Anak sulung dari enam bersaudara, Angel telah membantu perekonomian keluarga sejak dia masih kuliah di Jurusan Psikologi Universitas Indonesia. Karena adik-adiknya butuh biaya sekolah, sementara sang ayah hanya pekerja di perusahaan percetakan, ia berusaha keras mencari beasiswa sarjana supaya tidak membebani orang tua. Di tengah kepadatan kuliahnya pun, Angel masih bekerja sambilan hampir setiap hari, supaya ia bisa membiayai kebutuhannya sehari-hari serta mengirim uang ke rumah di Tangerang.
“Kerjaan apa pun waktu itu gue ambil, mulai dari ngasih les, bantuin penelitian dosen, jadi fake buyer, semua gue jabanin,” ujar perempuan berusia 30 tahun yang hanya ingin dicantumkan nama depannya itu.
Tidak cuma itu, Angel sampai harus berpuasa untuk menyisihkan uang makannya demi kebutuhan rumah orang tuanya.
“Dulu sebetulnya nyokap gue juga sempat kerja. Pendidikan dan penghasilan nyokap gue sebenarnya lebih tinggi dari Bokap. Tapi mau enggak mau dia berhenti kerja setelah adik gue yang pertama lahir, waktu gue berumur tiga tahunan,” ujarnya.
Sementara jumlah anggota keluarganya bertambah, pemasukan ayahnya segitu-segitu saja. Keadaan ekonomi kemudian makin morat-marit saat ayahnya sering menghilang, meninggalkan utang (yang terpaksa harus dilunasi Angel), hingga akhirnya dipecat dari kantor karena ketahuan mencuri.
Sejak itu, Angel mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Saat ia mendapat pekerjaan yang pertama di sebuah perusahaan asuransi pada 2011, sekitar 90 persen pendapatannya langsung dialirkan ke biaya operasional rumah orang tuanya.
Baca juga: Kehilangan Pensil Alis dan Pekerjaan: Sama-sama Butuh Kerelaan
Angel sekarang telah menikah dan memiliki seorang putri berusia tiga tahun. Tanggungannya tidak hanya rumah orang tuanya saja, tetapi juga rumah tangganya sendiri. Tak pelak, ini berpengaruh terhadap cita-citanya yang tak kunjung terwujud.
“Gue pikir, beberapa lama setelah lulus dan dapat kerja, gue bisa nabung untuk lanjut S2. Tapi enggak jadi karena gue harus membiayai semua kebutuhan keluarga gue,” ujarnya.
Terimpit beban dua keluarga
Ada terminologi khusus untuk perempuan seperti Angel: Sandwich generation atau generasi sandwich. Tercatat sejumlah definisi mengenai kelompok ini, tetapi benang merahnya, generasi sandwich memiliki tanggung jawab untuk mengurus dua keluarga sekaligus: orang tua dan anaknya.
Terminologi ini pertama kali dicetuskan oleh pekerja sosial Dorothy Miller di AS pada 1981, dan kemudian jurnalis Amerika Carol Abaya memopulerkan pembagian generasi sandwich. Pertama, kelompok tradisional, yakni mereka yang terjepit di antara orang tua berusia lanjut dan anak-anaknya. Kedua, kelompok club sandwich, yaitu orang-orang usia 50-60an yang masih mengurusi orang tuanya sekaligus anak yang beranjak dewasa serta cucunya, atau kelompok orang usia 30-40an yang mempunyai anak kecil, mengurus orang tua plus kakek neneknya. Terakhir, kelompok open faced, yakni siapa saja yang punya tanggungan kebutuhan orang tua.
Pada awal pernikahannya tahun 2015, Angel dan suaminya sempat menyewa rumah sendiri. Keadaan saat itu sebenarnya cukup nyaman. Baik Angel maupun suami sama-sama bekerja, penghasilan mereka cukup buat membiayai rumah mereka sendiri dan rumah orang tua Angel. Namun situasi berubah saat Angel hamil. Kondisi kehamilannya yang agak lemah sehingga Angel memilih berhenti kerja karena lokasi kantornya jauh dari rumah. Penghasilan otomatis hanya berasal dari satu orang. Terlalu berat untuk memenuhi kebutuhan dua rumah dalam keadaan begitu. Angel dan suami pun memilih tinggal bersama orang tua Angel di daerah Tangerang sampai saat ini.
