1. Benarkah Twitter Bikin Kita Lebih Mudah Marah?
Kamu hobi marah-marah atau sering melihat orang julid, ngamuk, dan baku hantam di Twitter? Jika iya, berarti aku dan kamu punya keresahan yang sama. Rasa-rasanya relatif tak lengkap jika tak ada drama di platform yang baru saja dibeli taipan Elon Musk tersebut. Bahkan, berbagai drama ini sengaja difasilitasi di akun-akun macam @infotwitwor yang diikuti 332.000, juga @AREAJULID yang terverifikasi dan mendapat sejuta pengikut.
Tak cuma akun-akun partikelir seperti di atas, kemarahan dan ke-julid-an itu tampaknya memang sudah melekat pada diri para penggunanya. Dalam konteks terkini misalnya, komentar soal sepatu Docmart saja bisa memicu pertengkaran seru, lengkap dengan sederet meme buatan, guyonan, hingga intimidasi pada akun perempuan. Ada pula drama Safa, perempuan yang ingin dituntut dan panen ancaman pengguna Twitter lain, yang mengaku dirinya aktivis HAM dengan segala koneksinya.
Baca selengkapnya di sini.
2. Digebuk 'Offline', Diintimidasi 'Online': Tak Ada Ruang Aman LGBT di Negara Ini
Deddy Corbuzier, kreator YouTube sohor itu banjir kecaman usai mengunggah podcast yang mengundang pasangan gay – Ragil Mahardika dan suaminya, Fred Vollert, (7/5). Bekas pesulap itu dianggap ikut mengampanyekan dukungan terhadap kelompok LGBTIQ+ (lesbian, gay, bisexual, transgender, intersex, dan queer).
Podcast itu dilaporkan membuat Deddy kehilangan puluhan ribu pengikut kanalnya (subscriber) dalam tiga hari. Ia akhirnya menghapus podcast tersebut dari kanal YouTube miliknya pada 10 Mei 2022, disusul dengan permintaan maaf karena telah menimbulkan kegaduhan.
Kecaman masyarakat di dunia maya pada Ragil dan Fred, serta Deddy, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia umumnya belum mampu menerima keberadaan kelompok gender dan seksualitas minoritas.
Simak artikelnya di sini.
3. Hantu Orba yang Bangkit dalam ‘KKN di Desa Penari’
Mungkin banyak yang benci, tapi impresi yang bilang KKN di Desa Penari terasa seperti film/ sinetron azab, rasanya tak berlebihan. Formulanya sama. Bisa dikupas secara objektif jika melihat pesan moral: “Jangan berbuat yang tidak-tidak di rumah orang lain”, atau “jangan melanggar aturan”, atau “jangan berzina” dalam filmnya. Apalagi jika memperhatikan bagaimana elemen agama dan “yang gaib” hadir dalam jahitan plotnya.
Plot “melanggar aturan (agama)” di sinetron-sinetron azab televisi biasanya dipotret sebagai perilaku jahat yang akan dapat ganjaran. Ganjaran itu berbentuk cara mati yang tak wajar—elemen lain yang juga hadir di KKN di Desa Penari.
Ini artikel lengkapnya.
4. ‘My Liberation Notes’: Drama Realistis tentang Jarak dan Hidup Monoton
Dalam My Liberation Notes kita bertemu, atau lebih tepatnya dipaksa, untuk mengamati tiga bersaudara yang secara sekilas sangat berbeda satu sama lain, tapi sesungguhnya punya benang merah masalah yang sama: Gi-Jeong (Lee El), Chang-Hee (Lee Min-Ki), dan Mi-Jeong (Kim Ji-Won).
Dengan masalah masing-masing yang cukup kompleks, tidak mengherankan jika ketiga saudara ini jarang berbagi cerita, meskipun pulang-pergi Sanpo-Seoul jadi kesamaan mereka setiap hari. Ketiganya terlalu sibuk untuk menyelesaikan masalah mereka masing-masing. Kemudian seorang laki-laki misterius bernama Pak Gu (Son Suk-Ku) tiba-tiba muncul di hidup mereka, dan perlahan jadi katalis dalam perubahan hidup mereka.
Selengkapnya di sini.
5. If I Were a Boy, How Easier My Life Would Be. Here’s Why
I loved Beyonce’s If I Were a Boy that I sang it all the time. I was 15 years old at that time and had never dated, so I was just vibing with the music but did not really understand the lyrics. I just figured it was about the things Beyonce would do if God had made her a boy instead.
Maybe Beyonce was having a bad experience, I thought. Maybe she was upset with her boyfriend who was not treating her right. After listening to the song dozens of times, it even crossed my mind, what’s with the penis envy, Beyonce? It is not that great of a shape.
Just like Beyonce, and millions of other women, I too often imagine how easier my life would be if I were a man. Not just a man, but a cis-hetero-Javanese-muslim man. I’m still privileged, I know, but I’m not gonna lie, it is too suffocating to be a woman sometimes. No, many times. Which is why the scenarios of me being a man cannot escape me from time to time. How? Let me break it down to you, line by line from Ms Knowles herself.
Read the article here.
Comments