Women Lead Pendidikan Seks
January 05, 2021

3 Alasan Kenapa Selalu Dukung Pasangan Itu Tidak Baik

Penelitian menunjukkan bahwa punya pasangan yang selalu berempati dan mendukung kita setiap waktu tidak selalu baik.

by Edward Lemay dan Michele Gelfand
Lifestyle
Relasi_Setara_Healthy_Relationship_Kesetaraan_Gender_KarinaTungari
Share:

Mendukung pasangan dalam berbagai situasi dianggap banyak orang sebagai sikap ideal yang perlu diterapkan setiap saat. Tetapi, apakah benar demikian?

Bayangkan kalau kamu berdebat sengit dengan teman kantor, lalu kamu curhat ke pasangan soal itu. Pasangan kamu dapat memilih untuk bereaksi melalui satu dari dua cara: Mereka dapat meyakinkan kamu bahwa kamu benar, bahwa teman kantor kamu salah dan kamu berhak untuk kesal. Atau pasangan kamu bisa memberikan dorongan untuk melihat konflik tersebut secara objektif. Mereka dapat menunjukkan alasan mengapa teman kantormu mungkin tidak bisa dipersalahkan juga.

Manakah dari respons ini yang lebih kamu sukai? Apakah kamu lebih menginginkan pasangan yang akan selalu mendukungmu, atau yang berperan sebagai devil’s advocate? Manakah yang lebih baik untuk kamu dalam jangka panjang?

Dalam penelitian terbaru, kami ingin menyelidiki bentuk dan dampak dinamika hubungan yang umum ini.

Seperti sebagian besar orang, kita mungkin menginginkan pasangan yang mendukung kita. Kita semua cenderung menginginkan pasangan yang berempati dan mengerti kita, peduli akan kebutuhan kita, dan memvalidasi pandangan kita.

Baca juga: Jangan Mau Dicetak Sesuai Keinginan Pacar

Sifat-sifat ini—yang disebut oleh peneliti hubungan sebagai respons antar-pribadi—dipandang sebagai unsur utama dalam hubungan yang kuat. Penelitian telah mengidentifikasikan kaitan antara memiliki pasangan yang responsif dan menjadi bahagia serta stabil.

Namun, punya pasangan yang berempati tidak selalu merupakan hal yang baik—terutama ketika menyangkut konflik Anda dan orang lain di luar hubungan suami-istri. Berikut ini alasan-alasannya.

  1. Mendorong Kita Menghindari Sumber Konflik, Bukan Menghadapinya

Ketika kita berdebat dengan seseorang, kita cenderung meminimalkan peran kita dalam perselisihan dan melebih-lebihkan kesalahan yang dilakukan oleh lawan kita. Hal ini dapat memperburuk konflik.

Setelah terlibat dalam perselisihan, kita biasanya berpaling ke pasangan kita untuk berkeluh kesah (curhat) dan mencari dukungan.

Dalam penelitian kami, kami menemukan bahwa pasangan yang berempati dan perhatian lebih cenderung untuk setuju terhadap pandangan negatif orang yang mereka cintai terhadap musuh mereka dan menyalahkan lawannya atas konflik tersebut.

Kami juga menemukan bahwa orang yang memiliki pasangan dengan tanggapan seperti ini ternyata jauh lebih termotivasi untuk menghindari lawan mereka, cenderung melihat mereka buruk dan tidak bermoral, dan kurang tertarik pada rekonsiliasi. Bahkan, 56 persen dari mereka yang telah menerima empati jenis ini dilaporkan menghindari lawan mereka, yang dapat membahayakan resolusi konflik dan sering kali berakhir dengan pemutusan hubungan.

Di sisi lain, di antara partisipan yang tidak menerima dukungan seperti ini dari pasangan mereka, hanya 19 persen yang menghindari lawan mereka.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.
  1. Membuat Kita Semakin Benci Orang Lain

Empati yang diterima dari pasangan juga berkaitan dengan eskalasi konflik: Setelah pasangan memihak kepada mereka, sebanyak 20 persen dari partisipan ingin melihat lawan mereka “terluka dan sengsara,” dibandingkan dengan 6 persen lainnya yang tidak menerima dukungan semacam ini. Selain itu, 41 persen yang menerima respons empati mencoba untuk hidup seolah-olah lawan mereka tidak ada, dibandingkan dengan 15 persen yang tidak menerima dukungan seperti itu.

  1. Terus-terusan Curhat, Konflik Makin Parah

Dinamika ini semakin mendalam dari waktu ke waktu. Walaupun respons pasangan memuaskan mereka, orang-orang yang didukung pasangannya jadi tidak terdorong untuk menyelesaikan perselisihan. Akibatnya, mereka terus curhat kepada pasangan sehingga peluang konflik menjadi parah semakin besar. Orang-orang tampaknya mencari pasangan yang justru membuat konflik mereka semakin buruk dari waktu ke waktu.

Baca juga: Tindakan Romantis Tak Melulu Seperti di Film, Saatnya Definisi Ulang

Apa pelajaran yang bisa diambil?

Kita sering kali menginginkan pasangan yang membuat kita merasa dipahami, diperhatikan dan divalidasi. Ini wajar saja jika ingin orang yang kita cintai untuk merasa didukung.

Namun, respons yang menenangkan dan memvalidasi tidak selalu yang terbaik dalam kepentingan jangka panjang kita. Sama seperti mendahulukan pemuasan emosional langsung di atas pemenuhan tujuan jangka panjang yang bisa merugikan, ada kelemahan ketika pasangan kita memprioritaskan untuk membuat kita merasa baik pada saat itu daripada membantu kita menghadapi sulitnya masalah hidup melalui perspektif yang rasional dan tidak bias.

Mereka yang ingin lebih mendukung kesejahteraan jangka panjang orang tercinta secara lebih baik mungkin dapat mempertimbangkan untuk pertama-tama menyediakan empati dan kesempatan untuk curhat. Lalu mereka beralih ke tugas yang lebih sulit, yaitu membantu pasangan untuk berpikir secara objektif tentang konflik mereka dan mengakui bahwa, dalam banyak konflik, kedua belah pihak sama-sama memiliki kesalahan, dan mencoba melihat situasi tersebut dari sudut pandang yang jauh berbeda.

Kenyataan dapat menyakitkan. Namun terkadang, orang yang objektif dan tidak memihak adalah yang paling kita butuhkan.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.

Edward Lemay adalah Associate Professor bidang Psychology, University of Maryland. Michele Gelfand adalah Distinguished University Professor, Department of Psychology, University of Maryland.