Women Lead Pendidikan Seks
July 02, 2021

Yuni Shara, Pelintiran Media, dan Perkara Pendidikan Seks Remaja

Opini Yuni Shara soal anak yang menonton film porno viral dan ramai-ramai dipelintir media.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Lifestyle
Sex Education talk Children Parenting 4 Thumbnail, Magdalene
Share:

Belum lama ini, penyanyi Yuni Shara ramai diperbincangkan publik lantaran sepotong pendapatnya yang ditafsir keliru oleh sejumlah media daring, termasuk media-media dari luar negeri. Saat mengetik "Yuni Shara" sekarang, dengan gampang di halaman pertama Google kita akan menemukan headline seperti “Heboh Pengakuan Yuni Shara Nonton Film Dewasa Bareng Anak…”, “Soal Kabar Dampingi Anak Nonton Film Dewasa…”, atau “Viral Yuni Shara: Betah Menjanda, Punya Alat Bantu di Rumah, Hingga Isu Temani Anak Nonton Film Hot”. 

Semua pemberitaan itu bermula dari perbincangan Yuni dengan Venna Melinda yang diunggah di akun YouTube Venna Melinda Channel berjudul “Seperti Apa Suami Idaman Yuni Shara??” yang dirilis perdana 19 Juni lalu. 

Ketika saya mencoba menyimak video berdurasi satu jam lebih tersebut pada 2 Juli, saya tidak menemukan potongan pendapat Yuni seputar pendidikan seksualitas untuk anaknya yang memicu pemberitaan dengan judul-judul macam tadi. Baru saya ketahui selanjutnya melalui kolom komentar, bagian yang jadi viral tersebut tampaknya telah dihapus oleh si empunya kanal YouTube.

Namun, apa yang telah terunggah di internet, tinggal lama (atau selamanya) di sana. Dengan mudah saya mendapatkan cuplikan bagian video yang menampilkan pendapat Yuni Shara soal anak-anaknya ketika menonton film porno (atau “film dewasa” dalam bahasa Venna) dari sebuah akun gosip di platform yang sama.

Di satu unggahan akun YouTube @INFO ae--yang berpelanggan 47 ribuan--(27/6) misalnya, saya mendapati percakapan Yuni dan Venna serta selingan suara narator sebagai berikut.

Narator: …mereka membahas tentang pendapatnya mengenai anak-anak dan film dewasa. Yuni mengatakan bahwa dirinya tidak ingin menjadi sosok orang tua yang kolot dan berpikiran terbuka. Apalagi kakak Krisdayanti itu tak menampik saat ini ada beragam macam konten dewasa yang bisa disaksikan anak-anak…  

Yuni: …nggak mungkinlah anak-anak kita enggak nonton film ini. Nggak mungkin.

Venna: Film dewasa maksudnya.

Yuni: Ya misalnya film porno, ada lah.. mau yang jenis anime, mau yang jenis apa segala macam, akan ada…

Narator: Ia pun menyebutkan sangat jarang bagi anak yang beranjak remaja tidak terekspos film ataupun konten dewasa saat ini. [lalu mengopi ucapan Yuni sebelumnya soal ‘nggak mungkin anak-anak tidak nonton…’]

Yuni: Jadi, mendingan daripada gini-gini, kita jadi teman aja. ‘Gimana nonton ini”, misalnya kayak gitu. 

Narator: Ia pun memilih untuk menemani anak-anaknya Cavin OBrient Salomo Siahaan dan Cello Obient Siahaan itu kala menyaksikan film dewasa. ‘Jadi, mendingan daripada gini-gini, kita jadi teman aja. Gimana nonton kayak gini, asyik ya?’ ‘Bunda jangan gini-gini’ [kata anaknya], ‘Aduh, biasa aja, bro. Aku gitu’ ungkap Yuni Shara

Venna: Oooh…jadi cara ngomongnya sampai gitu, ‘bro’?

Yuni: Oh, iya…aku gitu…jadi anak-anak sesantai itu..

