Kecuali akademisi, aktivis, dan orang-orang lain yang tertarik mendalami gerakan perempuan di Indonesia, tidak banyak yang tahu soal sejarah gerakan perempuan di negara ini. Beberapa narasi gerakan, terutama yang terkait dengan peristiwa 1965, bahkan sengaja dihilangkan oleh penguasa.
Aktivis perempuan Nursyahbani Katjasungkana, dan salah satu pendiri Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), menjabarkan soal empat fase sejarah gerakan perempuan di Indonesia.
Fase-fase tersebut adalah era Kartini hingga era kemerdekaan pada 1945; periode pasca-kemerdekaan hingga tahun 1965; era Orde Baru hingga 1998; dan tahun 1998 hingga sekarang.
Di dalam fase awal pada tahun 1900-an, pikiran-pikiran R.A. Kartini, terutama himbauan dari tiga bersaudara Kartini dalam koran De Locomotief di Semarang, memberikan pengaruh besar pada lahirnya organisasi perempuan atau gerakan perempuan di Indonesia.
“Tiga bersaudara Kartini ini memberikan himbauan pada para pejuang kemerdekaan dan organisasi-organisasi kemasyarakatan, termasuk organisasi perempuan untuk membentuk organisasi yang modern,” ujar Nursyahbani dalam forum bertajuk “Peta Pemikiran dan Gerakan Perempuan Indonesia” yang diadakan lembaga Reducates, November lalu.
Sebelum kemunculan Kartini pada akhir abad 19, sudah ada para perempuan di kalangan bangsawan yang giat berusaha memajukan perempuan, tetapi masih terbatas pada lingkungan kecil mereka. Sukanti Suryochondro dalam bukunya, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia mengungkapkan bahwa emansipasi perempuan di kalangan raja Jawa misalnya, mula-mulanya tampak di lingkungan Keraton Pakualaman di Yogyakarta.
Baca juga: 'Nyanyian Sunyi Kembang Genjer' Upaya Generasi Muda Pertanyakan Sejarah
Pelopor-pelopor emansipasi perempuan ketika itu menyoroti masalah pendidikan bagi kaum mereka. Para pelopor tersebut, termasuk Kartini kemudian, menyadari bahwa pendidikan akan meningkatkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan perempuan yang berguna bagi kemajuan masyarakat.
Kartini mencoba membuka akses pendidikan bagi perempuan dengan membuka sekolah di rumahnya sendiri. Di tempat lain dengan semangat yang sama, ada Dewi Sartika yang pada tahun 1904 mengepalai sekolah di Bandung, dan Maria Walanda Maramis yang pada tahun 1918 mendirikan sekolah rumah tangga Indonesia pertama di Manado.
Sukanti dalam buku yang sama juga mengatakan bahwa walaupun sudah banyak tokoh-tokoh penggerak perjuangan perempuan di Indonesia, lambat laun dirasakan bahwa tidak cukup bagi perempuan untuk berjalan sendiri-sendiri. Inisiatif untuk membentuk organisasi perempuan pun muncul kemudian demi mewujudkan kesamaan hak perempuan dan laki-laki.
Atas prakarsa Boedi Oetomo pada tahun 1912, didirikanlah organisasi perempuan pertama di Jakarta bernama Poetri Mardika. Dalam upaya pemberdayaan perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan, organisasi ini melakukan kampanye dengan menerbitkan surat kabar Poetri Mardika pada tahun 1914. Media ini melakukan banyak kampanye pemberdayaan perempuan melalui pendidikan dan pengajaran.
Setelah itu mulailah bermunculan organisasi-organisasi perempuan seperti Pawijitan Wanita di Magelang (1915), Aisiyah di Yogyakarta (1917), Wanita Susilo di Pemalang (1918), dan lain-lain. Sukanti berpendapat bahwa umumnya, semua organisasi perempuan ini memiliki tujuan yang sama, yaitu membentuk tali persaudaraan demi memajukan harkat martabat perempuan, memberi kesempatan lebih banyak bagi perempuan memperoleh pendidikan, dan mendorong penghapusan ketidakadilan bagi perempuan dalam keluarga dan masyarakat.
Kongres Perempuan
Pergerakan perempuan pun berkembang pesat, terutama pada tahun 1930-an. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan Kongres Perempuan pertama di Indonesia pada tahun 1928 di Yogyakarta. Kongres tersebut menghasilkan poin-poin penting isu perjuangan perempuan Indonesia, di antaranya pelibatan perempuan dalam pembangunan bangsa, pemberantasan buta huruf dan kesetaraan dalam hak memperoleh pendidikan, hak-hak perempuan dalam perkawinan, pelarangan perkawinan anak, dan upaya menghancurkan ketimpangan dalam kesejahteraan sosial melalui perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita.
“Para perempuan berkumpul dalam satu kongres yang mana isu-isu yang dibicarakan luas sekali. Mulai dari perkawinan anak, pendidikan, hak politik, hingga perdagangan perempuan, dan lain-lain. Isu-isu ini semua mereka gali dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri ketika itu,” kata Nursyahbani.
Dalam kongres ini pula, Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI), organisasi payung perempuan Indonesia, berubah nama menjadi Perserikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPPI).
