Beberapa hari ini, lini masa Twitter saya diramaikan dengan makian laki-laki heteroseksual terhadap idola laki-laki Korea Selatan. Salah satu yang paling menjadi perhatian warganet adalah cuitan dari Jerinx, vokalis dan drummer dari band Superman is Dead. Berawal dari cuitan tentang privilese orang-orang yang ganteng dan cantik berujung pada cuitan berisi hinaan terhadap artis laki-laki Korean pop (K-Pop).
Jerinx mengatakan bahwa artis laki-laki Korea hanya mementingkan penampilan yang cantik ketimbang mengajarkan untuk berpikir kritis. Ia menambahkan bahwa industri K-Pop hanya membuat penggemarnya bodoh dan abai terhadap masalah sosial. Di kolom reply, cuitan Jerinx banyak diamini oleh laki-laki, dan dengan menggebu-gebu mereka ikut menghina dengan makian klasik seperti laki-laki plastik, laki-laki kok cantik, dan seterusnya.
Sebelumnya, seniman Sujiwo Tejo juga mengunggah cuitan tentang kerinduannya terhadap vokal macho dari musisi laki-laki. Lagi-lagi di kolom reply banyak sekali laki-laki yang mengamini cuitannya dan menghubungkan dengan suara penyanyi K-Pop laki-laki yang vokalnya tinggi dan feminin.
Harus kita akui, ekosistem industri hiburan Korea memang bersifat toksik. Namun para artis laki-laki Korea ini berhasil memunculkan standar maskulinitas baru, dan hal ini membuat para laki-laki heteroseksual Neanderthal seperti panik sendiri.
Saya perhatikan ada sejumlah argumen yang berulang-ulang digaungkan laki-laki untuk membenci artis laki-laki Korea. Berikut alasannya dan mengapa menurut saya argumen tersebut enggak valid.
-
Tidak peduli dengan isu sosial
Di dalam cuitannya, Jerinx mengatakan bahwa artis laki-laki Korea tidak memiliki kepekaan terhadap isu sosial yang berada di sekitarnya. Bruh, argumen ini mudah sekali untuk dipatahkan. Salah satunya adalah, banyak idola K-Pop yang sudah angkat suara soal isu kesehatan mental, meskipun hal itu masih tabu dibicarakan dalam masyarakat Korea Selatan.
Beberapa penyanyi Korea juga sangat peduli terhadap isu perundungan, salah satunya boyband Bangtan Boys (BTS). Di tahun 2017, mereka bekerja sama dengan Badan Dana Anak-Anak PBB (UNICEF) dan meluncurkan Love My Self, sebuah kampanye untuk mempromosikan penghentian kekerasan terhadap anak-anak muda, dan mengajari mereka untuk mencintai diri sendiri.
Di dalam kampanye tersebut, masyarakat dapat berpartisipasi dengan cara berdonasi dan mengikuti kampanye daring dengan tagar #BTSLovemyself. Hingga November 2019 lalu, total donasi mencapai 2,45 miliar won atau sekitar Rp28 miliar. Donasi ini digunakan untuk membantu anak-anak korban perundungan di sekolah, kekerasan di rumah, dan kekerasan seksual, di seluruh dunia.
Baca juga: Industri K-Pop Memang Toksik, Tapi Kritik Terhadapnya Suka Salah Sasaran
-
Bodoh dan tidak berpendidikan
Alasan ini sering saya lihat berkeliaran di kolom komentar pembenci idola Korea, padahal sejumlah artis K-Pop mengecap jenjang pendidikan tinggi dan lulusan universitas ternama.
Walaupun passionate di musik, salah satu anggota grup musik Epik High, Tablo, tetap menyelesaikan pendidikan masternya di Stanford University jurusan Sastra Inggris dan Penulisan Kreatif. Selain Tablo, Shim Changmin dari boyband TVXQ juga membuktikan kalau di sela-sela kesibukan sebagai bintang K-Pop, ia mampu menyelesaikan dua gelar dalam jurusan Musik Pascamodern di Kyunghee University. Setelah lulus dari Kyunghee, Changmin kembali mengenyam pendidikan di Konkuk University dan mengambil jurusan Seni dan Perfilman. Tidak cukup sampai di situ, Changmin memutuskan untuk mengambil gelar master dan juga Doktor dari Inha University dan lulus pada 2014 lalu.
