Women Lead Pendidikan Seks
August 23, 2021

Yang Lebih Penting dari ‘Childfree’: Hargai Pilihan Masing-Masing

‘Childfree’ bukan sekadar gaya-gayaan demi terlihat ‘edgy’, perempuan punya alasan. Demikian pula yang memilih punya anak. Ini cara meresponsnya dengan santai.

by Mansurni Abadi
Lifestyle
cara menjalani childfree
Share:

Alih-alih mencurigai sebagai agenda depopulasi ala konspirasi wahyudi, mamarika, atau freemesen, saya yakin ketika figur publik menyatakan pilihannya jadi childfree, ada harapan agar publik +62 sedikit teredukasi. Edukasi yang saya maksud adalah agar kita setop mengukur standar keberhasilan pernikahan hanya dari punya anak atau tidak.

Saya tahu, masalah momongan seringkali jadi sumber tekanan batin bagi mereka yang belum memilikinya, baik karena situasi khusus atau memang memilih childfree. Dalam konteks ini, masyarakat hobi bertanya dengan tendensi mengacak-acak privasi. Tak cuma childfree, tapi juga menanyakan agama, fisik, bahkan urusan dapur dan rumah tangga.

Jika jawaban yang disodorkan adalah sengaja memilih childfree, maka kebanyakan masyarakat akan memandang ini sebagai keputusan tak wajar, aneh, mengada-ngada. Sebabnya sekali lagi karena mereka meyakini, urusan memiliki anak tetap jadi tropi keberhasilan secara biologis, ketakwaan secara agama, kekuatan secara ekonomi, bahkan perbaikan secara sosial, meskipun hasilnya belum tentu seideal ini.

Baca juga: Hormati Gita Savitri, Perempuan Memang Bebas Pilih Punya Anak atau Tidak

Anggapan masyarakat ini memang seharusnya berubah, tapi bukan berarti  hak bertanya perihal momongan itu dengan mudahnya kita anggap salah. Apalagi dianggap hal yang tidak pantas. Pasalnya, belum semua masyarakat kita paham pentingnya menjaga jarak dan tidak mengusik privasi orang lain lewat sebuah pertanyaan.

Buat saya, kita harus terbiasa sepakat pada titik temu bernama “pilihan” ketika kita melontarkan pertanyaan. Titik. Selama urusan itu berada dalam ruang privat yang tidak melanggar hukum, menghargai (pilihan) tersebut adalah suatu keharusan. Karena itu pula, kita harus terbiasa mendengar alasan-alasan ketimbang langsung menarik kesimpulan kemudian melabelinya dengan terma menyimpang, sesat, dan sejenisnya.

Bagi para penganut childfree pun demikian. Jangan menganggap mereka yang memilih punya anak sebagai kesalahan. Alih-alih menyalahkan meromantisasi pilihan masing-masing, cobalah fokus pada usaha-usaha mengedukasi demi melepaskan anggapan kalau perempuan identik dengan pabrik anak. Pun, daripada merasa paling edgy, paling benar sendiri, sebaiknya tugas-tugas mengingatkan publik perihal kesiapan yang tidak mesti sama pada setiap pasangan, baik secara mental, emosional, finansial lah yang perlu ditekankan.

Baca juga: Investasi 3 Miliar dan Salah Fokus dalam Diskursus Soal Punya Anak

Bersikap ekstrem dengan pilihan masing-masing, akan menjegal terbangunnya dialog yang sehat, antara mereka yang memilih memiliki anak maupun sebaliknya. Dalam kondisi ini, orang rentan terjebak dalam pemikiran-pemikiran keliru. Contohnya, mereka yang kukuh punya anak, yakin bahwa anak banyak akan membuka pintu rejeki. Padahal faktanya, tanpa kondisi finansial memadai, sulit membayangkan anak bisa menambah cuan bapak dan ibunya.

Ironisnya anak-anak mereka dipaksa untuk ikut serta meromantisasi keadaan yang susah itu. Apalagi ada yang menganggap anak sebagai investasi, sehingga harus bersyukur telah dilahirkan, lalu sibuk mengabaikan kemerdekaan anak yang bersangkutan. Belum lagi dengan anggapan bahwa memiliki anak pada usia muda akan lebih mudah dalam mengasuhnya karena usia yang tak terpaut jauh. Padahal anggapan ini justru rentan melegitimasi pernikahan muda atau pernikahan anak.

Baca juga: Salah Sendiri Punya Anak: Derita Orang Tua di Era Pandemi

Sudah seharusnya kita santai terhadap pilihan masing-masing, kenapa? Karena bersikap santai membuat kita bisa lebih menghargai pilihan masing-masing orang. Jadi cobalah sebisa mungkin untuk menghargai pilihan orang lain dan tidak menginvalidasi pilihan orang itu.

Lalu cara santainya bagaimana? Sederhana saja, kembalikan semuanya pada konsep hak asasi manusia yang didalamnya menjamin hak reproduksi sekaligus hak untuk memilih dalam hidupnya. Reproduksi harus kita akui sebagai kebutuhan biologis, akan jadi keliru ketika itu tak diimbangi dengan perencanaan matang bahkan mengabaikan kebebasan orang lain.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis. 

Mansurni Abadi adalah Ketua Divisi Intelektual PPI Universitas Kebangsaan Malaysia