Women Lead Pendidikan Seks
May 17, 2022

Tuhan Kecil Bernama Ra.

“Ra, pasti selama ini dirimu kesepian. Begitu dipuja, tapi jarang sekali dipertanyakan. Begitu ditakuti, hingga orang berlari pergi. Begitu sakti, hingga harus selalu menyendiri”, tutur Aya.

by Ferena Debineva
Culture // Prose & Poem
Share:

Ra adalah sebuah jelma yang bersosok mungil dan berbayangan cahaya. Ra lahir dari ruang kosong, menjelma wujud berupa sosok anak perempuan. Ia memiliki kulit kuning kecoklatan dengan rambut ikal berwarna biru yang bergelombang serupa ombak. Empat matanya berwarna emas, pantulan matahari yang senantiasa terbit dan tenggelam di danau air asin yang ia gali beberapa hari lalu. Kesukaannya pada bentuk, cahaya, rasa dan warna menjadikan ciptaannya berupa rupa, menjadikan dunianya seperti apa yang manusia pikir adalah surga. Untuk Ra kecil, itu adalah kanvas taman bermain yang tidak terbatas, seperti susunan bata dengan ragam rupa.

Ra adalah sesosok anak yang penuh imaji dan mimpi. Ia tengah berlari di halaman belakang kebunnya saat angin membisikkan nada-nada kecil yang menggelitik telinga. Kebun milik Ra maha luas dan tak berbatas, tapi sepanjang hidupnya, ia jarang sekali memiliki teman bermain.Mungkin bisa dihitung dengan satu tangan, eh, bukan, satu dari empat puluh jari tangan yang Ra miliki. Lagipula, kebanyakan teman yang bermain dengannya hanya sebesar satu ruas jari. Sebenarnya ada teman Ra yang sebesar lengan, namunkemudian temannya bertambah besar dan mengelilingi samudra, sehingga Ra kecil hanya bisa berjumpa dengan ujung ekornya saja.

Ra kira-kira berusia 5 tahun waktu manusia, dia bisa membaca, menulis, mencipta, tapi paling malas bertuturkata. Keenganannya sebenarnya hanya karena ia tidak punya teman yang bisa ia ajak bicara, atau diajak berdebat. Kebanyakan hanya menggangguk dan mengiyakan, sehingga lama-lama Ra bosan dan merasa bicara adalah hal yang sia-sia.

Baca juga: Mewah itu Langit Biru

Baginya, sungguh menjemukan bila bicara tanpa tanggapan, bantahan, atau bahkan ejekan. Semua yang mendengarkannya hanya bisa menggangguk, mengagumi, memuji dan tunduk. Bahkan ketika Ra membentak, berteriak, marah,dan mengancam untuk mendapat tanggapan, semuanya justru menunduk dan bersembunyi, menghilang di bawah kaki kecilnya.

Ra yang manis sebenarnya bukan anak perempuan yang pemarah, hanya saja sepertinya ia akan selamanya kesepian, meskipun tidak pernah sendirian. Ia bisa menciptakan seribu taman dan seribu teman dalam waktu sekejap, yang kemudian ia musnahkan lebih cepat lagi. Teman-teman yang ia ciptakan bisa berbicara satu dengan yang lain, tertawa, memeluk, menangis, berjalan, tapi semuanya terdiam seketika Ra bergerak dan berbicara.

Hanya tatapan hening dalam takjub dan tunduk penuh ke arah Ra: tatapan yang paling Ra benci sejagad raya ciptaannya.

Hari ini Ra pergi berpiknik di samping danau tempat matahari hendak tenggelam. Karena Ra menyukai warna jingga bias matahari, matahari memutuskan untuk berdiam diri menemani Ra ketika ia membentangkan tikar rumput berwarna hijau. Dalam satu kibasan, tikarnya membentang dunia, dan Ra duduk manis diatasnya.

Kemudian dari delapan jari kelingkingnya muncul bunga-bunga berwarna-warni. Dari enam jari manisnya, kupu-kupu merekah, dari empat jari tengahnya burung-burung membentangkan sayapnya yang lebar. Dan dari ujungkuku-kukunya, semut-semut pekerja beriringan membawakan buah-buahan dalam wadah daun pepohonan yang lebar.

Ra kecil ingin menciptakan teman-teman baru dari ujung jari-jari telunjuknya, yang membuat matahari berkelap-kelip dengan rasa was-was. Ra tidak suka bermain sendirian, tapi terakhir kali ia menciptakan teman, yang ia ciptakan adalah seekor ikan terbang raksasa bergigi tajam yang hampir saja menelan matahari hidup-hidup.

Baca juga: Parasit di Inang Muda

Semut-semut yang mengantarkan makanan juga terdiam kaku, berpikir bahwa mungkin kali ini Ra akan menciptakan hewan-hewan lain yang mempunyai badan tinggi menjulang sampai semut-semut tidak dapat melihat ujung kepalanya sendiri.

Matahari kembali naik sedikit dan meminta awan bergeser agar Ra tidak kepanasan. Gumpalan awan kemudian berbaris di belakang Ra, membentuk busa-busa kecil dimana Ra bisa bersandar. Kemudian awan awan itu memeras diri mereka sendiri menjadi tetesan kecil air yang manis. Ra menjulurkan lidahnya sepanjang bentang rerumputan.

Ra sebenarnya tidak butuh makan dan tidak butuh minum, tidak merasa haus dan tidak merasa lapar, hanya saja ia selalu menikmati rasa di ujung bibir dan lidahnya seperti sebuah permainan tebak-tebakan. Kadang ia pun bisa terkejut dengan imajinasinya sendiri. Dalam kejutnya yang sepersekian detik itu, dunia menahan nafasnya dan behenti.

