Women Lead Pendidikan Seks
June 04, 2020

Wajah Paradoks Islam di Tengah Pandemi

Sebagian orang menerima wabah sebagai takdir tak terelakkan dan memilih berserah, sementara lainnya memilih berikhtiar untuk mengatasi hal tersebut.

by Achmad Munjid
Issues
Share:

Di tengah hantaman pandemi COVID-19, agama tampil dengan dua wajah yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, karena sifat agama yang tak terpisahkan dari ikatan komunitas dan tindakan berkerumun, di tengah wabah, kegiatan keagamaan kerap menjadi medium penularan penyakit. Doktrin teologis yang kaku juga kerap mendorong penganut agama untuk bertabrakan dengan prinsip-prinsip medis. Agama pun menjadi bagian dari masalah.

Kasus gereja Shincheonji di Korea Selatan; sinagog Young Israel di New Rochelle, Amerika Serikat; dan Jama’ah Tabligh di India adalah contoh populer bagaimana komunitas agama menjadi pusat penyebaran virus corona.

Di sisi lain, ketika beragam tekanan mengimpit dari segala penjuru dan kematian datang mengendap-endap amat dekat, agama meringankan beban para pemeluknya. Lewat doktrin, ritual dan dukungan komunitas, agama menyediakan sumber motivasi dan harapan. Ia menjadi bagian dari solusi.

Di tengah wabah ini mayoritas pemimpin, lembaga, dan komunitas agama di seluruh dunia mengikuti anjuran dan pedoman medis yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dengan mengimbau umat untuk tinggal di rumah dan mempraktikkan pembatasan sosial.

Paradoks agama dalam pandemi ini terlihat lebih kompleks oleh jalinan macam-macam faktor: Ekonomi, politik, struktur sosial, dan tradisi budaya. Kompleksitas ini misalnya muncul tegas dalam fenomena mudik lebaran. Pada fenomena Lebaran dan mudik di tengah wabah, agama merupakan bagian dari masalah dan juga solusi.

Baca juga: Banjir Bukan Urusan Azab, Tapi Adab Terhadap Alam

Paradoks Islam menjelang Lebaran

Meski akhirnya dilarang, diperkirakan jutaan orang tetap nekat mudik lebaran. Kasus COVID-19 pasca-Lebaran pun diperkirakan naik, terutama di Jawa.

Eksodus jutaan manusia dari ibu kota Jakarta sebagai wilayah paling merah ke berbagai pelosok, berdesakan di tempat dan kendaraan umum, lalu sesampai di rumah melepas rindu bersama keluarga, tetangga dan handai-taulan, belanja di pasar dan melakukan mobilitas intensif, membuat mudik menjadi peristiwa penyebaran virus yang amat “sempurna”.

Bagi banyak perantau muslim, bertahan di Jakarta tanpa bekerja, jauh dari keluarga pada saat Lebaran sebagai momen agama-budaya terpenting sepanjang tahun memberikan tekanan ekonomi, psikologis, sosiologis, bahkan teologis yang amat berat.

Jika momentum setahun sekali untuk menghapus salah, melebur dosa, dan silaturahmi gembira bersama sanak-keluarga sebagai peluang menaruh beban sementara itu tak ada, bagaimana mereka akan memperoleh kekuatan baru untuk menghadapi kerasnya kehidupan ibu kota di hari-hari selanjutnya? Apalagi dalam masa ketidakpastian seperti sekarang. Itulah sebabnya, meski dilarang, sebagian orang nekat mencuri-curi pulang kampung dan menempuh segala risiko. Bukankah ratusan nyawa juga selalu melayang akibat kecelakaan di jalan ketika mudik?

Baca juga: 6 Hal yang Saya Suka dari Ramadan di Tengah Pandemi

Orang-orang yang nekat mudik ini mungkin menggunakan keyakinan teologis yang jamak ditemui di berbagai komunitas agama, yaitu wabah adalah azab bagi orang kafir dan karenanya kaum beriman selalu dilindungi Tuhan. Di Indonesia, sebagian muslim sempat percaya bahwa air wudu bisa menangkal COVID-19.

Di sisi lain, dalam ketidakpastian krisis, agama menjadi sumber kekuatan batin dan memberi orientasi makna serta mendorong pengikutnya supaya berikhtiar maksimal menghindari wabah. Islam, misalnya, mengajarkan bahwa perjuangan menyelamatkan nyawa seperti dilakukan para tenaga medis adalah jihad dan mereka yang meninggal karena wabah dianggap mati syahid, sesuai hadis Nabi.

Selain itu, lembaga, pemuka dan komunitas agama Islam punya peran sangat besar dalam penanggulangan wabah ini. Berkat imbauan efektif Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, dan organisasi Islam lainnya, mayoritas umat Islam tetap beribadah di rumah, termasuk salat tarawih dan Idul Fitri. Itu adalah bukti keterbukaan agama terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kecilnya persentase pemudik tahun ini mustahil tanpa peran aktif komunitas agama. Banyak aktor, lembaga dan kelompok-kelompok Islam bekerja keras mengumpulkan dana hingga ratusan milyar untuk disumbangkan kepada para korban wabah. Mereka juga giat memobilisasi tenaga medis untuk menolong para pasien COVID-19 di garis depan.

Wajah yang lebih adaptif

Dengan mengikuti catatan ahli agama dari Amerika Serikat Michael Dols, kita tahu bahwa dua wajah paradoks umat Islam dalam menghadapi wabah sudah terlihat sejak abad pertengahan.

Mazhab pertama memahami wabah sebagai ketentuan teologis, takdir yang tak bisa ditolak. Umat Islam harus memperbanyak doa, amal, bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan dalam keadaan ini. Mazhab kedua memahami wabah sebagai kenyataan empiris yang menuntut ikhtiar untuk mengatasinya.

Baca juga: Warisan, Kekuatan Sedekah, dan Kita

Sambil mendekatkan diri kepada Tuhan, umat Islam wajib melakukan upaya maksimal untuk mencari keselamatan. Dari sinilah lahir sosok seperti Ibnu Sina yang masyhur memiliki keahlian dalam penanggulangan wabah. Meski mazhab ikhtiar terus meraih kemajuan, mazhab takdir tak pernah benar-benar hilang.

Sikap orang Islam hari ini dalam menghadapi wabah tak bisa dipisahkan dari memori kolektif yang mereka warisi dalam bentuk dua pemahaman tersebut.

Di depan krisis akibat wabah, dua wajah paradoks agama memang muncul lebih tegas. Betapa pun, akhirnya versi yang lebih adaptif terhadap perubahan akan memiliki daya tahan lebih besar. Dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang makin menjadi paradigma kehidupan sehari-hari, wajah agama yang lebih adaptif terhadap keduanyalah yang akan diikuti banyak orang. COVID-19 telah memaksa banyak aspek kehidupan berubah secara radikal, termasuk kehidupan beragama.

Sebagai guncangan hebat, krisis ini bisa dilihat sebagai momentum transformasi. Dalam kehidupan beragama, ia bisa menjadi peluang untuk reformasi dan mempromosikan doktrin yang lebih terbuka, membantu berbagai lembaga menjadi responsif dan komunitas yang lebih adaptif terhadap tuntutan alam modern.

Dengan begitu, agama tetap relevan sebagai pedoman moral dan orientasi makna bagi para pemeluknya sehingga mereka pun bisa terus berkontribusi dan memainkan peran sentral di tengah pusaran perubahan zaman yang sering terlihat membingungkan, terlebih di tengah wabah.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Achmad Munjid adalah asisten profesor Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Gadjah Mada.