh dengan kekerasan. Dengan cara yang sama, sejarah kekerasan Steven Avery terhadap mantan pacarnya tidak dianggap layak untuk dimasukkan apalagi memasukan narasi langsung dari korban.
Pada gilirannya kata "true" dalam true crime menjadi bias karena disampaikan lewat narasi dominan tunggal dan disampaikan tanpa mempertimbangkan perasaan penyintas, korban, atau keluarga korban terkait. Tak ayal, ia menjadi kisah hiperbola nirempati dengan melewatkan kisah nyata korban demi viralitas dan menjadi pembuka luka trauma.
Comments