Amnesty International mencatat adanya penurunan jumlah pelaksanaan dan penjatuhan vonis hukuman mati di seluruh dunia pada tahun 2019.
Dalam laporannya berjudul “Vonis Hukuman Mati dan Eksekusi 2019” yang diterbitkan 21 April lalu, lembaga advokasi hak asasi manusia ini memaparkan adanya kecenderungan penurunan jumlah eksekusi mati secara global dari sebelumnya 690 (2019) menjadi 657 (2018).
Jumlah vonis hukuman mati secara global juga cenderung berkurang. Sebanyak 2.307 vonis mati dijatuhkan pada tahun lalu, sedikit menurun dibandingkan dengan 2.531 vonis pada 2018.
Sebaliknya, tren penurunan ini tidak terjadi di Indonesia. Justitia Avila Veda, manajer kampanye Amnesty International Indonesia, mengatakan ada kenaikan jumlah vonis hukuman mati dari 48 pada 2018 menjadi 80 pada 2019.
“Enam puluh di antaranya adalah kasus narkotika. Sisanya adalah kasus pembunuhan (18 kasus), pemerkosaan anak (1 kasus), dan terorisme (1 kasus),” kata Justitia pada diskusi daring di kanal YouTube Amnesty International Indonesia, yang bertema “Peluncuran Laporan Global 2019 : Prospek Penghapusan Hukuman Mati di Indonesia” (21/4).
Justitia menambahkan, peningkatan hampir 50 persen ini diasumsikan karena stigma kasus narkotika sebagai kejahatan luar biasa dan interpretasi subjektif terhadap definisi the most serious crime dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR).
“Terhadap the most serious crime ini masih diberikan kelonggaran untuk dikenai hukuman mati. Meskipun demikian, definisi kejahatan luar biasa dalam ICCPR memang dapat diinterpretasikan secara berbeda di setiap negara dan pengertian mengenai hal ini sudah banyak diperdebatkan,” ujarnya.
Charles Honoris, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Komisi I yang membawahi bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, serta intelijen, mengatakan bahwa hukuman mati bukanlah solusi pengentasan kasus narkotika.
“Walaupun sudah puluhan orang divonis hukuman mati dan dieksekusi, masih belum ada perbaikan dalam hal pemberantasan kasus-kasus narkotika atau penurunan peredarannya,” ujarnya.
Baca juga: Negeri Pecinta Mati
“Melihat fakta masih maraknya peredaran narkotika di Indonesia, tentu saja solusinya bukan hukuman mati, tetapi manajemen penegakan hukum yang lebih baik dan manajemen pengelolaan lapas (lembaga pemasyarakatan) sehingga pengedar yang masih menjalankan bisnisnya di lapas tidak bisa melakukan kegiatannya,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai, negara gagal dalam menyelesaikan kasus narkotika.
“Tahun 2014, Pak Jokowi bilang, negara ingin merehabilitasi pecandu narkotika. Saat ini, 20 persen terpidana kasus narkotika yang ada di lapas adalah pengguna dan pecandu, yang seharusnya, berdasarkan instruksi presiden, direhabilitasi. Jadi bayangkan, aparat penegak hukum tak mendengarkan instruksi presiden,” katanya.
Hukuman Mati dan Penyiksaan
Hukuman mati tak hanya dikaitkan dengan pelanggaran hak untuk hidup, melainkan juga death row phenomenon, yaitu rasa sakit yang disebabkan oleh berbagai kondisi yang menyebabkan gangguan mental dan fisik yang diderita terpidana mati .
“PBB bilang, ketika hukuman menimbulkan rasa sakit, maka tidak boleh diterapkan. Riset kami dengan Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) menunjukkan bahwa sehari setelah seseorang divonis hukuman mati, timbul gangguan mental yang sangat berat. Lapas kita tidak didesain untuk meng-handle kondisi seperti itu,” kata Erasmus dari ICJR.
Data terakhir yang didapat ICJR dari Dirjen Pemasyarakatan menunjukkan, ada 271 orang di dalam lapas yang sedang menunggu eksekusi mati. Bahkan, lima orang di antaranya telah 20 tahun dipenjara.
“Ketika orang terlalu lama dipenjara dan menunggu eksekusi mati, kondisi mentalnya otomatis terganggu. Menurut Juan Mendez (pelapor khusus PBB untuk isu penyiksaan), kondisi tersebut inhumane, degrading, dan dianggap sebagai penyiksaan,” ujar Erasmus.