Artis-artis lain mungkin tidak punya latar belakang akademis yang tinggi, tapi cukup artikulatif dan intelijen. Bodoh mah masalah universal sih, enggak cuma di industri K-Pop.
-
Modal ganteng tapi berfisik lemah
Artis-artis cowok K-Pop memang tampilannya banyak yang feminin dan badannya tipis, tapi enggak berarti fisiknya lemah juga sih. Jadi idola K-Pop itu sulitnya minta ampun dan harus melalui pelatihan fisik yang ngalah-ngalahin tentara.
Ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh calon idol ini untuk masuk dalam industri K-Pop. Mereka harus audisi, lalu ikut pelatihan menyanyi, menari dan lain-lainnya selama dua sampai empat tahun. Kalau fisik mereka lemah, sudah tentu bakal gugur di tengah jalan sebagai trainee.
Selain itu, walaupun sudah jadi bintang K-Pop, mereka tetap menjalani masa wajib militer selama kurang lebih dua tahun.
Baca juga: Menjadi ‘Fangirl Oppa’ dan Tetap Berdaya: ‘Mission Possible’!
-
Membodohi kelompok perempuan
Di dalam cuitannya, Jerinx mengatakan bahwa kultur K-Pop hanya menjadi sarana pembodohan kelompok perempuan dan membuat mereka abai dengan isu sosial. Ini argumen yang bikin paling ketawa, sih.
Ketika Kim Jonghyun salah satu anggota boyband Shinee meninggal dunia, salah satu penggemar asal Indonesia membuka donasi atas nama Jonghyun untuk disalurkan ke Palestina. Hal ini dilakukan menyusul unggahan seorang hater yang mengatakan bahwa penggemar K-Pop lebih peduli terhadap kematian idola plastik, ketimbang kematian anak-anak di Palestina. Donasi tersebut akhirnya mencapai target 466 Juta rupiah dan disalurkan lewat Aksi Cepat Tanggap.
Tidak sampai di situ, penggemar boyband BTOB juga pernah membuka donasi untuk penderita kanker dalam rangka ulang tahun salah satu anggota BTOB bernama Changsub. Donasi yang terkumpul mencapai Rp5 juta dan disumbangkan ke Yayasan Kanker Anak.
-
Menunjukkan afeksi ke sesama jenis adalah auto gay
“Ih, laki-laki kok nangis, peluk-pelukan. Homo banget sih,”
Kalimat tersebut juga sering dilontarkan laki-laki pembenci idola laki-laki K-Pop. Sebagai penggemar oppa (abang) K-Pop, kami sangat senang jika oppa-oppa kami memperlihatkan afeksi ke satu sama lain, mulai dari memeluk, membetulkan rambut yang berantakan, hingga mencium pipi. Mereka pun juga tidak malu dalam mengekspresikan perasaan mereka apalagi ketika sedang bersedih.
Hal ini sayangnya masih dipandang negatif dan dilabeli gay oleh laki-laki lain. Di dalam masyarakat, laki-laki memang dilarang menampakkan emosinya sama sekali karena menurut masyarakat itu tidak mencerminkan laki-laki sesungguhnya.
Padahal dampaknya sangat negatif terhadap kesehatan mental laki-laki. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2016 menunjukkan, kasus bunuh diri di dunia mencapai 793 ribu kasus, dan korban terbanyak adalah laki-laki. Hal ini diakibatkan karena sistem patriarkal yang membuat laki-laki harus selalu di posisi teratas dan tidak menampakkan emosinya.
Lagipula, kalau memang gay, terus kenapa?
Illustrasi oleh Karina Tungari
Comments