Aksi yang kemudian dikenal dengan nama “Tragedi Semanggi” itu berubah menjadi duka ketika aparat melakukan penembakan terhadap para demonstran. Di Universitas Atmajaya beberapa mahasiswa tewas, salah satunya Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan.
Tewasnya Wawan dan aktivis lainnya menimbulkan duka bagi para keluarga korban, namun tragedi tersebut telah menyalakan api perjuangan untuk keadilan dan menjadi salah satu aksi kampanye hak asasi manusia yang paling lama dalam sejarah Indonesia.
Sejak 18 Januari 2007, mereka berkumpul di seberang Istana Presiden untuk menyuarakan keadilan bagi kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Maria Katarina Sumarsih, 65, yang akrab dipanggil Sumarsih, masih mengingat peristiwa yang mengubah hidupnya itu. Jumat sore, 13 November 1998, Sumarsih, suaminya, adiknya, dan adik iparnya bergegas menuju Rumah Sakit Jakarta setelah mendapatkan kabar tertembaknya Wawan. Sesampainya di sana, Sumarsih diarahkan untuk menuju lantai dasar dan dia mendapati sang anak yang telah berada di keranda terbuka.
Dalam duka, ia hanya ingin membawa pulang putranya, namun Kepala Bagian Penyidik Pomdam Jaya, Wempi Hapan, menyarankan agar sang anak diotopsi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sumarsih sempat menyatakan ketidaksetujuannya atas saran itu. Akan tetapi, setelah mendapatkan penjelasan bahwa otopsi hanyalah sebuah “operasi kecil”, akhirnya dia pun setuju.
Karena demonstrasi dan penembakan masih berlangsung, perjalanan ke RSCM tidak berjalan lancar. “Supir yang mengemudikan ambulans berkali-kali memberikan aba-aba, ‘Tundukkan kepala, tundukkan kepala, mobil kita ditembaki’,” katanya sambil mengenang insiden itu. Setelah otopsi selesai, dokter memberitahukan bahwa Wawan ditembak dengan peluru tajam standar TNI.
Tragedi itu menyisakan duka yang mendalam. Perempuan kelahiran Semarang ini bercerita bahwa setelah kematian anaknya, dia tidak makan selama beberapa hari. Kondisi psikologis juga sempat tidak memungkinkannya bekerja; dia cuti selama tiga bulan dari tempatnya bekerja di Sekretariat DPR-RI. Bahkan sampai saat ini ia masih kehilangan selera untuk makan nasi. Namun ada sebuah kebiasaan yang hingga saat ini masih dijalani oleh Sumarsih, yaitu menyiapkan piring lengkap dengan sendok, garpu, dan gelas di meja untuk Wawan, seolah ia akan hadir untuk bersama menyantap makanan.
Setelah kepergian Wawan, Sumarsih terus berusaha mencari keadilan. Pada awal Januari 2007, dia dan para anggota keluarga korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban Untuk Keadilan (JSKK) sepakat untuk mengadakan sebuah kegiatan berupa “aksi diam” setiap hari Kamis pukul 16.00-17.00 yang kemudian dikenal sebagai “Aksi Kamisan”.
Kamisan terinspirasi dari aksi yang dilakukan oleh ibu-ibu Argentina di Plaza De Mayo, lapangan di seberang Istana Presiden Argentina, untuk menuntut pengusutan kasus penghilangan paksa yang menimpa anak anak dan suami mereka pada masa pemerintahan diktator militer Jorge Videla.
Dalam perjalanannya, aksi ini tidak hanya diikuti oleh keluarga yang kerabatnya dibunuh oleh aparat negara pada masa Reformasi namun juga korban pelanggaran HAM lainnya seperti korban penggusuran sewenang wenang, kelompok agama minoritas, dan kelompok LGBT. Setiap pekannya, aksi ini rata-rata diikuti oleh 70-an orang, masing-masing orang membawa payung hitam, menuntut keadilan.
“Payung melambangkan perlindungan,” katanya, dengan menambahkan bahwa Istana menjadi tempat yang dipilih karena simbol kekuasaan.
“Apabila kita tidak mendapatkan perlindungan dari negara, kita akan mendapatkannya dari Tuhan. Apabila kita tidak mendapatkan keadilan di dunia ini, kita akan mendapatkannya dari Tuhan.”
Hitam merepresentasikan cinta kasihnya yang kekal untuk Wawan: “Saya mencintai Wawan walaupun ia telah meninggal dunia. Cinta kasih saya pada Wawan juga adalah cinta kasih saya pada korban lainnya. Duka cita kami sudah bertransformasi menjadi keberanian untuk menegakkan hukum dan hak asasi manusia.”
Aksi Kamisan pun menarik perhatian banyak orang. Tak sedikit pihak pihak yang memberikan bantuan dalam bentuk materi. Salah satu organisasi non pemerintah secara rutin memberikan uang transportasi kepada para keluarga korban. Selain itu, kadang ada juga orang yang bersimpati dengan menyumbangkan makanan dan minuman.
Namun ada pula yang mengkritik.
“Seorang wartawan menanyakan pada kami mengapa kami mengizinkan korban 1965 ikut dalam aksi Kamisan,” kata Sumarsih. Tahun 1965 adalah tahun dimulainya tindak genosidal simpatisan komunis oleh negara, yang telah menyebabkan kematian ribuan orang Indonesia.
“Saya menjelaskan pada wartawan tersebut bahwa Kamisan tidak ada kaitannya dengan ideologi. Ini murni tentang kemanusiaan.”
Keluarga Sumarsih sendiri sangat mendukung upaya ini. Suami Sumarsih, Arief Priyadi, adalah seorang akademisi di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan sebelum aksi Kamisan dimulai, ia telah aktif terlibat dalam advokasi untuk korban penembakan, walau saat ini pekerjaannya menghalanginya untuk ikut dalam aksi.
Selama penyelenggaraan Aksi Kamisan, para korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam JSKK baru satu kali diterima oleh presiden, tepatnya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 26 Maret 2008. Sumarsih pun ikut serta pada pertemuan itu dan menyampaikan aspirasinya.
Menyampaikan aspirasi bukanlah hal mudah, terlebih lagi, sejak 5 November lalu, polisi mulai mengusir para peserta aksi Kamisan yang biasa berdiri di seberang Istana. Beberapa kali peserta aksi mencoba berdialog dengan polisi dan akhirnya mereka tetap diizinkan berdiri di seberang istana.
Pada 7 Januari lalu, kejadian yang sama pun terulang. “Segera setelah kami membuka payung, polisi langsung merangsek dari kanan, kiri, dan belakang. Lalu ada aba-aba agar peserta aksi diangkut, meskipun akhirnya polisi tidak melakukannya.”
Sebenarnya ia berharap akan dibawa ke kantor polisi. Setidaknya di sana tuntutan mereka akan didengar oleh pejabat polisi, yang mudah-mudahan bisa disampaikan kepada Presiden. Polisi memiliki alasan untuk membubarkan mereka, katanya. Menurut Undang-Undang No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, penyelenggaraan unjuk rasa harus diadakan dalam jarak minimal 100 meter dari pagar Istana.
“Kalau masalah melanggar peraturan, saya memang melanggar peraturan yang mengatakan bahwa demonstrasi dilakukan dalam jarak setidaknya 100 meter dari pagar Istana. Namun negara juga melanggar peraturan dengan membunuh anak saya,” jelasnya pada polisi.
Meski melalui banyak tantangan dan hambatan, Sumarsih tetap tidak gentar.
“Terkadang saya merasa pesimis akan perjuangan kami, karena untuk terus melakukannya sangatlah melelahkan. Namun, saya menggantungkan harapan saya pada Jokowi, sebab ia telah berkomitmen untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM dan mengakhiri impunitas,” tuturnya, merujuk perkataan Presiden Joko Widodo.
“Dalam pidatonya pada 10 Desember 2015, President mengatakan bahwa dibutuhkan keberanian, terobosan dan perbaikan untuk melakukan rekonsiliasi atau mengambil langkah yudisial dan non-yudisial. Inilah yang masih memberi saya harapan,” tambahnya.
Silahkan baca versi bahasa Inggris dari tulisan ini.
Foto oleh Wulan Kusuma Wardhani dan Olin Monteiro.
Baca artikel Wulan tentang gadis-gadis pengungsi dari Afganistan yang menemukan kesenangan dalam futsal.
Comments