Women Lead Pendidikan Seks
October 09, 2020

55 Tahun Impunitas Membawa Mundur Indonesia sejak Tragedi 1965

Indonesia bisa memilih membuka kekejaman yang terjadi pada 1965-66 agar bangsa tidak mengalaminya kembali, atau membantah keterlibatan militer di dalamnya.

by Jess Melvin
Issues // Politics and Society
PKI 11 Thumbnail, Magdalene
Share:

Kini sudah 55 tahun sejak Jenderal Soeharto meluncurkan operasi militer untuk mengambil alih kendali negara menyusul upaya kudeta yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Operasi tersebut dikenal dengan sebutan “Operasi Penumpasan” dan menewaskan hampir satu juta orang warga sipil pada tahun 1965-66.

Sejak aksi pembunuhan massal waktu itu dimulai, pemerintah Indonesia telah menyatakan bahwa kekerasan tersebut terjadi “secara spontan” dan dilakukan oleh “rakyat” yang marah terhadap pengikut komunis yang dianggap bertanggung jawab atas upaya kudeta yang membunuh tujuh perwira militer.

Namun, penelitian saya yang terakhir telah membuktikan bahwa kekerasan tersebut sudah direncanakan oleh pihak militer. Mereka membutuhkan waktu satu tahun untuk merencanakan dan melakukan aksi pembunuhan massal yang terjadi. Rencana tersebut termasuk mengerahkan kelompok sipil bersenjata untuk mendukung operasi tersebut.

Analisis saya atas 3.000 halaman dokumen militer internal rahasia memperkuat hasil penelitian lainnya yang menunjukkan keterlibatan pihak militer Indonesia dalam aksi pembunuhan massal 1965-66.

Walaupun demikian, sampai sekarang belum ada pihak yang diadili karena kasus pembunuhan skala besar ini. Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang telah berjanji untuk memecahkan kasus 1965 sewaktu menjadi calon presiden pada 2014, telah gagal untuk menepati janjinya.

Hari ini, Indonesia belum berdamai dengan sejarah yang kelam tersebut. Pengaruh militer yang menguat pada masa jabatan Jokowi yang kedua meningkatkan risiko Indonesia dalam menghadapi operasi militer yang serupa pada masa depan.

Temuan pada masa lalu

Pada 2010, ketika melakukan riset di Aceh, saya mendapatkan akses untuk menganalisis 3.000 halaman dokumen militer yang menjelaskan secara detail bagaimana pihak militer mengambil alih Indonesia sebelum memulai dan melaksanakan aksi pembunuhan massal 1965-66.

Saya menyebut dokumen militer internal ini sebagai Berkas Genosida Indonesia. Bersama dengan dokumen publik lainnya yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan pemerintah Cina, berkas-berkas ini menunjukkan bukti keterlibatan militer Indonesia pada kasus 1965.

Berkas Genosida Indonesia membuktikan bahwa aksi pembunuhan massal 1965-66 adalah operasi militer terkoordinasi yang terpusat. Dalam operasi tersebut, pihak militer mengerahkan kelompok sipil bersenjata dan pasukan pembantai. Militer juga melakukan pembunuhan tanpa proses hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan. Semua bertujuan agar penduduk mendukung kekuasaan militer.

Baca juga: 'Nyanyian Sunyi Kembang Genjer' Upaya Generasi Muda Pertanyakan Sejarah

Sejak pertengahan 1964, pihak militer sudah berencana untuk mengambil alih pemerintahan. Pimpinan militer semakin khawatir melihat rencana Presiden Sukarno untuk melemahkan kekuatan mereka. Mereka lebih khawatir lagi ketika Sukarno mendukung PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang beranggotakan petani dan buruh yang dipersenjatai.

Dokumen-dokumen dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menunjukkan pimpinan militer menunggu momen untuk kudeta versi mereka yang bisa membenarkan aksi serangan yang sudah direncanakan sebelumnya terhadap PKI.

Momen ini akhirnya terjadi pada 1 Oktober 1965 dini hari. Ketika itu, kelompok kecil yang terdiri dari orang militer yang tidak puas, menyebut diri mereka sebagai Gerakan 30 September (G30S), menculik dan membunuh anggota-anggota utama pimpinan militer. Pihak militer akhirnya menuduh G30S ini sebagai pihak yang merencanakan upaya kudeta terhadap Sukarno. Gerakan 30 September waktu itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan basis massa PKI, tapi pihak militer dengan cepat menuduh PKI sebagai dalang atas penyerangan tersebut.