Kejutnya datang dalam waktu yang sangat singkat, dan selanjutnya dunianya hanya dilapisi kebosanan. Kebosanan Ra adalah yang paling menjemukan dan meredupkan dunia. Awan-awan yang resah menuangkan air dari diri mereka sendiri kemudian mulai menggumpal-gumpal dan memeras air lebih banyak hingga tumpah ruah, hampir mengenai ujung kaki Ra. Gumpalan air itu kemudian menggulung dirinya sendiri, menguap dengan cepat untuk kemudian merekah-ruah tak henti dalam sembab.

Ra kemudian memilih tertidur diantara rumput-rumput yang melembutkan dirinya seperti kapas, dan mulai membawa Ra kepada mimpinya sendiri, dunia Ra yang lain. Dalam dunia itu, Ra bebas mencipta dan tertawa, dengan bayangan dirinya. Matahari masih menyangga dirinya snediri agar tak tenggelam di danau pada hari yang tidak pernah berakhir, menunggu Ra terbangun.

Ra kecil kemudian terbangun karena suarakepak sayap burung kolibri yang terantuk pohon dan terhuyung-huyung. Burung yang kaget karena menyadari bahwa ia mengusik Ra, memutuskan untuk membakar dirinya sendiri dan menguap menjadi butir-buitr udara. Ra kemudian membuka kedua tangannya, dari tangan kirinya ia mengumpulkan air dan cahaya, dari tangan kanannya ia mengambil segenggam tanah, dan menyatukannya dalam rapal. “Jadilah ciptaanku seperti sesempurna wujudku”, gumamnya.

Baca juga: Ketika Cut Nyak Dien Terlempar ke Mesin Waktu

Maka pada hitungan waktu yang henti, Ra yang lain muncul, dalam perwujudan sesempurna dirinya, mulai dari satu, dua, seribu, sepuluh ribu, sepuluh juta, satu milyar Ra. Satu milyar Ra yang baru berbisik-bisik dan tertawa, dan bermain nersama. Tanpa Ra, lagi-lagi tanpa Ra. Ra kembali merasa sendiri. “Aku sudah menciptakan segalanya, dengan kesempurnaan rupa-ku”, keluhnya, “tapi aku tetap merasa kesepian hidup dalam ruang hampa dan satu-satunya.

Ra yang bersedih mulai tersedu, dan samudera meluap-luap dengan air yang mendidih. Hewan-hewan itu kemudian menutup mata ketakutan dan satu milyar Ra bersimpuh dalam kakinya untuk membaca rapal yang seperti doa. Ra yang patah hatinya bermaksud menyeret kakinya ke dalam danau tempat matahri berdiam, membasuh rambutnya, dan memutuskan untuk kembali kealam mimpi.

Di alam mimpi, Ra bertemu dengan seorang manusia, perempuan paruh baya bernama Aya. Dengan terheran-heran Ra memutari tubuh perempuan yang yang mulai beruban, wajahnya berkerut-kerut tak menyilaukan, dan jemarinya lebih sedikit dari yang dimiliki Ra. Ra sangat menyukai sosok Aya yang berbeda dari segala sesuatu yang telah ia cipta. Aya menatap bola mata Ra yang menyilaukan dengan senyuman yang mengembang. Tangannya menjulur ke arah Ra, mengucap salam, dan memberondongi Ra dengan sejuta pertanyaan.

Ra menarik tangan Aya dengan girang. Dibawanya Aya dalam hitungan cahaya ke kebunnya yang tak terbatas. Dipanggilnya awan-awan untuk berputar menjadi alas duduk, dan dibelah pula matahari hingga tinggal tersisa sebagian.

Ra memeriksa jemari Aya dengan seksama. Kalimat tanya Aya  muncul serupa ledakan-ledakan kecil kembang api yang selama ini Ra tunggu.

“Ra, pasti selama ini dirimu kesepian. Begitu dipuja, tapi jarang sekali dipertanyakan. Begitu ditakuti, hingga orang berlari pergi. Begitu sakti, hingga harus selalu menyendiri”, tutur Aya.

Air mata berwarna putih susu mulai turun dari ujung mata Ra, mengalir begitu deras dan berubah menjadi kupu-kupu berwarna putih yang berterbangan kesana kemari.

Aya kemudian mengelus lembut kepala Ra, “Aku harus kembali. Meskipun aku suka, tempatku bukan disini”, pamit Aya lembut. Jika aku merindukan sosokmu, aku akan tersenyum dan memanggilmu dengan suara riang, di kali lain dengan grasak grusuk kekalutan. Kau pasti mendengar semua bentuk panggilanku.

Bola mata emas Ra berkaca-kaca. Dengan perlahan, Ra menunjuk matahari dan mengubahnya menjadi serpihan kecil, diletakkannya persis di jantung Aya, “Agar kau hidup selamanya, agar bisa memanggilku selamanya”

Aya tersenyum dan menggeleng. Ia memeluk tubuhnya sendiri, “Aku diberkati dengan kepastian bahwa semua ini akan berakhir, karena semua telah bermula. Maka aku akan jauh lebih menghargainya”

Ra kemudian mengambil kembali serpihan matahari di jantung Aya, dan mengantar Aya pulang.

Ra mendongak, bertanya “Bagaimana kau akan mengingatku?”

Aya menggumam, “Seperti semua orang mengingatmu. Hanya saja, aku tahu bahwa Kau dapat hadir dalam wujud anak perempuan.”

Ferena Debineva adalah founder dan chairperson SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Tulisannya kebanyakan adalah curhatan yang terlalu serius.