Narator: Menurutnya pembelajaran seks sejak dini sangat penting saat ini. Apalagi dirinya sadar dirinya tidak bisa 24 jam penuh menemani atau menjaga anaknya tersebut. Sebelumnya Yuni Shara juga terbuka soal kehidupan seksnya dalam tayangan YouTube bersama Deddy Corbuzier [cuplikan cover YouTube bertajuk “Yuni Shara Tak Pernah Orgasme”]….  

Sumber foto: YouTube/VennaMelinda

Baca juga: Pendidikan Seks di Usia Dini Bisa Cegah Kekerasan Seksual pada Anak

Pelintir Fakta Dahulu, Muat Klarifikasi Kemudian

Dari salah satu contoh transkrip konten YouTube yang saya tuliskan tadi saja, kita bisa melihat apa yang dikatakan Yuni versus apa yang disebutkan narator. Jadi teman dengan menemani anak dalam konteks menonton film porno adalah dua hal berbeda. Wajar bila kemudian Yuni marah kepada media-media tak bertanggung jawab, khususnya media daring, yang melakukan framing dengan menyalahtafsirkan ucapannya dalam pemberitaan mereka yang viral. 

Dalam unggahan Instagram Story-nya, @yunishara36, pelantun “Mengapa Tiada Maaf” tersebut menyatakan: “KARENA MASIH BLOM BERHENTI JUGA BIKIN JUDUL SEMBARANGAN, SAYA ULANGI LAGI… SALAM…. Kepada rekan-rekan media --khususnya media daring yang saya hormati. Terima kasih atas apresiasinya terhadap obrolan saya di channel YouTubenya @vennamelindareal. Tapi rasanya kurang elok apabila kalian membuat judul HANYA memikirkan sesuatu yang BOMBASTIS, SENSASIONAL, tanpa memikirkan impact-nya ke masyarakat dan pembaca media kalian, sehingga saya dan anak-anak saya juga merasa terganggu dengan opini kalian sendiri tentang obrolan saya dengan Venna, yang menggiring publik seperti yang kalian mau? Tidak ada salahnya semua juga tanya ke @vennamelindareal sebagai host atau yang interview saya. Apakah beliau punya pemahaman sama seperti yang kalian tulis? Apa ada kata-kata saya seperti yang Anda jadikan judul-judul di media Anda. Dan apakah semudah itu mengkopi obrolan media lain seolah-olah menjadi wawancara khusus dengan kalian? Sebelum sesudahnya saya ingin mengucapkan terimakasih, jikalau dengan judul yang Anda tulis membuat Anda happy. Salam saya, Yuni Shara.”

Pada unggahan di feed Instagramnya (1/7), Yuni mengambil tangkapan layar pemberitaan di Detik.com yang menulis judul “Yuni Shara ‘Temani’ Anak Nonton Porno Demi Edukasi Seks, Tepatkah?”. Unggahan ini diiringi caption yang petikannya berisi: “‘Tidak mungkin dan tidak pernah saya mengatakan menemanin anak saya nonton film orang dewasa... Rasanya saya masih waras alias durung gendheng rek ??!!’ Sampeyan semua mungkin bisa merasakan saya sebagai ibu, terutama para penulis-penulis yang perempuan.”

Yang menggelikannya bagi saya, media-media yang memuat klarifikasi Yuni ini adalah media-media yang jelas dituju Yuni dalam “hardikannya” melalui Instagram Story yang saya tulis ulang di atas. Salah satu media yang melakukan ini adalah media yang sama yang membuat berita sebelumnya yang berjudul “Yuni Shara Temani Anak Nonton Film Porno, Ini Alasannya”.

Di satu sisi menggelikan, di sisi lain mengerikan. Pasalnya, media, yang seyogianya mempromosikan nilai-nilai literasi dan kekritisan dalam melihat suatu fenomena atau kejadian, justru demi profit dan clickbait. Mereka menghalalkan cara apa pun, termasuk dengan menulis judul menyesatkan tak sesuai fakta, membuat audiens salah tangkap dan bereaksi dan berprasangka buruk terhadap Yuni. Sampai-sampai, muncul reaksi pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang cenderung ‘menjewer’ Yuni: meminta para orang tua berhati-hati dalam mendirik anak dan harus memperhatikan etika perlindungan anak… meskipun menemani anak saat nonton film dewasa, tindakan ini [Yuni Shara] tidak bisa dibenarkan. 

Wow. Bisaan sekali ya, para jurnalis ini menggiring opini, tidak hanya publik awam, tetapi juga pihak berotoritas macam KPAI.

Mengerikan sekali, orang-orang yang punya akses, yang konon jadi watchdog di masyarakat, justru jadi pembakar mercon yang begitu melemparnya langsung ngacir, dan kembali dengan mercon baru. Yang penting heboh, traffic naik. Masalah etika dan empati nomor buncit, perhatian audiens yang jelas digiring ke persepsi buruk terhadap seseorang nomor wahid. 

Tentu tidak semua media seperti itu. Tapi dengan maraknya pemberitaan pencari sensasi semata tanpa memperhatikan efek besarnya ke pihak yang diberitakan, semakin kabur pandangan saya menangkap sisa-sisa yang masih mempertahankan integritas dan kredibilitas. Serupa dengan kasus video intim GA dulu, yang walaupun tidak apple to apple tetapi masih beririsan seputar seksualitas, dampak buruknya tidak hanya ke GA, tapi pasti juga ke anaknya, cepat atau lambat.  

Baca juga: Benarkah Pendidikan Seksual Hanya Bicara Soal Seks

Pendidikan Seksualitas Remaja yang Ideal

Seiring dengan viralnya berita miring soal Yuni Shara ini, muncul beragam artikel tentang pendidikan seksualitas yang memuat opini berbagai pakar, seperti dari KPAI yang saya sebutkan tadi. 

Soal ini, tentu ada beragam pandangan. Satu di antaranya saya lihat dari unggahan Instagram Story kawan saya Yori (@celoteh.yori), seorang psikolog yang berfokus pada isu relasi dan seksualitas. 

Dalam hal pendidikan seksualitas dan perkara ‘menemani’ anak menonton porno, Yori menyatakan bahwa perlu diperjelas dahulu, apakah orang tua sengaja memperlihatkan porno kepada anak atau menemani nonton karena memergoki si anak sedang menonton. Dua hal ini sangat berbeda karena menurut Yori, memperlihatkan film porno kepada remaja yang belum pernah menonton atau tidak siap itu salah. 

Sama dengan pandangan Yori yang mengutamakan keterbukaan orang tua (yang sebenarnya juga sudah ditunjukkan dari opini Yuni), saya merasa kekakuan dalam memandang seksualitas, yang datang dari minimnya literasi orang tua berkat budaya ‘tabu seks’, mesti dienyahkan. 

“Orang tua bisa tanya tuh [tanpa judgement] ya kenapa anak bisa tanya soal itu [hal terkait pornografi]? Awalnya kepikiran dari mana. Kalau orang tua pinter-pinter bertanya sama anak, maka anak akan bisa terbuka untuk menceritakan pengalamannya menonton film porno, bahkan bisa jadi anak berani mengaksesnya di depan orang tua untuk bertanya lebih lanjut.” kata Yori.

Ia menambahkan, tentu saja, orang tua bisa mengambil peluang bagus untuk mengajarkan pendidikan seksualitas sesuai dengan perkembangan anak.

Ini yang patut digarisbawahi: Sesuai perkembangan anak. Tidak mungkinlah, membicarakan soal aktivitas penetrasi dengan gamblang ke anak balita saat dia bertanya dari mana bayi berasal. Begitu pula dengan sikap Yuni, yang mengambil posisi sebagai teman, bukan menemani anak (sejauh yang saya simak dari petikan wawancaranya), ketika anak-anaknya menginjak remaja.

Saya paham betul di posisi Yuni maupun anaknya. Merefleksikan pengalaman sendiri, saya pernah dihardik saat kecil ketika bertanya ke Mama arti satu kata yang saya temukan di komik Kariage Kun: “mesum”. Tak mendapat penjelasan dengan ramah, saya pun mencari tahu lewat kamus arti kata itu. 