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, Mayor Jenderal Soeharto mengambil posisi Panglima Angkatan Darat (Pangad) dan menolak untuk mundur ketika Sukarno memintanya. Soeharto juga mempertahankan posisinya sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Berkas Genosida Indonesia juga menunjukkan bahwa Soeharto mengambil alih Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang dibentuk sebagai bagian dari kampanye “Ganyang Malaysia”. Komando tersebut memberi kuasa untuk menyatakan darurat militer tanpa harus mendapat persetujuan dari presiden. Dengan posisinya, Soeharto menyatakan darurat militer di Sumatra pada 1 Oktober.

Penggunaan kelompok sipil bersenjata

Berkas Genosida Indonesia menunjukkan bahwa pihak militer mengerahkan berbagai kelompok sipil bersenjata untuk mendukung aksinya.

Pihak militer memerintahkan anggota dari organisasi-organisasi politik dan pemuda kala itu untuk “membantu” mereka. Organisasi-organisasi ini, termasuk kelompok pelajar Islam, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), Gerakan Pemuda Ansor dan kelompok nasionalis seperti Pemuda Pancasila. Organisasi-organisasi ini didorong oleh militer untuk memburu “komunis”.

Anggota utama dari organisasi-organisasi seperti KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan Komando Aksi selanjutnya digerakkan untuk menjadi pasukan pemburu komunis yang didukung oleh pihak militer.

Pertahanan Sipil alias Hansip dan Pertahanan Rakyat (Hanra) juga digerakkan dan dikoordinasi untuk mendukung militer. Kelompok sipil bersenjata ini juga terlibat dalam aksi penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembunuhan tanpa melalui proses hukum terhadap mereka yang dianggap komunis.

Pengerahan kelompok sipil bersenjata merupakan bagian dari struktur militer Indonesia ketika itu. Struktur militer Indonesia sejalan dengan struktur pemerintahan mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten, dan kecamatan, yang saat ini masih ada. Selain itu, pada era tersebut, ada kelompok sipil bersenjata sebagai bagian dari konsep Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata).

Belajar dari masa lalu

Hingga hari ini, tidak ada pihak yang diminta bertanggung jawab atas aksi pembunuhan massal 1965-66. Sementara itu, pihak korban harus terus-menerus hidup bersama pelaku, diteror hingga bungkam. Janji Jokowi untuk “menyelesaikan” pelanggaran HAM pada masa lalu telah gagal untuk ditepati.

Mungkin hal yang paling mengkhawatirkan, pihak militer pada masa jabatan Jokowi yang kedua justru semakin memperkuat pengaruhnya. Jokowi telah mengangkat beberapa tokoh militer untuk menduduki jabatan penting dalam pemerintahannya. Salah satu di antaranya adalah mantan Jenderal Prabowo Subianto yang menjadi Menteri Pertahanan. Tahun lalu, Prabowo mengusulkan pemerintah untuk menghidupkan kembali konsep Pertahanan Rakyat Semesta.

Baca juga: 5 Hal Seputar Peristiwa 1965 yang Sungkan Kamu Tanyakan

Hingga hari ini, Jokowi belum menunjukkan sikap penolakannya terhadap usulan Prabowo tersebut. Hal ini menunjukkan sinyal kemunduran negara Indonesia sebagai negara demokratis yang telah menghancurkan dominasi militer lebih dari 20 tahun yang lalu.

Pada hari peringatan tragedi 1965, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia menghadapi dua pilihan yang sulit. Indonesia bisa memilih untuk menyelidiki dan membuka kekejaman terjadi pada 1965-66, dengan harapan agar bangsa tidak mengalaminya kembali. Atau, Indonesia bisa memilih untuk kembali membantah keterlibatan militer pada pembunuhan massal 1965-66, dan pada waktu yang bersamaan berusaha menghidupkan kembali aturan yang memungkinkan militer melakukan kejahatan yang sama 55 tahun yang lalu.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Jess Melvin adalah ARC DECRA Fellow, Department of History, University of Sydney