Tabungan Angel dan suami ludes dalam setahun semasa Angel hamil dan setelah melahirkan untuk membiayai operasional rumah orang tuanya.
“Kami tinggal di sana (rumah orang tua) berarti ikut juga biayain makannya. Kalau ada masalah-masalah di rumah itu juga kami ikut bayarin,” kata Angel.
Banyak perempuan generasi sandwich menunjukkan stres pada level ekstrem. Dampaknya buruk tidak hanya terhadap relasi mereka dengan pasangan, anak, dan keluarganya, tetapi juga terhadap kesejahteraan pribadinya.
Masalah keuangan ini tidak jarang memicu pertengkaran antara Angel dan suaminya. Kendati sang suami sudah membantu keluarga Angel secara finansial sejak masa pacaran, pertengkaran soal uang tetap saja tidak terhindarkan ketika sudah menikah. Tidak bisa tidak, Angel kembali bekerja setelah putrinya berusia tiga bulan.
Konflik-konflik seputar keuangan rumah tangga mendorong pasangan ini mencari solusi. Mereka pun merinci betul poin-poin pengeluaran rumah tangga dan tidak lupa menyisihkan uang untuk tabungan dan investasi. Selain itu, Angel juga meminta bantuan dari adik-adiknya yang satu per satu telah lulus dan bekerja untuk membantunya membiayai rumah semampu mereka. Porsi 90 persen dari penghasilan yang dulu Angel jatah untuk rumah orang tuanya sekarang telah menurun hingga 50 persen.
“Gue menempa adik-adik gue untuk mandiri. Gue enggak akan selamanya membantu mereka. Jadi, kalau mereka butuh apa-apa di kemudian hari, gue akan bantu sebisa gue tetapi mereka juga butuh mengusahakan sendiri,” kata Angel yang kini berstatus sebagai pekerja lepas.
Ia menambahkan, pesannya kepada adik-adiknya adalah ia tidak berharap mereka membayar apa pun yang Angel pernah berikan kepada mereka. Namun begitu mereka melihat ada yang kesusahan, mereka harus turun tangan.
“Jadi, adik gue yang nomor sekian biayain adiknya lagi, dan seterusnya,” kata Angel. Kini, ia dan tiga adik di bawahnya sudah berpenghasilan, sementara dua yang termuda masih berkuliah dan sekolah di SMK.
Baca juga: Ajari Aku Mencintai Diriku Sendiri Lagi
“Kamu kapan bahagianya?”
Sejak kuliah hingga bertahun-tahun sesudah bekerja, Angel selalu mengutamakan kebutuhan rumah orang tuanya. Setelah menikah dan punya anak, kebutuhan keluarga kecilnya berdiri sepadan dengan kebutuhan orang tua dan adik-adiknya. Pertanyaannya, apakah ia pernah merasa penat dan ingin menyerah membiayai keluarganya. Dan kapan ia mulai memperhatikan dirinya sendiri?
“Capek sih pernah, tapi keinginan menyerah enggak,” jawab Angel.
Suatu waktu, ia pernah mengalami nyeri di lehernya. Setelah diperiksa, dokter mengatakan ada aliran darah menuju otak yang tersumbat. Prognosisnya adalah karena stres berkepanjangan.
Tekanan yang membuatnya sampai sakit fisik ini berpengaruh juga ke keadaan emosi Angel. Beberapa kali ia berkonflik dengan Ibu dan adik-adiknya. Sempat ia merasa semua orang saat itu berkeluh kesah dan bergantung kepadanya, tetapi tidak ada yang memikirkannya.
