Women Lead Pendidikan Seks
June 07, 2020

7 Cara Keluar dari Relasi Toksik di Masa Pandemi

Rasa bersalah, utang budi, serta ketergantungan terhadap pelaku dalam relasi toksik membuat korban sulit memutuskan hubungan.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Safe Space
Toxic Relationship_KarinaTungari
Share:

Idealnya, masing-masing pihak yang terlibat dalam suatu relasi—entah keluarga, pertemanan, romantis, atau kerja—bersikap mendukung satu sama lain, juga berniat untuk saling mendengar dan belajar memahami. Namun, mewujudkan hal ini bukanlah pekerjaan mudah dan tidak sesederhana cerita-cerita FTV.

Perbedaan nilai, cara bersikap, dan perubahan yang terjadi dalam masing-masing pihak jadi alasan klasik mengapa hubungan yang mulanya adem ayem menjadi keruh. Satu sama lain saling tuduh, mengutamakan siapa yang benar dan salah. Alih-alih berdiskusi soal jalan keluar dan berkompromi, yang satu menangis sementara lainnya tidak henti menghardik, mencela, atau meremehkan. Ada pihak yang memar-memar, tetapi pihak satunya berkata itu hal yang wajar.

Sekali dua kali hal-hal tadi terjadi, sebagian orang merasa bahwa itu hal yang lumrah ditemukan dalam berelasi. Mereka masih berharap bahwa hubungan masih dapat diperbaiki, satu sama lain mau mengevaluasi diri hingga akhirnya semuanya berjalan baik-baik saja atau bahkan lebih baik dari sebelumnya. Ada pula yang menumpuk pengalaman bertengkar selama bertahun-tahun dan masih saja merasa itu adalah “bumbu” dalam berelasi sehingga pikiran untuk menyudahi hubungan tidak tebersit di benak mereka.

Budaya untuk selalu guyub, cinta damai, serta musyawarah tidak jarang membuat isu relasi toksik terpendam jauh dari permukaan. Begitu juga dengan rendahnya literasi akan kesehatan mental yang terimbas relasi penuh kekerasan. Selain itu, sekarang, khususnya dalam konteks keluarga, sulit untuk melepaskan diri dari relasi toksik ketika serumah dan ada pembatasan sosial.

Berikut beberapa hal terkait relasi toksik yang perlu kita pahami dan bagaimana cara menyelamatkan diri dari hal tersebut.

  1. Mitos: Relasi toksik selalu pakai kekerasan fisik

Ada anggapan bahwa relasi belum buruk-buruk amat dan perlu kita sudahi jika belum ada kekerasan fisik. Padahal hubungan bisa dikatakan beracun jauh sebelum kita mengalami itu atau bahkan tanpa adanya kekerasan fisik.

Kekerasan bentuknya macam-macam. Seperti halnya kekerasan fisik, kekerasan lain seperti yang berbentuk verbal (ancaman, makian), emosional (menyakiti perasaan pihak lain), sampai ekonomi (batasan untuk mencari nafkah, pemerasan, tidak berbagi beban finansial) pun bisa berdampak sangat destruktif bagi seseorang. Tidak jarang kekerasan nonfisik ini membuat seseorang sulit beraktivitas normal, selalu dihantui kecemasan atau ketakutan, serta persoalan relasional dengan pihak luar yang tidak melakukan kekerasan terhadapnya.

Pelabelan terhadap anak dari orang tua misalnya, bisa membuat anak itu terus merasa rendah diri dan tidak layak mendapat penghargaan atau cinta dari orang lain. Sementara makian dari pasangan, teman, atau keluarga bisa memupuk kebencian, rasa marah, serta bibit depresi. Sejumlah penelitian menyatakan bahwa tidak hanya merusak mental, jika emosi negatif seperti itu terus terakumulasi, fisik pun akan terimbas olehnya sehingga seseorang lebih rentan terkena penyakit serius.

Baca juga: Jerat Orang Tua Toksik dan Sulitnya Anak Menentukan Nasib Sendiri

  1. Identifikasi lingkaran setannya

Relasi toksik berlangsung seperti siklus. Banyak orang yang terjerat di dalamnya mengalami perlakuan buruk dari pasangan/keluarga/teman, lantas tidak lama kemudian situasi relasi mereka membaik seolah tidak pernah terjadi apa-apa, malah pihak lain dalam relasi tersebut bersikap superbaik.

Tidak adanya kesempatan berdiskusi atau berupaya melupakan begitu saja hal tersebut tanpa mengevaluasi sikap masing-masing dan situasi yang terjadi memperkuat lingkaran setan dalam relasi toksik. Apalagi bila pelaku kekerasan terus memakai “senjata” rayuan atau pamrih seperti “aku kan pernah kasi kamu ini itu”, “saya kan pernah bantu kamu sampai kamu berhasil” dan sejenisnya.

Mengingat kebaikan orang lain tentu merupakan nilai yang baik. Namun dalam konteks relasi toksik, hal ini bisa jadi bumerang karena membelenggu seseorang untuk dapat merasakan relasi yang lebih sehat. Sikap baik dari pelaku kekerasan memang patut diapresiasi, tetapi tak bijak rasanya bila kita juga terus bergeming ketika mendapat perlakuan buruk yang berpola dan berulang dari pelaku dengan alasan utang budi atau balas jasa. Bukankah tidak hanya pelaku atau orang lain yang layak mendapat apresiasi dan rasa sayang, tetapi diri kita pun layak mendapat hal yang sama? 

  1. Mustahil mengontrol yang ada di luar dirimu

Satu hal yang kerap terabaikan oleh korban dalam relasi toksik adalah kita tidak dapat mengontrol sesuatu di luar kita, meminta atau bahkan memaksa orang lain untuk berubah sikap, ucapan, pikiran, atau perasaannya. Misalnya ada pertengkaran, lalu kedua pihak berbaikan dan pelaku kekerasan berjanji tidak mengulangi perbuatannya lagi. Tidak pernah ada jaminan bahwa janji tersebut akan penuh ditepati. Mustahil bisa seratus persen memastikan orang berlaku sesuai keinginan atau harapan kita.

Dalam masa pandemi pun, kita tidak bisa mengontrol kapan pembatasan sosial berakhir, sementara di rumah, perlakuan buruk dari keluarga bisa saja makin menjadi-jadi. Yang bisa kita kontrol adalah pilihan tindakan kita, mau bertahan atau berusaha keluar dari sana dengan meminta bantuan pihak lain.

Tidak salah berharap atau kembali mempercayai orang yang sudah melukai kita. Tetapi pilihan tersebut senantiasa bergandengan dengan konsekuensi menerima hal terburuk yang mungkin terjadi. Jika konsekuensinya terlalu menyakitkan untuk kita hadapi, tidakkah sia-sia menaruh harap atau kepercayaan ke pelaku dalam relasi toksik?

Baca juga: ‘Social Distancing’ dengan Orang Tua Toksik Tak Cuma Selama Corona

  1. Jangan pendam sendiri

Berusahalah terbuka kepada satu dua orang saja yang kita percaya dan tidak menghakimi. Ini penting karena barangkali tidak terpikirkan oleh kita bagaimana cara melepaskan diri dari relasi toksik ini. Dengan berbicara kepada mereka, mungkin saja ada saran atau bahkan bantuan untuk melakukan hal tersebut. Misalnya, tawaran “rumah aman” sementara untuk menghindari kekerasan lebih lanjut atau bantuan ekonomi untuk beberapa waktu ke depan selagi membebaskan diri dari relasi toksik di rumah.

Mengontak lembaga bantuan hukum atau konseling juga bisa kita lakukan untuk mendapat pendampingan awal seraya menunggu pandemi berakhir. Beberapa institusi menawarkan layanan online selama masa swakarantina kepada mereka yang terjebak di relasi penuh kekerasan dalam macam-macam konteks.

  1. Langkah tegas, jangan tengok ke belakang

Begitu kita bisa mengidentifikasi perlakuan toksik dari orang lain serta menyadari betapa buruknya diri kita saat menjalin relasi dengannya, kita perlu menghimpun keberanian untuk memutus rantai tersebut. Ini tentu saja tidak mudah dilakukan, apalagi oleh sebagian korban dalam relasi toksik yang punya ketergantungan ekonomi atau keterbatasan akses untuk melindungi diri. Namun langkah tegas tetap perlu direncanakan dan dilakukan jika kita ingin benar-benar bersih dari pengaruh buruk pelaku kekerasan. Entah kapan hal itu dapat terwujud, setidaknya kita berniat dan terus berupaya agar tidak semakin lama menerima kekerasan yang bertubi-tubi dari pelaku.

Menjaga jarak bisa jadi salah satu cara yang dapat diterapkan untuk keluar dari relasi toksik. Dalam beberapa kasus malah ada korban yang memutus sama sekali kontak dengan pelaku agar tidak kembali terpengaruh olehnya. Pasalnya, ada korban yang lantas merasa iba pada pelaku setelah memutus relasi karena pelaku berulang kali minta maaf, memberikan hal-hal untuk menyenangkan dan memenangkan kembali hati korban, hingga akhirnya kembali melukainya di kemudian hari.

Itu sebabnya begitu korban dalam relasi toksik sudah sampai di titik ini, ia mesti siap juga untuk tidak lagi menoleh ke belakang. Kalaupun pelaku benar-benar berubah, itu hal yang baik. Tetapi tidak serta merta kita harus kembali menjalin relasi dengannya sebagai bentuk pemaafan atau rekonsiliasi. Kita bisa loh, tetap menjalin relasi dengan tetap menjaga batasan yang perlu orang lain hormati.

  1. Kamu tidak bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain

Dalam beberapa kasus, korban sering dihantui rasa bersalah karena memutuskan hubungan dengan orang yang toksik. Bisa karena budaya yang sangat mengakar untuk menghormati orang tua atau pasangan, atau perasaan utang budi kepada teman. Ada juga yang lebih pelik, korban terjebak dalam relasi toksik karena pihak lain mengancam akan bunuh diri atau tidak lagi merasa berharga jika tidak berhubungan dengannya.

Baca juga: Kekerasan dalam Pacaran: Bukan Tanggung Jawab Kita untuk Perbaiki Pasangan

Sama seperti poin kita tidak bisa mengontrol hal di luar kita, kita pun tidak punya kuasa atau tanggung jawab apa-apa atas apa yang dirasakan orang lain, termasuk kebahagiaannya. Kegagalan adalah bagian dari perjalanan hidup kita, dan memang tidak semua sanggup menghadapinya dengan lapang dada. Kalau pasangan/keluarga/teman yang telah kita putuskan relasinya tidak bisa menghadapi itu, kita tidak perlu merasa tidak enak atau bersalah. Bukankah relasi yang dilandasi rasa bersalah malah niscaya mendatangkan masalah kelak?

Relasi yang baik tidak mengizinkan ketimpangan posisi atau rasa antara dua pihak, tidak juga saling ketergantungan dan pembebanan tanggung jawab yang kelewatan. 

  1. Peliharalah diri, baru yang lain

Jika kita sudah berhasil keluar dari relasi toksik, PR pertama yang perlu kita kerjakan adalah belajar kembali menyayangi diri: Mengapresiasi capaian-capaian kita, menerima kekurangan dan kelebihan kita, tidak membiarkan label dan cacian orang lain membuat kita rendah diri lagi, dan meminimalisasi sebisa mungkin hal-hal yang destruktif untuk tubuh dan mental kita.

Ada yang percaya bahwa diri kita mesti penuh dulu baru bisa berbagi kepada orang lain. Namun, tidak berarti orang yang “tidak penuh” karena masih membawa luka-luka lama tidak bisa mulai memperhatikan dan memelihara relasi dengan orang baru. Bisa saja, tetapi prosesnya akan lebih berliku karena kita perlu menyembuhkan diri dulu. Pasalnya, bekas-bekas luka yang kita terima sangat mungkin terlampiaskan ke orang baru yang kita temui.

Untuk pemulihan diri pasca-keluar dari relasi toksik memakan waktu tidak sebentar biasanya. Dukungan lingkungan pun sangat besar perannya untuk membantu kita melakukan ini. Selama proses pemulihan diri berjalan, kita juga perlu belajar mandiri untuk mengidentifikasi pemicu emosi negatif, perilaku buruk di relasi mendatang, serta mengingat apa yang mesti kita lakukan bila hal-hal tersebut muncul di depan kita.

Keluar dari relasi toksik dan memulihkan diri setelahnya sangat mungkin kita lakukan. Percayalah bahwa kita bisa melepas jeratan pelaku dan tetap baik-baik saja tanpanya, dan kita selalu tidak sendirian menghadapi itu semua.

Artikel ini didukung oleh hibah Splice Lights On Fund dari Splice Media.

Jika memerlukan bantuan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, silakan hubungi Komnas Perempuan (021-3903963, [email protected]); Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan/LBH APIK (021-87797289, WA: 0813-8882-2669, [email protected]). Klik daftar lengkap lembaga penyedia layanan bantuan di sini.

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop