Dalam dua tahun terakhir, saya mengikuti tantangan membaca Reading Women untuk lebih banyak membaca karya penulis perempuan, meningkatkan keragaman bacaan saya, dan menjelajah dunia di luar lingkup bacaan saya yang biasanya.
Digagas dua perempuan AS yang gemar literatur feminis, Kendra Winchester dan Autumn Privett, tantangan ini sangat seru dan betul-betul membuat saya belajar banyak hal baru. Tahun lalu, misalnya, salah satu tantangannya adalah membaca buku pemenang LAMBDA Literary Award, penghargaan untuk buku-buku bertema LBGTQ. Saya tidak tahu ada penghargaan itu walaupun ternyata sudah ada selama 30 tahun. Tahun ini saya berkenalan dengan genre Afrofuturism, yaitu penggambaran masa depan dengan tokoh utama dan kacamata orang kulit hitam. Lagi-lagi ini adalah hal baru buat saya.
Semangat membaca saya rasanya makin tinggi sejak ikut tantangan ini. Di awal tahun, saya sudah mencari-cari buku apa saja yang masuk ke dalam kriteria tantangan dan selera membaca saya. Semacam bikin meal plan, tapi isinya buku. Kalau kita peduli dengan apa yang masuk ke badan kita, baik juga kan kalau kita peduli dengan apa yang masuk ke kepala kita?
Salah satu dunia baru yang saya jelajahi dengan tantangan membaca ini adalah dunia perempuan-perempuan kulit hitam dari Nigeria dan Amerika Serikat. Karya-karya mereka sangat kaya tekstur dan beragam nuansa budaya yang memperkaya pengalaman membaca. Kerap kali saya terhanyut ke dalam tulisan mereka dan merasakan berbagai emosi yang dialami para tokohnya.
Selain dapat menyelami kehidupan para karakter dengan segala dimensi dan dinamika kehidupannya, untuk saya berbagai dunia kecil ini juga memberi nyawa bagi slogan “Black Lives Matter”. Kita sering kali tidak ingat bahwa di balik berita tentang kematian, nama korban jiwa, dan statistik, ada kehidupan yang nyata dan terus beranjak maju. Ada keluarga yang berduka dan hidupnya berubah 180 derajat. Ada orang tua yang menjalani hidup tanpa merasakan memijak bumi setelah mengubur anaknya. Ada suami atau istri yang merasa rumahnya begitu kosong setelah pasangannya direnggut dari sisinya.
Daftar berikut ini tidak spesifik bertutur mengenai latar belakang gerakan Black Lives Matter atau anti-rasialisme, Tapi buku-buku ini menunjukkan betapa pentingnya representasi kulit hitam dalam sebuah karya sebagai karakter utama. Mereka bukan sekadar karakter pendukung atau karakter penjahat yang akan dibunuh oleh orang kulit putih. Para tokoh ini menjalani hidup mereka dengan segala sifat baik dan buruk, dilema, kesuksesan, dan kegagalannya. Hal ini yang saya rasa penting untuk dipahami, sehingga ketika kita pasang tagar #blacklivesmatter, kita betul-betul bisa memaknainya.
Karena saya lebih suka kabur dari kenyataan dengan membaca fiksi daripada non-fiksi, semua buku di daftar ini adalah novel fiksi dari beraneka ragam genre dan tahun penerbitan, tidak berdasarkan peringkat apa pun. Dalam daftar ini ada tiga novel karya Octavia E. Butler dari genre Afrofuturism karena walaupun buku-buku ini sudah lama diterbitkan, pesannya masih sangat relevan dibaca di masa sekarang.
Selamat bertualang!
Baca juga: 8 Buku Fiksi Indonesia Wajib Baca Sebelum Usia 30
-
Kindred – Octavia E Butler (1979)
Dana, seorang penulis perempuan kulit hitam yang berasal dari California di tahun 1976, tiba-tiba menghilang di masa hidupnya dan muncul di Maryland awal tahun 1800an, di masa nenek moyangnya hidup. Dana yang jelas-jelas bukan budak harus memutar otak dan bertahan hidup di zaman itu sampai dia bisa kembali ke abad 20.
Kakek buyut Dana adalah Rufus, seorang kulit putih pemilik perkebunan, dan nenek buyutnya adalah Alice, perempuan kulit hitam yang terlahir bebas namun kemudian dibeli sebagai budak dan dijadikan gundik oleh Rufus. Dana muncul di hadapan Rufus setiap kali lelaki itu merasa nyawanya terancam, beberapa kali dalam hidupnya. Meskipun Rufus tahu bahwa Dana adalah orang dari masa depan, bukan seorang budak di perkebunannya, namun ia tidak dapat melindungi Dana sepenuhnya dari ayahnya dan, di kemudian hari, dari dirinya sendiri.
Kevin, suami Dana yang adalah orang kulit putih, berhasil ikut pada satu perjalanan Dana. Dia dianggap sebagai tamu di perkebunan keluarga Rufus dan diberikan kamar sendiri, sedangkan Dana harus tidur dengan para budak beralaskan palet kayu di sebuah kamar besar. Betapa berbeda perlakuan yang Dana dan Kevin terima karena warna kulit mereka.
Novel ini dianggap lintas genre dan Butler sendiri mengategorikannya sebagai fantasi karena perjalanan lintas ruang dan waktu di dalam novel, yang tidak pernah dijelaskan penyebabnya. Meski awalnya saya mencari-cari penjelasan bagaimana Dana bisa ditarik menembus waktu, saya terhanyut dalam cerita dan menerimanya sebagai fakta dalam buku. Penceritaannya yang begitu kuat menjadikan novel ini termasuk salah satu yang terus terngiang-ngiang di kepala saya bahkan berbulan-bulan setelah saya membacanya.
-
Americanah – Chimamanda Ngozi Adichie (2013)
Barangkali ini novel sekaligus penulis perempuan kulit hitam paling populer dalam tahun-tahun belakangan. Adichie yang berasal dari Nigeria juga dikenal dengan esainya “We Should All Be Feminist”. Novel ini sendiri mengisahkan Ifemelu dan Obinze, yang berkenalan dan jatuh cinta di Nigeria. Ifemelu kemudian melanjutkan sekolah di Philadelphia, AS, sedangkan Obinze berangkat ke Inggris. Hidup mereka berlanjut dan berjalan ke arah yang berbeda sampai akhirnya mereka bertemu kembali di negara asal mereka. Ifemelu yang masih lajang bekerja sebagai editor majalah perempuan dan Obinze yang menjadi pengusaha kaya sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan.
Walaupun merupakan kisah coming-of-age dan drama percintaan, Americanah banyak membahas tentang identitas diri, identitas budaya, dan ras. Misalnya, selama di Amerika Serikat, Ifemelu mendapat pengalaman baru yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya: Diperlakukan sebagai perempuan kulit hitam. Karena warna kulitnya, Ifemelu dianggap memahami permasalahan orang kulit hitam Amerika walaupun dia adalah orang Nigeria yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Amerika.
Baca juga: Putri Duyung Disney Berkulit Hitam, Kenapa Tidak?
Sebagai bentuk perlawanannya, Ifemelu meluncurkan blog berjudul “Raceteenth or Various Observations About American Blacks (Those Formerly Known as Negroes) by a Non-American Black”. Melalui blog ini, Ifemelu menyuarakan pendapatnya tentang aneka stereotip tentang orang kulit hitam, dan kolom komentarnya selalu aktif dengan banyak orang yang merasa menemukan tempat untuk berbagi kisah dan keluh-kesah mereka.
-
An American Marriage – Tayari Jones (2018)
Celestial dan Roy adalah pasangan kulit hitam yang sedang membangun hidup mereka bersama menuju kemapanan yang setingkat dengan keluarga kulit putih. Mereka berdua lulusan universitas dan memiliki pekerjaan tetap. Seperti banyak pasangan yang baru menikah, mereka kerap cekcok tentang hal-hal kecil, termasuk tentang memiliki anak.
Setelah satu tahun menikah, Roy dituduh memperkosa seorang perempuan dan dihukum 12 tahun penjara walaupun dia tidak melakukannya dan tidak ada bukti bahwa dia pelakunya. Namun hukum tidak berpihak kepada Roy yang berkulit hitam.
Kisah ini diceritakan dari sudut pandang orang pertama secara berganti-ganti dari Celestial, Roy, dan teman baik mereka berdua, Andre. Ketika Roy dipenjara, Celestial dan Roy saling mengirim surat. Melalui surat-surat tersebut, pembaca dapat terus menyimak kisah mereka dan menyaksikan terurainya jalinan pernikahan mereka.
Tayari Jones menggambarkan ketiga tokoh utama dengan kompleksitas karakter mereka dan menunjukkan kemanusiaan mereka dengan berbagai keinginan yang terkadang saling bertolak belakang—keinginan untuk berbuat baik demi orang lain dan keinginan untuk mengutamakan diri sendiri.
-
Duologi Earthseed Series (1993 dan 1998) – Octavia E Butler
Jika kamu suka membaca buku-buku distopia, saya sangat merekomendasikan dua buku ini.
Parable of the Sower (1993) dan Parable of the Talents (1998) dibuka dengan penggambaran kehidupan Lauren Oya Olamina yang berusia 15 tahun di Los Angeles pada tahun 2024. Di masa itu, tatanan kehidupan sudah hancur karena krisis lingkungan hidup dan krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Olamina tinggal bersama keluarganya dan beberapa keluarga lainnya di sebuah kompleks kecil bertembok tinggi. Ayahnya adalah seorang pemuka masyarakat, pendeta, dan dosen yang mempertaruhkan nyawanya setiap beberapa hari sekali untuk mengajar di universitas di luar kompleks. Semua hal ini kita pelajari lewat buku harian yang ditulis oleh Olamina. Saat ia masih dalam kandungan, ibunya menyalahgunakan obat Paracetco, yang mengakibatkan Olamina mengidap “hyperempathy”—dia bisa merasakan semua emosi orang di sekitarnya dalam kadar yang berlebihan.
Dunia di luar kompleks adalah dunia yang kacau-balau. Dunia dengan polisi yang tidak akan bergerak tanpa bayaran dari kantong pribadi, pecandu “pyro” berkeliaran membakar segala hal demi kepuasan seksual, sekolah umum tidak lagi ada, dan Presiden Andrew Steel Jarret terpilih karena janji-janji kampanyenya untuk “make America great again.”
Olamina adalah orang yang visioner. Ia kemudian mendirikan kelompok bernama Earthseed yang terdiri dari orang-orang yang dia temui sepanjang perjalanan dan berhasil dia yakinkan untuk membangun komunitas baru bersamanya. Dia memahami kekuatan di balik kisah-kisah yang disampaikan seseorang, dari teladan ayahnya yang menceritakan kisah-kisah kitab suci. Maka ajaran Earthseed dia tulis dalam bentuk ayat-ayat singkat bagai puisi.
Baca juga: Kami Perempuan Melanesia, Kami Ada, dan Kami Cantik!
“The Destiny of Earthseed/Is to take root among the stars…” adalah bunyi salah satu ayat yang ia tulis, yang menunjukkan kuatnya kepercayaan Olamina bahwa manusia harus berani membuat jalan baru ketika jalan yang lama tidak lagi berhasil, dan menggambarkan keputusasaannya terhadap keadaan Bumi.
Dalam buku pertama duologi ini, Butler menggambarkan awal mula ideologi dan agama baru, sedangkan di buku kedua ia mengajak pembaca melihat perkembangan agama baru tersebut dan apa yang terjadi ketika para pengikutnya harus berhadapan dengan dunia yang kacau-balau.
-
Stay with Me – Ayobami Adebayo (2017)
Siapa yang mengira bahwa budaya Nigeria bisa sangat mirip dengan Indonesia? Hal tersebut menguak dalam novel ini. Yejide dan Akin ingin sekali punya anak—demi mereka sendiri dan karena tekanan dari keluarga. Setelah cukup lama menikah dan Yejide tak kunjung hamil, keluarga Akin menyiapkan istri baru supaya Akin dapat memiliki keturunan.
Rencana tersebut memicu kecemburuan dan perasaan dikhianati di dalam diri Yejide. Ia kemudian mengesampingkan logikanya dan melakukan hal yang irasional demi bisa punya anak, termasuk mendaki gunung sambil menggendong seekor kambing putih yang tidak boleh kotor setitik pun untuk dipersembahkan kepada dukun di atas gunung.
Pada akhirnya Yejide berhasil hamil, namun timbul masalah baru: Anak-anaknya selalu sakit dan meninggal di usia balita. Harga yang harus dibayar Yejide dan Akin untuk pernikahan yang “sempurna” dengan kehadiran anak-anak ternyata terlalu mahal ketika mereka harus merasakan pedihnya kehilangan anak-anak yang sangat sulit didapatkan.
Sisi budaya Nigeria yang ini mengingatkan saya pada pertanyaan demi pertanyaan basa-basi dari keluarga besar Indonesia yang dilontarkan dengan ringan namun mengandung ribuan anak panah: “Kapan kawin? Kapan punya anak? Jangan ditunda, loh! Anak pertama umur berapa? Kapan mau punya anak lagi? Jangan kejauhan jaraknya, biar si sulung ada teman main.” Dan begitu seterusnya sampai lebaran kuda.
-
My Sister the Serial Killer – Oyinkan Braithwaite (2018)
Kalau adik perempuanmu adalah pembunuh berdarah dingin, kamu akan bantu dia menutupi kejahatan atau melaporkan dia ke polisi? Kalau kamu Korede, kamu akan bantu adikmu Ayoola menyingkirkan mayat dan membersihkan TKP, lalu berbohong untuk menutupi kejahatan adikmu. Bukan kenapa-kenapa sih, kamu lebih jago aja bersih-bersih dibandingkan si Ayoola.
Novel ini pendek dan ringan, tetapi seru untuk diikuti. Kisahnya tidak berpusat pada pertanyaan moral tentang pembunuhan atau drama detektif dan persidangan, melainkan pada hubungan dua bersaudara yang tinggal di Lagos, Nigeria. Humornya gelap dan disampaikan dengan datar, tapi justru membuat saya ketawa-ketawa kecil yang kadang diwarnai dengan (sedikit) rasa bersalah.
Comments