Baca juga: Ratu Heroin? Jalan Hidup Merry Utami Berkata Lain
Ia menambahkan, stres dapat menjadi pemicu kematian terpidana yang belum dieksekusi.
“Ketika negara menjatuhkan hukuman mati, ada satu impact yang lebih dari sekedar mencabut nyawa, yaitu melakukan penyiksaan terhadap orang,” ujarya.
“Jumlah kasus terpidana mati yang meninggal di penjara lebih tinggi dari yang (meninggal karena) dieksekusi. Mayoritas orang yang meninggal di dalam sel itu disebabkan oleh stres dan penyakit yang ditimbulkan oleh stres.”
Gagal beri efek jera
Tidak banyak anggota DPR yang secara terbuka menyampaikan penolakannya terhadap hukuman mati karena sentimen publik masih cenderung mendukung penerapannya. Persepsi publik inilah yang mempersulit penghapusan hukuman mati di Indonesia, ujar Charles.
“Walaupun saya mendukung penghapusan hukuman mati di Indonesia, tetapi DPR adalah lembaga politik sehingga politik elektoral itu penting. Agak sulit berharap bahwa DPR bisa secara sistematis menghapus hukuman mati melalui revisi undang-undang,” kata Charles.
Eksekusi mati di Indonesia juga berdampak terhadap upaya pembebasan warga Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri, tambahnya.
“Dari tahun ke tahun pemerintah berusaha memulangkan dan membebaskan WNI yang divonis hukuman mati di luar negeri. Bagi saya, Indonesia tidak memiliki otoritas moral untuk mengajukan pembebasan hukuman mati bagi WNI di luar negeri ketika kita sendiri masih menerapkan hukuman mati baik kepada WNI maupun WNA,” kata Charles.
Rahayu Saraswati, Ketua Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang yang juga mantan anggota DPR periode 2014-2019, mengatakan penghapusan hukuman mati sulit dilakukan karena kekhawatiran DPR akan sentimen publik.
“Dari pengalaman saya di DPR selama lima tahun, realitasnya adalah, bicara tentang penghapusan hukuman mati di Indonesia sangat sulit karena akan banyak dari rekan-rekan kita yang sangat bergantung pada suara konstituen. Mereka tak bisa mengambil keputusan sendiri tanpa melihat masyarakat yang mereka wakili,” ujar Rahayu.
Baca juga: Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Ambisi Menciptakan Dunia Bebas Narkotika
Ia menambahkan bahwa ada mindset yang berkembang di masyarakat dan sulit dihilangkan, yaitu fungsi hukum sebagai sarana balas dendam.
“Ada perspektif bahwa hukum digunakan untuk efek balas dendam atau an eye for an eye. Mereka yang berpikir seperti itu beranggapan bahwa jika seseorang menghilangkan nyawa orang lain, dia tidak perlu dibela hak asasinya. Dari situ saja (terlihat bahwa) pemahaman soal hukum berbeda-beda,” katanya.
Terkait anggota DPR yang tersandera politik elektoral, Erasmus mengatakan bahwa sebuah negara bisa saja menerapkan kebijakan tidak populer.
“Banyak kebijakan yang sebenarnya unpopular yang diambil oleh pemerintah di dunia dan masyarakat end up enggak punya pilihan kalau pemerintah membuktikan pilihan itu tepat,” ujarnya.
“Contohnya, ketika pemerintah Belanda menghapuskan hukuman mati pada tahun 1870, masyarakatnya terpecah. Sampai saat ini masyarakat Belanda terpecah soal hukuman mati,” tambahnya.
Untuk dapat menghapus hukuman mati, Charles berpendapat perlu adanya perubahan mindset masyarakat meskipun sulit.
“Kadang masyarakat memang sulit diajak berargumentasi secara rasional. Misalnya, ketika saya menyuarakan penolakan terhadap hukuman mati, mereka ‘memvonis’ saya (dengan kata-kata), ‘Oh, ini pasti menolak hukuman mati karena mau korupsi. Koruptor itu harus dihukum mati’,” katanya.
“Hal ini menjadi tugas kita bersama baik politisi, masyarakat sipil, tokoh masyarakat, dan tokoh agama untuk terus mengedukasi publik tentang mengapa kita ingin menghapus hukuman mati di Indonesia. Argumentasinya jelas, yaitu tidak adanya efek jera.”
Comments