Women Lead Pendidikan Seks
June 27, 2018

Ada Apa dengan (Kelompok Anti-) Feminisme

Kelompok-kelompok Islam konservatif semakin gencar menentang feminisme, yang dianggap menyerang agama dan Alquran.

by Tabayyun Pasinringi
Issues // Politics and Society
Share:

Suasana di Masjid Agung At-Tin sebuah sore April lalu tidak berbeda dari atmosfer pengajian kelompok perempuan pada umumnya. Namun tema yang dikemukakan kali ini membuat acara itu tidak seperti sedang berlangsung di Jakarta Timur, tapi di wilayah selatan Amerika Serikat yang konservatif religius, hanya agamanya saja yang berbeda.
Setelah pembacaan ayat-ayat suci, ustazah Nur Hamidah langsung mengemukakan pernyataan melawan feminisme, mengatakan bahwa paham dari Barat itu didasari pandangan negatif terhadap Allah dan Alquran, dan bahwa kemalangan perempuan semua berasal dari rancangan besar Allah.
 “Yang ada kenegatifan, suuzan (buruk sangka) terhadap kitab suci dan Tuhan, dan mereka (para feminis) menganggap Alquran dan Allah sudah dari awal mendiskriminasi perempuan,” ujar pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Al Qudwah di Depok itu. 
Ia berargumen bahwa alasan di balik pemikiran suuzan tersebut lahir karena kesalahpahaman yang bermula dari cerita Adam dan Hawa. Nur kemudian bertanya kepada para peserta apakah iblis atau Hawa yang menggoda Adam untuk memakan buah khuldi? Ketika mayoritas menjawab bahwa Hawa yang mengambil andil besar dalam dibuangnya nenek moyang manusia ke bumi, ia mengungkapkan bahwa mereka (peserta) telah menjadi korban dongeng Israel dan musuh-musuh Islam.
“Kalau Allah tidak menyebutkan Hawa yang menjadi perayu Nabi Adam, maka cuma ada dua kemungkinan, yaitu Allah menutupi data atau ada yang menambahi data,” ujarnya lagi.
Kesalahpahaman tersebut, menurut Nur, menimbulkan praktik yang salah dan juga menanamkan perspektif bahwa perempuan terlahir sebagai penggoda, mengingat nenek moyang perempuan, Hawa, menggoda Adam untuk memakan buah khuldi.
Seiring dengan meningkatnya konservatisme agama di Indonesia, terutama Islam sebagai agama mayoritas, meningkat pula kecaman terhadap gerakan dan kelompok feminisme di negara ini. Para feminis dikecam oleh kelompok-kelompok konservatif karena mengkritik interpretasi ajaran agama yang tidak ramah perempuan, seperti poligami, pemaksaan penutupan tubuh, dan penekanan pada domestikasi perempuan.
Narasi bahwa feminisme lahir dari Barat dan Islam adalah Timur menjadi salah satu alasan kelompok konservatif Islam menolak feminisme. Padahal sudah banyak cendekiawan Islam dan feminis muslimah yang mengemukakan bahwa feminisme selaras dengan ajaran Islam, seperti Fatima Mernissi dari Maroko, Asma Barlas dari AS, serta Musdah Mulia, Neng Dara Affifah, dan Lies Marcoes dari Indonesia.
Nur mengatakan, permasalahan perempuan sudah ada sejak dulu, sebelum Revolusi Perancis yang menjadi awal mula bangkitnya feminisme, bahkan sebelum Muhammad menjadi rasul. Justru karena adanya kondisi yang tidak adil terhadap perempuan saat itu, maka turunlah Surat Annisa yang mengangkat derajat perempuan, katanya.
“Berbeda dengan Persia dan Romawi yang tidak mengikuti Alquran, dan akhirnya bertahun-tahun mereka mendiskriminasi perempuan sampai terjadi Revolusi Perancis yang membuat perempuan-perempuan Eropa harus bangkit dalam kesetaraan gender,” ujarnya.




Pandangan yang sama dengan Nur disampaikan Dinar Kania, kepala bidang kajian Aliansi Cinta Keluarga (AILA), dalam diskusi terpisah baru-baru ini yang bertajuk “Sudut Pandang Agama dan Medis tentang LGBT dan Feminisme.”
AILA termasuk yang terdepan saat ini dalam gerakan konservatisme Islam di Indonesia, dengan kampanye untuk membuat negara ini lebih “beradab” dengan “memperkuat nilai-nilai keluarga.” Upaya yang dilakukan kelompok ini salah satunya permohonan kajian yudisial untuk menjadikan hubungan seksual di luar pernikahan, termasuk hubungan sesama jenis, ilegal.
“Kalau masalah emansipasi dalam Islam sudah selesai, bahkan sebelum dunia dan orang Barat menyuarakan adanya pemberian hak politik, bekerja, dan bersekolah. Orang Barat tahun 1920-an perempuan baru boleh bersekolah,” ujar Dinar dalam kajian yang dilaksanakan di Politeknik Negeri Jakarta itu.
“Dia (feminis) melupakan dan masyarakat termakan oleh global awareness (kampanye feminis) karena tidak pernah membaca sejarah Islam,” ujarnya.
 

Ajaran yang memuliakan dan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki tidak cukup karena banyak ajaran Islam ditulis dengan lensa partriarki.


Pandangan bahwa feminisme dan Islam tidak cocok ditentang oleh cendekiawan Islam Lailatul Fitriyah, yang mengatakan bahwa feminisme ialah paradigma yang dibangun secara inklusif.
“Memang feminisme itu awal mulanya berasal dari Barat, untuk mendorong hak perempuan untuk memilih. Namun feminisme sudah berkembang. Ketika sebuah paradigma seperti feminisme sudah membuat komitmen sebagai paradigma yang inklusif, maka ia tidak bisa membatasi dirinya hanya dengan masalah atau hal-hal dari Barat,” ujarnya dalam diskusi mengenai keberagaman dan feminisme dalam Islam yang diadakan oleh Jakarta Feminists Discussion Group awal Juni lalu.
“Orang yang mengasumsikan bahwa Islam dan feminisme tidak cocok karena feminisme dari Barat sudah menggagalkan misi feminisme yang ingin menjadi gerakan inklusif. Tentu saja feminisme dan Islam cocok. Sama seperti Kristen dan feminisme atau ateisme dengan feminisme,” tambah Lailatul.
Oleh karena sifatnya yang inklusif dan bisa diserap ke berbagai ajaran, feminisme Islam bukan satu-satunya feminisme yang berbasis agama, ujarnya. Dalam Kristen terdapat feminis Kristen dan dalam feminis Kristen itu terpecah lagi, seperti feminis Kristen Amerika Latin, feminis Kristen kaum kulit hitam Amerika Serikat, atau feminis Kristen dataran Afrika.
Begitu juga dengan Islam dan feminisme yang juga memiliki ekspresi yang beragam, feminisme Islam di Asia Tenggara berbeda dengan feminisme Islam di Afrika Timur maupun Barat, kata Lailatul.
Islam dan Arab dalam budaya patriarki
Nur memaparkan bahwa Islam, terutama lewat Surat Annisa, telah memuliakan perempuan. Menurut tradisi Arab zaman dulu, perempuan tidak diperbolehkan “keluar” lebih dari tiga kali, yaitu keluar dari rahim ibunya ke dunia, keluar dari rumah orang tua ke rumah suaminya, serta keluar dari rumah suaminya menuju liang kubur, kata Nur.
“Jika seorang ibu akan melahirkan, maka suami sibuk menggali lubang untuk anaknya. Jika anaknya yang lahir adalah perempuan, maka akan dikubur hidup-hidup. Dan kalau orang tuanya tidak tega membunuh anak tersebut, maka ia tidak diberi kesempatan keluar rumah karena dianggap sebagai sumber petaka,” ujarnya.
Sebelum Surat Annisa turun, perempuan mengalami penderitaan, kata Nur. Mereka tidak bisa menyentuh harta warisan ayah mereka dan suami mereka memiliki istri dengan jumlah yang banyak.  Surat Annisa mengembalikan hak-hak yang dimiliki perempuan dan memuliakan posisi perempuan, tambahnya.
Namun menurut Lailatul, ajaran yang memuliakan dan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki tersebut tidak cukup karena banyak ajaran Islam ditulis dengan lensa partriarki. Lensa tersebut kemudian mendominasi ajaran yang memanusiakan perempuan sehingga paradigma feminisme tetap dibutuhkan, ujarnya.
“Memang benar idealnya Islam memuliakan perempuan, tapi bisa dilihat sendiri apa yang marak jika orang berpikir tentang Islam di Indonesia? Poligami atau female genital mutilation (sunat perempuan). Praktik seperti itu masih ada di ajaran tradisional. Mengapa? Karena ajaran tradisional ditulis melalui lensa patriarki. Di sini kita butuh paradigma feminisme untuk merekonstruksi ajaran Islam supaya norma-norma yang memanusiakan manusia yang ada di dasarnya bisa muncul ke permukaan,” jelasnya.
Secara historis setelah Nabi Muhammad meninggal, kata Lailatul, masyarakat Arab datang ke istri-istri Nabi untuk mendapatkan fatwa.
“Komunitas ini datang ke istri nabi untuk meminta hukum dan keputusan. Dari sosial, politik, ekonomi semua datang ke istri nabi. Hal itu berhenti ketika khalifah Umar Bin Khattab dipilih (memimpin komunitas),” ujarnya.
Umar adalah seorang jenderal perang Arab yang terkenal dengan kegarangannya. Untuk ukuran masa modern, kata Lailatul, Umar ialah laki-laki yang sangat patriarkal.
“Hal pertama yang dia lakukan kepada istri nabi adalah melarang mereka memimpin komunitas. Mereka tidak boleh lagi memimpin salat di masjid, dan mereka dilarang berhaji di Mekkah sendiri. Kalau mau ke Mekkah harus ada laki-laki yang mendampingi. Setelah itu harus menutup wajah, rambut, dan kepala ketika keluar rumah. Dari sana akhirnya terkodifikasi dalam ajaran tradisional Islam,” ujarnya.
Meskipun begitu, tambahnya, kita tidak bisa menyalahkan Umar Bin Khattab karena dia adalah produk dari zaman.
“Hal yang hilang dari pemahaman kita terhadap Islam adalah aspek kemanusiaan aktor yang ada di balik sejarah. Memang betul Khalifah Umar bertindak seperti itu. Dia punya sisi garang dan ingin mengontrol komunitas sebagai stabilitas politik. Jadi mungkin jika banyak otoritas yang bicara soal politik perempuan akan mengguncang komunitas yang masih awam itu tadi,” ujarnya.

Beberapa abad setelah itu, tambah Lailatul, peran perempuan semakin terpinggirkan.
“Misalnya sampai abad ke-16 masih bisa dirujuk secara historis ada beberapa perempuan yang menarasikan hadis. Setelah itu hilang sama sekali,” tambah Lailatul.
Dari abad ke-8 hingga 16, ujarnya, perempuan bisa menarasikan hadis secara verbal, tapi tidak menulis hukum. Maka yang bisa dilacak secara sejarah adalah perempuan penarasi hadis dan tidak ada perempuan pembuat hukum, karena budaya menulis masih menjadi hak istimewa laki-laki.
“Perempuan-perempuan yang menarasikan hadis itu pun adalah mereka yang kaya, dan beberapa di antaranya tidak bersuami karena sudah kaya dan memiliki uang dari keluarganya. Maka dari itu mereka bersekolah dan me-rawi (menarasikan) hadis,” kata Lailatul.
Alquran sendiri mulai ditulis 200 tahun setelah Nabi Muhammad meninggal karena budaya masyarakat Arab di abad ketujuh bukan masyarakat literal atau menulis melainkan masyarakat oral, lanjutnya.
Lailatul mengatakan bahwa Alquran sebagai kitab suci hadir dengan konteks yang sangat spesifik, yaitu masyarakat Arab abad ketujuh dan pada masa itu feminisme belum lahir dan menjadi pembicaraan di seluruh dunia.
“Memang ada ajaran yang menempatkan perempuan di posisi yang sama dengan laki-laki, tapi tidak bisa menyebut ajaran itu sebagai feminisme karena masih pada abad ketujuh Arabia. Tidak ada orang di Arab atau Eropa dan Afrika pada abad ketujuh berbicara soal feminisme. Feminisme itu fenomena modern yang mulai di abad ke-18,” kata Lailatul.
Menolak konsep gender
Poin lain yang ditentang oleh kelompok konservatif adalah konsep gender. Menurut Nur, salah satu bahaya feminisme adalah pemahaman tentang konsep gender yang melanggar aturan agama dan mampu melegalkan hubungan di luar orientasi heteroseksual.
“(Dalam) feminisme orang Barat, seks dan gender adalah dua hal yang berbeda. Seks merupakan bentuk kelamin yang tidak bisa diubah, tapi gender berasal dari masyarakat atau kecenderungan seseorang mau menjadi laki-aki atau perempuan. Menjadi suami atau istri terserah karena itu urusan gender,” ujarnya.
Dinar menyuarakan hal serupa, bahwa gerakan feminisme yang menyuarakan kesetaraan gender bukan emansipasi karena konsep gender tersebut.
“Dalam feminisme ada konsep gender. Jadi konsep gender ini konsep utama. Maka saya bilang kenapa kami (AILA) menantang kesetaraan gender dan (feminisme) bukan emansipasi karena gender dipahami dengan hal yang lain,” ujarnya.
Ia beranggapan bahwa feminisme global yang menyuarakan konsep gender lahir untuk menjatuhkan konsep jenis kelamin. “Gender ini bukan jenis kelamin. Ini yang mereka (feminis) pakai untuk melegalkan homoseksual,” katanya.
Selain itu, kebebasan atas keputusan atau kesediaan seseorang dalam mengontrol aktivitas seksual dan tubuh masing-masing juga melahirkan homoseksualitas, tambahnya.
“Karena my body is my authority, saya memutuskan apa yang ingin saya lakukan, muncul homoseksualitas,” kata Dinar.
 

Tugas utama dari para ilmuwan muslim adalah untuk merekonstruksi dan menyegarkan lagi badan hukum dan regulasi ini supaya menjadi lebih relevan dan menjawab tuntutan yang ada di masyarakat sekarang.


Nur juga menganggap lahirnya konsep gender memunculkan penyimpangan dan seseorang harus berperilaku sesuai dengan alat reproduksi bawaan lahirnya.
“Jangan mengaku seorang hajjah atau ustazah. Jangan memakai jilbab. Tengok dulu dia memiliki (jenis kelamin) apa,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa seseorang hanya bisa menjadi ibu atau istri jika terlahir dengan vagina dan rahim. Bahwa peran perempuan dan masalah reproduksi telah dijelaskan dalam Surat Aluntsa yang dalam bahasa Arab sendiri memiliki arti sebagai alat reproduksi perempuan.
“Walapun sekarang sudah bisa menjadi perempuan (operasi), lihat dulu dia punyanya apa. Sekarang sudah bisa jadi untsa (melalui operasi). Untsa sungguhan dan bohong berbeda, untsa harus mengeluarkan darah haid, sedangkan yang palsu tidak bisa,” jelas Nur.
Lailatul menepis argumen itu dengan mengungkapkan bahwa keragaman gender merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
“Misalnya ketika Khalifah Abbasid menjadikan Baghdad sebagai kota yang sangat bersinar, yang juga terkenal dengan tempat-tempat hiburan yang diisi dengan orang-orang dari berbagai macam gender. Dan pada waktu itu dikatakan ketika jalan ke taman-taman di Baghdad akan sangat mudah menemui orang dengan identitas gender berbeda,” katanya.
Dia melanjutkan bukan Islam yang tidak menerima keragaman gender dan orientasi seksual, tetapi muslim yang hidup di dalam Islam.
“Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa Islam itu benda mati. Islam itu agama. Islam itu segepok tradisi, sejarah, kultur, dan sebagainya. Yang membuat Islam hidup adalah muslim. Yang menerima atau tidak menerima keragaman gender siapa? Muslim, bukan Islam,” ujarnya.
Terkait orientasi seksual di luar heteroseksual secara hukum Islam atau fikih, menurut Lailatul yang dihukum adalah tindakan, bukan perasaan, kecenderungan dan identitas.
“Jadi yang dihukum dalam fikih tradisional ialah perilaku seksual tadi. Jika identitas kita sebagai muslim dan homoseksual atau orientasi lain selain hetero maka silakan saja karena itu perasaan, kecenderungan, dan identitas. Karakter alamiah secara biologis maupun non-biologis yang ada dalam tubuh,” katanya.
Meskipun begitu, perilaku seksual tidak bisa terlepas dari identitas seseorang, tambahnya. Dia menggarisbawahi hukum pelarangan seks anal yang berasal dari “fikih tradisional” dan pada ranah ini fungsi demokratis fikih harus kembali dipikirkan mengingat kondisi sosial sekarang yang berbeda.
“Di sini kemudian fungsi demokratis dari fikih dan pembentukan hukum itu harus datang. Harus direkonstruksi ulang hukum-hukum ini. Harus dipikirkan lagi. Contohnya, pertanyaan terbesar kenapa ada hukum untuk perilaku sodomi, tetapi tidak ada hukum untuk hubungan seks lesbian?” ujarnya.
Ia melanjutkan alasan dibentuknya hukum itu karena sodomi digunakan sebagai alat perang untuk melawan musuh. Perilaku seksual pada abad itu bukan menjadi identitas seseorang seperti sekarang. Muncul hukum sodomi karena situasi sosial pada waktu itu yang hanya mengutamakan derajat laki-laki, katanya.
Kedirian serta identitas perempuan pada masa itu tidak masuk dalam pertimbangan sosial dan politik, sehingga absen dalam hukum. Prinsip hukum yang dibentuk menjadi cerminan kondisi masyarakat di zaman itu.
“Oleh karena itu tugas utama dari para ilmuwan muslim adalah untuk merekonstruksi dan menyegarkan lagi badan hukum dan regulasi ini supaya menjadi lebih relevan dan menjawab tuntutan yang ada di masyarakat sekarang,” kata Lailatul.
Sayangnya, para ilmuwan sekarang ini masih malas berdiskusi dan berpikir untuk menyelesaikan isu terkait pemidanaan kelompok minoritas orientasi seksual dan gender, tambahnya.
“Misalnya ada pilihan, A. Sudah ada tataran hukum yang jelas dalam salah satu kitab yang bisa dikutip, tapi memarginalkan bahkan membahayakan kelompok marginal. Pilihan B, kita merekonstruksi hukum berarti kita harus membaca, berdiskusi, dan mencari landasan Alquran lebih banyak,” ujarnya.
“Mana yang dipilih? Mana yang lebih mudah? Yang mudah ialah mencari langsung saja kutipannya. ‘Oh iya ini enak dikutip’, dijadikan fatwa, rilis, selesai. Perilaku malas seperti itu yang membuat masyarakat rusak,” jelas Lailatul.
Baca tentang santri dan tokoh agama di Garut yang menolak pernikahan anak.
Tabayyun Pasinringi adalah reporter magang Magdalene, mahasiswa jurnalistik yang gemar mendengarkan musik dream pop dan menghabiskan waktunya dengan mengerjakan kuis Buzzfeed.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin.