Namun, sore itu, dua orang dengan sengaja membelokkan motornya ke seberang jalan lalu laki-laki yang duduk di boncengan menjulurkan tangannya dan memegang payudara saya. Saya kemudian sadar saya tidak aman. Bahkan ketika pengecut-pengecut itu sudah berlalu hingga beberapa tahun setelahnya, saya masih merasa takut. Saya takut berteriak, saya takut bercerita, saya takut berjalan sendiri. Sampai-sampai, jika saya naik ojek lewat lokasi itu saya sering menengok ke belakang.
Pada awalnya, saya meyakinkan diri bahwa saya pasti bisa melupakan kejadian itu. Saya pasti bisa move on. Jadi saya tidak perlu menceritakan ini kepada siapa pun. Bagaimana kalau ternyata orang lain mengacuhkan saya? Bagaimana kalau mereka menganggap hal itu biasa? Bagaimana kalau mereka malah jijik pada saya? Bagaimana kalau bla bla bla? Jadi saya simpan sajalah sendiri.
Mungkin saya hanya perlu lebih waspada lagi. Oh iya, mungkin pakaian saya perlu lebih longgar lagi! Rambut juga dipotong pendek sajalah. “Kalau saya sangat biasa ini bisa menjadi korban, bagaimana dengan perempuan-perempuan cantik dan terlihat sangat menarik dengan pakaian seksi mereka? Harus bisa lebih menjaga diri, nih.” Ya, bahkan setelah saya mengalami peristiwa itu, saya masih berada di sisi yang salah dalam pertempuran melawan pelecehan seksual. Saya menempatkan posisi saya makin rendah hingga sebuah kejadian yang menimpa seorang teman menjadi titik balik saya.
Saya lalu membuka diri dan menceritakan hal ini kepada kawan-kawan di kampus, juga kepada keluarga di rumah dan kepada pacar. Pacar malah kesal ketika saya tidak cerita lebih awal dan sempat punya pikiran bodoh untuk mengakhiri hubungan kami. Bercerita itu melegakan. Dengan bercerita, saya belajar. Semua yang terjadi bukan salah saya. Begitu juga dengan semua korban pelecehan seksual. Itu tidak pernah menjadi salah kami.
Beberapa kali saya ingin menuliskan hal ini. Saya ingin menceritakan perasaan saya, siapa tahu orang lain bisa belajar. Tetapi satu hal yang saya sadari lagi, bahwa hal itu ternyata sulit. Sulit sekali mengumpulkan keberanian untuk mengingat ulang dan bercerita. Bahkan sekarang, ketika saya sedang menulis sebuah cerita yang terjadi sekitar hampir lima tahun yang lalu, saya masih harus berusaha keras menahan detak jantung yang berdegup kencang dan juga air mata yang mulai menumpuk. Tidak bisa saya bayangkan bagaimana dengan korban yang mengalami pelecehan lebih parah dari saya. Saya perlahan mulai mengerti posisi korban yang ketika dengan beraninya mereka bercerita, orang lain malah menghakimi. Beruntunglah kalian yang bisa memahami tanpa harus menjadi korban dulu.
Rindang Marbun adalah seorang Libra yang sedang belajar merajut dan belajar bahasa Jepang secara online. Bisa ditemui di Twitter @rindangnya.
Comments