Yuni realistis saat  bilang “nggak mungkin anak nggak melihat porno” karena saya pun demikian terlepas dari pengawasan orang tua saya. Justru karena merasa orang tua tidak terbuka dan menghakimilah (plus minim pengetahuan dan kemampuan menyampaikan pendidikan seksualitas), anak makin penasaran dan mencari tahu lewat jalan belakang alias konten porno. Akibatnya lebih buruk: Anak punya persepsi keliru tentang hubungan seks dan seksualitas secara umum, karena patokannya adalah film-film porno yang tidak realistis, yang abusive dan eksploitatif dan ini yang sering luput mereka sadari.

Baca juga: Pentingnya Membentuk Keluarga Berperspektif ‘Sex Positive’

Anak tak boleh terpapar konten porno karena dampaknya buruk memang argumen valid yang didukung berbagai riset. Tapi kesaklekan dalam memegang pandangan ini akan menyusahkan begitu orang tua mendapati anaknya kadung menonton porno dan bepersepsi selayaknya representasi porno yang disimaknya. Tidak ada tombol undo atau unlearn dalam realitas sehingga banyak orang tua yang jadi panik, bereaksi negatif pada anak, dan membuat konflik relasi setelahnya. Itu bahayanya pemikiran bak kanebo kering orang tua terkait pendidikan seksualitas.

Yori lalu membahas, bagaimana kalau anak sudah telanjur mempraktikkan [hubungan seks]? “Nah, ini balik lagi ke value keluarga masing-masing, tapi kebanyakan keluarga di Indo memegang value tentang abstinence [tidak berhubungan seksual sebelum menikah,” kata dia. 

Ini menarik bagi saya. Menjunjung sikap menjaga “keperawanan” sebelum menikah yang banyak ditekankan masyarakat Indonesia tentu saya hargai. Namun di lain sisi, kita juga tidak boleh berkacamata kuda saat melihat riset yang memberi pandangan alternatif. 

Memang sih, riset-riset soal pendidikan seksualitas yang salah satunya saya singgung berikut asalnya dari Barat dan bisa ada bias juga. Tapi setidaknya, izinkan saya menyampaikan hasil temuan satu riset yang dimuat di American Journal of Nursing (2012): di AS, yang sebagian negara bagiannya menetapkan pendekatan pendidikan abstinence-only dan melarang informasi soal kontrasepsi atau hubungan seks aman, ditemukan bahwa pendekatan macam itu gagal mencegah kehamilan pada remaja. Bahkan, itu berkorelasi positif dengan peningkatan kehamilan dan persalinan remaja.

Temuan riset ini kembali ke apa yang saya bilang, semakin ditekan, anak semakin penasaran. Minimnya pengetahuan, mengantarkan mereka ke kesesatan. Alih-alih, memblokade akses pengetahuan anak ke informasi yang tepat dari pihak otoritatif, kita justru sebaiknya terbuka soal fakta yang ada, tentu dalam koridor kemampuan kognitif anak pada usia tertentu.

Lebih menarik lagi, Anne Teitelman, asisten profesor Keperawatan dari University of Pennsylvania merespons riset tadi dengan berkata, “berbicara pada remaja soal seks dan kontrasepsi, tidak akan serta merta mendorong mereka berhubungan seksual, dan akan berujung pada berkurangnya kemungkinan anak muda mengalami kehamilan tidak diinginkan atau infeksi menular seksual.”

Jadi intinya, saya berada di pihak pro Yuni dalam hal sikapnya sebagai orang tua mendidik dua anak laki-laki sendirian. Pendekatan hierarkal dan satu arah bukanlah hal ideal dalam mendidik anak saat ini. Layaknya pasir, semakin digenggam akan semakin jatuh dan buyar. Anak lazimnya akan jadi lebih pintar dan update dari orang tuanya, dan sepatutnya kepintarannya itu tidak membawanya ke belokan-belokan menuju jurang lantaran ketiadaan komunikasi hangat dan pendekatan pertemanan dengan orang tua.

 

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop