Empat tahun belajar di jurusan Sastra Jepang, saya mendapatkan dua mata kuliah khusus kesusastraan dan prosa. Selama itu pula saya menyadari, hampir 90 persen karya sastra yang saya pelajari mayoritas ditulis oleh sastrawan laki-laki. Sementara, sastrawan perempuan tidak mendapatkan perhatian khusus bahkan dalam ruang akademik sekalipun.
Kurangnya atensi sastrawan perempuan dalam dunia sastra Jepang sebenarnya sudah rahasia jamak. Dalam buku “The Woman's Hand: Gender and Theory in Japanese Women's Writing” (1996) dijelaskan, dunia sastra Jepang secara kultural sudah tersegregasi berdasarkan gendernya.
Istilah joryũ sakka (penulis perempuan) atau joryũ bungaku (sastra perempuan) menjadi istilah yang lumrah ditemui di dunia sastra Jepang yang mana dipengaruhi oleh norma sosial masyarakat Jepang mengenai perbedaan gender. Joryũ bungaku merupakan gaya sastra spesifik yang dicirikan oleh narasi sentimental, pengamatan rinci, dan impresionistis. Gaya sastra ini seringkali diremehkan oleh para kritikus walau mendapatkan popularitasnya sendiri di dalam masyarakat Jepang.
Akiyama Shun, kritikus sastra dan anggota Japanese Art Academy dalam esainya pada 1980 "Ima joryũ bungaku to wa nani ka" berpendapat, konsep sastra perempuan pertama kali digunakan dalam sastra Jepang modern untuk melakukan segregasi nyata antara sastra perempuan dan laki-laki. Pemisahan ini dilakukan atas dasar anggapan bahwa perempuan berbeda karakternya dengan level kecerdasan lelaki (chisei). Dalam hal ini pun, akhirnya sastra perempuan ditempatkan berbeda dari para sastrawan laki-laki. Segregasi tersebut merupakan sebuah ironi mengingat novel yang digadang-gadang novel tertua di dunia dan memiliki pengaruh besar di dunia kesusastraan Jepang, “Genji Monogatari” ditulis oleh seorang perempuan, Murasaki Shikibu.
Segregasi sastra ini pun kemudian diperparah dengan kesenjangan terjemahan karya sastrawan perempuan Jepang. Dilansir dari majalah Jepang berbahasa Inggris, Metropolis, dari 2008 hingga 2019, sebanyak 255 novel Jepang diterjemahkan dan hanya 65 di antaranya yang ditulis oleh perempuan.
Ketidakseimbangan dalam terjemahan ini terjadi khususnya dunia penerbitan di Barat karena para pelaku industri belum sepenuhnya mengikuti sejarah dan kehadiran sastrawan perempuan Jepang. Kesenjangan ini pun efeknya dapat dilihat secara nyata dari bagaimana perkenalan awal anak zaman sekarang pada sastra Jepang, yang selalu dimulai dengan para sastrawan laki-laki, termasuk Haruki Murakami.
Padahal sastra Jepang tak sesempit karya Murakami aja kok. Berikut, saya mau mengajak kamu kenalan dengan lima sastrawan perempuan Jepang yang karya-karyanya mampu menggerakkan sekaligus menginspirasi para pembacanya.
Baca Juga: Sastrawan Perempuan Korea Beri Suara untuk Mereka yang Dibungkam
1. Mieko Kawakami
Mieko Kawakami adalah penulis feminis cum sastrawan satu-satunya yang berani “menentang” Haruki Murakami secara langsung. Ia mengatakan, karakter perempuan dalam karyanya hanya eksis untuk memenuhi fungsi seksual karakter laki-laki. Sikapnya yang straightforward ini terlihat sekali dalam tulisannya yang sarat akan sentilan mengenai ketidakadilan gender di Jepang.
“Fokus saya adalah suara-suara yang selama ini tidak akan pernah diangkat ke permukaan dan akan terus dibungkam jika mereka tidak dituliskan dalam kata-kata”, tuturnya dalam wawancara bersama Bangkok Post.
Semangatnya mengangkat suara perempuan ini terlihat dari karyanya yang mendapatkan penghargaan sastra bergengsi di Jepang pada 2008 berjudul “Breasts and Eggs”. Kawakami mengangkat isu seksualitas dan etik reproduksi perempuan melalui eksplorasinya tentang ketidaknyamanan dan kebingungan yang dirasakan perempuan terhadap tubuh mereka sendiri.
Melalui kisah seorang perempuan bernama Makiko yang mulai terobsesi dengan puting dan payudaranya yang kendur, pertanyaan “Apa saja pilihan perempuan setelah mereka menjadi ibu?”, “Mengapa mereka dirantai dalam harapan yang tidak masuk akal atas tubuh mereka sendiri?”, dan “Apa yang membuat mereka menginginkan anak?” menjadi pertanyaan-pertanyaan inti yang akan selalu muncul dalam benak para pembacanya selama menyusuri tiap kata dalam karyanya tersebut.
2. Sawako Ariyoshi
Sawako Ariyoshi adalah sastrawan terkemuka Jepang pada abad ke-20 yang karya-karyanya sampai sekarang masih sangat relevan dengan pengalaman perempuan di masyarakat patriarkal. Keberhasilan monumentalnya di Jepang pasca-perang dibarengi oleh kontroversi yang ia ciptakan. Pasalnya, tema-tema novel-novelnya mampu mempertanyakan ulang norma-norma sosial dalam masyarakat Jepang yang cenderung konservatif. Ia bahkan sampai diberikan julukan Simone de Beauvoir dari Jepang karena keberaniannya mengangkat tema-tema sensitif yang berfokus pada pada nilai-nilai feminis, realisme sosial, dan peran rumah tangga tradisional dalam masyarakat Jepang.
Novel pertamanya yang sukses “Kinokawa” (The River Ki, 1959) mengajak para pembacanya untuk mengikuti perjalanan perempuan dalam tiga generasi pada akhir abad ke-19 dan akhir Perang Dunia Kedua. Hana, putrinya Fumio, dan cucu Hanako adalah protagonis dalam cerita yang menyoroti masalah keluarga tradisional Jepang itu.
Novel lainnya yang tidak kalah menghebohkan adalah “Hanaoka Seishu no tsuma” (The Doctor's Wife, 1966). Novel ini menggambarkan kontrasnya kehidupan laki-laki dan perempuan dalam satu keluarga, peran sosial,dan perjuangan hidup mereka.
Baca Juga: Perempuan Penulis Mencari Ruang Aman di Dunia Sastra yang Maskulin
3. Yuko Tsushima
Yuko Tsushima adalah anak dari salah satu sastrawan Jepang modern paling berpengaruh, Dazai Osamu. Dazai Osamu terkenal melalui karya-karyanya yang “kelam” seputar keputusasaan dan rasa kesepian seorang manusia. Hal yang sama juga coba diangkat oleh Tsushima tetapi melalui narasi perempuan dan pengalaman khas mereka di masyarakat.
Ia mengatakan dalam wawancaranya bersama Chicago Tribune pada 1989, ia tidak pernah menulis tentang perempuan yang bahagia. Menurutnya kesulitan dan keputusasaan memiliki sisi positif karena orang yang tidak bahagia diberi kesempatan untuk menemukan sifat manusia yang sebenarnya. Sementara, orang yang bahagia dapat kehilangan kepekaan yang membuat mereka “miskin”.
Selain mengangkat tema serupa seperti sang Ayah, keduanya juga menulis dalam gaya watakushi shōsetsu, jenis sastra pengakuan orang pertama Jepang di mana insiden fiksi sesuai dengan momen dalam kehidupan penulis, meskipun tidak sepenuhnya. Novel Tsushima yang paling terkenal adalah “Territory of Light” (1979) yang mengisahkan perempuan yang menemukan kembali diri dan lingkungannya setelah berpisah dengan suami dan anaknya.
Karakter yang Tsushima tulis adalah perempuan kelompok marginal di masyarakat Jepang. Berpisah adalah cara bagi karakter perempuannya untuk memiliki kuasa atas pilihan hidupnya sendiri yang selama ini dibatasi dan menciptakan ruang bagi mereka untuk belajar menjadi dirinya sendiri.
Baca Juga: 6 Rekomendasi Novel Feminisme Terbaru
4. Banana Yoshimoto
Banana Yoshimoto adalah sastrawan perempuan Jepang yang namanya mulai dikenal oleh para penikmat sastra di Indonesia. Yoshimoto memiliki cara unik dalam mengeksplorasi cerita dengan semangat filosofis yang mampu menyihir pembacanya dalam pusaran emosi protagonis yang ia tulis. Karyanya-karyanya berpusat pada tema nature of life, yaitu kematian dan cinta. Bukunya “Kitchen” (1988) yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah karyanya yang paling populer dan sarat dengan isu gender.
“Kitchen” mempertanyakan dinamika gender konvensional melalui protagonis utama, Mikage Sakurai, dan kekasihnya, Yuichi Tanabe. Melalui karyanya ini pembaca diajak untuk mempertanyakan ulang mengenai nilai-nilai maskulinitas dan feminitas tradisional. Pun pembaca diajak untuk mempertanyakan bias cisgender dengan menawarkan representasi positif dari keperempuanan melalui tokoh Eriko Tanabe yang merupakan seorang transgender.
Ia menawarkan kontra-narasi yang kuat di mana perempuan adalah karakter yang berdaya, dan perempuan transgender adalah karakter yang paling diberdayakan dari semuanya. Selain “Kitchen”, karyanya yang tidak kalah bagus adalah “Goodbye Tsugumi”. Dalam karya tersebut, Yoshimoto mengeksplorasi konsep cinta persaudaraan antara dua sepupu yang menekankan pada perpisahan yang harus manusia hadapi dalam hidup.
5. Sayaka Murata
Sayaka Murata adalah sastrawan perempuan yang mampu menarasikan cerita mengenai perempuan yang “tidak normal”, menggugat masyarakat yang kerap membelenggu perempuan dalam norma atau nilai-nilai tertentu. Melalui gaya penulisannya yang tidak terlalu serius dan lumayan banyak disisipi oleh humor, Murata adalah sastrawan perempuan yang harus wajib dibaca karyanya mampu membawa pembaca pada sindirannya terhadap masyarakat dengan cara tidak menggurui. Salah satu karyanya yang sudah dapat dibeli di Indonesia “Convenience Store Woman” atau Gadis Minimarket misalnya saja membawa tema besar mengenai feminisme melalui kebahagiaan, tanggung jawab perempuan, individualisme, dan kapitalisme dengan bahasa yang ringan tidak ndakik-ndakik yang dibumbui oleh rasa humor.
Melalui Gadis Minimarket, Murata mengisahkan perempuan bernama Keiko, pekerja di minimarket. Dalam banyak hal, kisah Keiko adalah kritik tajam terhadap masyarakat patriarkal Jepang di mana perempuan memiliki sedikit pilihan dan kendali. Keiko dianggap sebagai perempuan “tidak normal” di masyarakat. Ia sudah berusia 36 tahun, tidak pernah menjalin hubungan romantis, dan masih bekerja di minimarket yang sama dengan yang dia miliki sejak dia berusia 18 tahun. Unsur feminisme dalam novelnya sangat ketal namun tercerminkan secara halus dalam penggambaran Keiko sebagai protagonis independen yang walau terlihat kesepian, sebenarnya ia terbebaskan dari ekspektasi peran gender dan peran sosial masyarakat Jepang.
Comments