Setiap Hari Kartini tanggal 21 April, biasanya timbul perdebatan soal kepeloporan Kartini sebagai pahlawan nasional dan tokoh emansipasi perempuan. Banyak pihak yang seolah berusaha mengerdilkan perjuangan Kartini. Katanya, gagasan yang ia tawarkan lewat surat-surat dengan sahabat penanya Estella Zeehandelaas, terlalu konseptual, tidak cocok dengan sejarah bangsa Indonesia yang lahir dari otot-otot para pejuangnya. Sehingga yang lebih cocok dirayakan tiap tahunnya adalah Cut Nyak Dien atau Martha Tiahahu.
Selain menunjukkan bahwa orang masih melihat sejarah perempuan dari sisi maskulin, perdebatan itu juga memperlihatkan bahwa banyak yang kurang paham dengan gagasan-gagasan yang hendak Kartini sampaikan. Sebagai remaja perempuan, Kartini menuangkan keresahannya ke dalam tulisan perihal kungkungan adat, agama, gaya hidup, pendidikan, peradaban, dan ketimpangan. Hampir semua permasalahan yang kita bicarakan sekarang ini sudah dipikirkan Kartini sejak dua abad silam.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer melihat dengan jelas kedalaman pikiran Kartini yang melampaui zamannya. Pola pikir yang merangkum berbagai cita-cita Kartini pun akhirnya dijadikan sebagai percontohan karakter perempuan progresif dalam novelnya Anak Semua Bangsa dan Panggil Aku Kartini Saja.
Setelah saya khatam membaca surat-surat Kartini, saya lihat pola pikir yang dibangun oleh Kartini tidak pernah usang dan masih terus relevan. Dia bukan hanya berkoar tentang persamaan kedudukan tanpa memandang gender, lebih dari itu Kartini mencoba membangun konsep kemanusiaan dan toleransi.
Saat ini, 116 tahun setelah kepergian Kartini, perempuan (dan bangsa ini) bukannya semakin terbebaskan ke arah kemajuan. Gerakan yang hendak merumahkan perempuan atas nama keagamaan justru menjamur. Jika dulu Kartini takut dipoligami, sekarang poligami justru gencar dikampanyekan. Jika dulu ia melakukan segala cara untuk menghindari pernikahan, sekarang pernikahan dianggap tujuan utama perempuan. Jika Kartini hidup kembali mungkin akan ada raut kesedihan atau murka di wajahnya.
Maka dari itu, patut kita renungkan kembali beberapa buah pikiran Kartini yang masih terus relevan sampai sekarang.
Baca juga: Kartini, Nasionalis yang Terlupakan
1. Pendidikan tinggi untuk perempuan
… memberi kesempatan kepada anak bangsa Jawa laki-laki dan perempuan, untuk mencari kepandaian agar mereka mampu membawa tanah air dan bangsanya ke arah perkembangan jiwa, ke arah kecerdasan pikiran serta kemakmuran dan kesejahteraan”.
Kartini yang hidup dalam kungkungan adat tidak punya hak istimewa seperti kita dalam pendidikan. Pada umur 12 tahun ia sudah dipingit dan berhenti sekolah. Sehingga dalam suratnya, ia banyak mengkritik tentang pendidikan bagi perempuan Jawa yang lebih yang lebih setara.
Sayangnya, di zaman sekarang, masih saja ada pemikiran bahwa “perempuan enggak usah sekolah tinggi-tinggi, nanti enggak ada yang mau!”
2. Pernikahan anak
Laporan Badan PBB untuk Dana Anak-anak (UNICEF) pada 2016 menunjukkan bahwa 457.600 perempuan usia 20-24 tahun di Indonesia sudah menikah sebelum berusia 15 tahun, menempatkan Indonesia di posisi ketujuh negara-negara dengan kasus perkawinan anak terbanyak di dunia.
Perkawinan anak sampai sekarang masih marak, padahal Kartini sudah sangat vokal mengkritisi hal ini. Dia sudah dipingit sejak usia 12 tahun. Kemudian dia minta dispensasi kepada ayahnya sebagai bentuk penolakan terhadap pernikahan paksa, meski hanya bertahan sampai enam tahun. Ia kemudian menikah di usia 19 tahun.
Dalam suratnya kepada Stella, Kartini seolah ingin menyampaikan bahwa dirinya merasa amat menderita karena tradisi pingitan dan kebebasannya yang bergantung pada suami:
“Ketahuilah bahwa adat negeri kami melarang keras gadis ke luar rumah. Ketika saya sudah berumur dua belas tahun, lalu saya ditahan di rumah, saya dikurung di dalam rumah seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh keluar ke dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami.”
3. Nasionalisme sempit bukan yang dicita-citakannya
Kartini yang gagal belajar di Belanda karena pergolakan politik adalah pribadi yang sangat tertarik pada ilmu pengetahuan. Baginya, untuk menjadi seorang nasionalis tidak harus membenci mereka yang lebih maju dalam peradaban, apalagi jika kita bisa belajar darinya.
Dalam suratnya yang lain, Kartini menyatakan bahwa pergi ke Eropa adalah cita-citanya sampai ia tiada. Kartini memaknai nasionalisme sebagai sebuah usaha antara perbaikan nasib lelaki dan perempuan. Dalam suratnya kepada Nellie van Kol, temannya di majalah Hollandse Lelie, Kartini menulis:
“Usaha kami mempunyai dua tujuan, yaitu turut berusaha memajukan bangsa kami dan merintis jalan bagi saudara-saudara perempuan kami menuju keadaan yang lebih baik, yang lebih sepadan dengan martabat manusia...”
Baca juga: Perempuan yang Timbul Tenggelam dalam Narasi Peralihan Rezim
4. Menentang poligami
“Saya putus asa dengan rasa pedih-perih saya puntir-puntir tangan saya jadi satu. Sebagai manusia, saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu, dan yang-aduh, alangkah kejamnya! Dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan: korbannya! Aduh! Saya pikir mungkin pada suatu ketika nasib menimpakan kepada saya suatu siksaan yang kejam, yang bernama poligami itu! Saya tidak mau!"
Meski akhirnya ia harus tetap mengalah dengan menikahi Bupati Rembang, jauh di dalam hatinya Kartini sangat menolak poligami. Menurutnya, poligami adalah kejahatan besar yang dibungkus dengan agama dan disetujui oleh perempuan bodoh. Tulisan dalam suratnya menggambarkan betul Kartini yang dirisak poligami.
Jika Kartini hidup lagi sekarang, dia akan jantungan karena poligami bukan hanya masih eksis tapi juga dikampanyekan.
5. Kartini mengajarkan toleransi beragama
“Jika orang hendak mengajarkan agama juga kepada orang Jawa, ajarlah ia mengenal Tuhan yang Esa, mengenal Bapa pengasih dan penyayang, Bapa semua mahluk, Bapa seorang Kristen, orang Islam, orang Budha, Yahudi dan lain-lain. Ajarlah dia agama yang sebenarnya, yaitu agama yang melekat di rohani sehingga orang dapat memeluk agama itu, baik sebagai orang Kristen maupun sebagai orang Islam dan lain-lain.”
Sekarang ini arus intoleransi makin menjamur serta gerakan hijrah yang seringnya berbuah penghakiman pada dosa orang lain. Padalah pertikaian atas nama agama sudah lama dikecam Kartini. Menurutnya, menjalankan agama itu sebabnya harus berdasarkan hati nurani terlebih dahulu bukan ego. Kartini waktu itu sudah sering mengkritik agama, utamanya pengajaran Al-Quran. Ia percaya bahwa beragama itu harus mengerti konteksnya dulu, bukan hanya percaya apa yang orang lain katakan.
Di suratnya, Kartini juga sempat berkata bahwa ia cukup tertarik dengan teosofi (filsafat keagamaan) yang mengajarkan tentang universalisme.
Comments