“Saat itu gue lagi hamil dan enggak kerja, gue nggak bisa kasih uang ke rumah seperti biasa. Gue terpicu meledak setelah adik gue baru mulai kerja dan ngeliat dia masih mikirin dirinya sendiri. Padahal, kebutuhan rumah masih banyak yang belum kebayar,” ujar Angel.
Baca juga: Ruang (Ny)aman: Perjanjian Pranikah, Perlukah?
Dalam berbagai tulisan mengenai perempuan di generasi sandwich, dikatakan bahwa mereka rentan mengalami stres. Hasil penelitian American Psychologycal Association (APA) pada 2007, misalnya, menunjukkan bahwa 29 persen dari perempuan generasi sandwich di Amerika usia 18-34 tahun menunjukkan stres pada level ekstrem. Dampaknya buruk tidak hanya terhadap relasi mereka dengan pasangan, anak, dan keluarganya, tetapi juga terhadap kesejahteraan pribadinya. Selain itu, kondisi bisa semakin parah bagi perempuan generasi sandwich jika ia juga dituntut mengerjakan pekerjaan domestik selain menjadi seorang pekerja.
Di satu sisi, kelelahan bekerja luar biasa bisa dirasakan oleh generasi sandwich. Namun di lain sisi, mereka tidak bisa berhenti mencari nafkah karena ada dua rumah yang mesti dibiayai. Dalam menyikapi kondisi pelik ini, psikolog klinis dari Yayasan Pulih, Aenea Marella, menyarankan untuk memelihara komunikasi yang baik dengan setiap anggota keluarga.
“Artinya, bukan berarti karena saya orang tua maka patut didengarkan, sementara karena kamu anak, kamu harus nurut dan enggak boleh berpendapat,” ujar Aenea.
Ia menambahkan, orang di posisi generasi sandwich butuh mengutarakan harapan yang realistis dan berbagi peran. Tidak selamanya seseorang bisa memenuhi kebutuhan sekitarnya. Ketika ada sesuatu tidak berjalan sesuai harapan, yang dapat dilakukan adalah kembali berfokus kepada hal-hal yang bisa dikendalikan.
Kondisi terjepit sering juga membuat orang merasa tidak berdaya dan merasa dirinya sebagai korban, kata Aenea. Alih-alih membiarkan pemikiran ini menetap, ia menyarankan untuk memiliki pemikiran sebagai penyintas.
“Dengan begitu, seseorang dapat menjadi lebih berdaya, mencari jalan keluar, melakukan hal produktif dan konstruktif untuk mengurangi dampak negatif situasi yang kurang menguntungkan,” jelas psikolog yang juga berpraktik di RS Carolus Serpong ini.
Pengalaman pahit dalam keluarga serta tanggungan yang diembannya sejak lama memicu Angel mengalami gangguan kecemasan dan emosi. Di satu titik, ia sadar, ia tidak dapat lagi menjadi pahlawan yang melupakan kesejahteraan personal. Perlahan, ia merawat kembali dirinya dengan melakukan hal-hal yang ia suka serta menjalani terapi psikologi.
Perawatan diri atau self-care menurut Aenea memiliki beberapa prinsip. Pertama, kegiatan tersebut bisa menjadi nilai tambah untuk kesejahteraan dalam jangka panjang. Kedua, tidak malah menimbulkan stres yang lebih parah seperti perilaku berisiko. Kemudian, kegiatan self-care yang dipilih juga harus berdasarkan pertimbangan yang baik, jika mungkin, direncanakan dalam durasi waktu tertentu.
Tentu membantu orang tua dan mengurus rumah tangga serta anak sendiri bukanlah hal-hal yang mesti dikorbankan salah satunya. Namun, ketika generasi sandwich berupaya keras melakukan keduanya, satu hal penting yang juga tidak boleh terabaikan adalah kesejahteraan fisik dan mentalnya sendiri.
Maka, kepada siapa saja yang tengah berjuang memenuhi kebutuhan orang tua sekaligus anak, bolehlah rehat sejenak dan menjawab tanya, “Kamu kapan bahagianya?”.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.
Comments