Baca juga: Feminisme Dekolonial dan Upaya Menampilkan Perjuangan Perempuan
Perkembangan organisasi perempuan mulai surut pada masa pendudukan Jepang tahun 1942. Hal ini dikarenakan semua organisasi perempuan dilarang kecuali Fujinkai, sebuah organisasi bentukan Jepang ini beranggotakan istri pegawai negeri. Kegiatan yang dilakukan oleh Fujinkai yaitu kegiatan sosial seperti pemberantasan buta huruf. Meski kegiatan ini terbilang positif, motivasi pendirian Fujinkai jauh dari perjuangan perempuan karena organisasi ini dibangun semata-mata untuk mendukung kemenangan Jepang.
Pasca-kemerdekaan hingga tahun 1965, berbagai organisasi perempuan mulai menggeliat kembali. Hal ini bisa dilihat dari terbentuknya organisasi-organisasi perempuan seperti Gerakan Wanita Sedar (GERWIS) yang berdiri pada tahun 1950. Dua tahun kemudian, organisasi ini berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI).
Sejak awal berdirinya, GERWANI banyak melakukan kegiatan-kegiatan untuk peningkatan kesadaran kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Namun pada momen kongres perempuan ketiga, GERWANI mulai memperlihatkan keberpihakan politiknya.
Dalam tulisan Akhiriyati Sundari di Jurnal Perempuan (2016), disebutkan bahwa pergeseran lokus pergerakan GERWANI tampak pada isu yang disuarakan, dari semula persoalan-persoalan dalam gerakan feminisme seperti masalah perkawinan, menjadi masalah sosial. Untuk itu, GERWANI memfokuskan diri pada cara memimpin gerakan yang lebih luas, membangun gerakan massa sebagaimana semangat Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lebih mengutamakan perwujudan sistem sosialisme lebih dulu sebelum bicara masalah spesifik tentang urusan perempuan. Walau demikian, kampanye anti-kekerasan seksual dan perkawinan paksa tetap GERWANI lakukan, diselingi dengan sosialisasi program-progran organisasi.
Perjuangan hendaknya tidak memecah belah. Gerakan-gerakan perempuan perlu mengusung agenda politik bersama untuk mencapai kesetaraan gender, dan saling belajar dari pengalaman ketertindasan masing-masing demi mencapai keadilan.
Orde Baru Pukul Mundur Gerakan Perempuan
Memasuki masa Orde Baru, gerakan perempuan dipukul mundur, diawali dengan penghancuran GERWANI melalui kampanye surat kabar militer milik pemerintah antara 10 Oktober 1965-12 Oktober 1965. Kampanye ini menggaungkan satu narasi bahwa GERWANI bertanggung jawab atas pembunuhan tujuh orang jenderal di Lubang Buaya, Jakarta. Melalui kampanye ini, secara bertahap dan pasti GERWANI sebagai organisasi massa perempuan diberangus oleh rezim Orde Baru dan para aktivisnya ditangkap, dibuang ataupun dibunuh hingga tahun 1968.
“Pada era Orde Baru, terdapat kontrol pusat negara. Kebijakan-kebijakan Orde Baru yang dikenal dengan state ibuism atau ibuisme negara seperti dikemukakan oleh Julia Suryakusuma menekankan pada fungsi ibu dan istri. Ini bisa dibaca dari kebijakan seperti UU Perkawinan atau program KB yang fokus pada perempuan, atau organisasi perempuan seperti Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi. Bahkan, Panca Dharma Wanita dan PKK masuk di dalam Repelita II,” ujar Nursyahbani.
Melalui ideologi ini, organisasi-organisasi perempuan yang ada menjalankan perannya untuk melanggengkan kuasa pemerintah atas seksualitas perempuan, dan membingkai kewajiban perempuan adalah sebagai pendamping suami dan ibu yang senantiasa mengerjakan urusan-urusan domestiknya.
Fase terakhir, yakni pasca-reformasi 1998 hingga sekarang, disebut Nursyahbani sebagai momen ketika gerakan perempuan berjuang melawan menguatnya paham konservatisme agama, seksisme dan oligarki dalam kehidupan politik dan ekonomi, serta diskriminasi gender dalam masyarakat. Perjuangan melawan konservatisme agama di Indonesia menjadi salah satu PR besar bagi gerakan perempuan karena konservatisme agama menghambat perempuan dalam mendapatkan hak-hak mereka.
Baca juga: Sejarah Perempuan dan Bulan Maret
Hal ini dapat terlihat dari kenyataan bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak kunjung disahkan seiring beredarnya rumor-rumor RUU ini bertentangan dengan nilai moral dan agama di Indonesia. Padahal, tren kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dan belum ada payung hukum spesifik yang melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Catatan Akhir Tahun Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan, selama kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen.
Tidak hanya itu, pengusulan RUU Ketahanan Keluarga menjadi catatan buruk pemerintah Indonesia yang tidak dapat membendung derasnya arus konservatisme agama. RUU ini kembali menumbuhkan benih ideologi ibuisme negara sebagaimana masa Orde Baru, dengan menekankan kembali peran domestik perempuan.
Di tengah perjuangan perempuan di Indonesia, Nursyahbani mengatakan bahwa mencari titik temu atau affinity politics di antara organisasi-organisasi pergerakan perempuan sangat dibutuhkan saat ini.
“Ini penting dalam membuat agenda bersama dalam menghapus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, serta pencapaian keadilan dan kesetaraan gender untuk keadilan sosial seluruh masyarakat,” kata Nursyahbani.
“Tidak hanya demi membuat agenda bersama dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas, mencari titik temu juga bertujuan agar fokus perjuangan perempuan tidak pecah karena agenda partai atau pilihan politik.”
Comments