Untuk Putri, Lola, Estu, Lintang, dan angkatan kalian.
Pada Hari Ibu biasanya muncul pembahasan soal peran ibu di ranah domestik versus publik. Eskalasi perdebatannya bisa memuncak jadi Hari Ibu versus Hari Perempuan. Memperingati ibu atau memperingati perempuan?
Menjelang 22 Desember tahun ini, saya teringat dengan satu peran perempuan lain yang tak pernah dibicarakan: perempuan yang berperan sebagai mentor atau kakak. Saya terlahir sebagai anak sulung dan selalu ingin punya kakak perempuan. Mungkin tepatnya saya ingin ada orang berjenis kelamin sama dan bisa menjadi contoh saya bersikap, alias mentor.
Di sekolah dulu, kakak-kakak kelas perempuan bagaikan makhluk mitologis dari alam tersendiri. Mereka bisa memesan bakso dengan gaya berkelas atau bersenda-gurau di lapangan sekolah dengan anggun. Tak jarang saya mengikat rambut atau mengenakan sepatu dengan menggunakan para senior saya itu sebagai rujukan. Setelah dewasa, saya tetap mencari dan diam-diam mendaulat perempuan-perempuan yang saya kagumi dari berbagai bidang sebagai mentor dan kakak batin.
Kemudian saya menemukan artikel ini di The Economist. Menurut majalah itu, anak lelaki dan perempuan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan dengan paparan tinggi terhadap penemuan (invention) berpeluang tinggi untuk menjadi penemu juga di masa depan. Anak-anak yang menjadi subyek dalam artikel tersebut adalah anak-anak di Amerika Serikat, yang tentunya lingkungannya memiliki konteks berbeda dengan anak Indonesia. Penemuan dalam artikel ini dimaknai sebagai terdaftarnya karya seseorang dalam biro hak cipta, mulai dari perkakas dapur hingga aplikasi daring.
Artikel tersebut juga mengulas bahwa anak perempuan dan anak lelaki akan naik peluangnya untuk menjadi penemu atau inventor apabila dipandu mentor dan berada dalam lingkungan yang kondusif. Namun angka peluang ini berbeda untuk lelaki dan perempuan. Ternyata, peluang anak-anak perempuan menjadi penemu meningkat tajam menjadi 164 persen apabila khusus terpapar dan berada di bawah mentor perempuan. Bandingkan dengan peluang anak lelaki yang “hanya” 55 persen.
Angka-angka yang dikutip oleh artikel tersebut tentu masih merupakan kalkulasi dan bisa mengundang banyak kritik. Namun secara naluriah, isunya sangat mengena terutama bagi perempuan Indonesia. Apakah ada cukup banyak perempuan yang berperan sebagai mentor, bahkan belum sampai teladan, bagi perempuan-perempuan lainnya?
Ada anggapan bahwa perempuan sulit bisa mendorong perempuan lainnya untuk maju dan cenderung bersaing satu sama lain. Namun minimal kutipan artikel The Economist itu menyatakan sebaliknya. Justru ketika perempuan berbeda generasi saling mendukung satu sama lain, potensi mereka rupanya akan lebih bersinar.
Saya membayangkan kita mampu mengenali dan merujuk sesama perempuan untuk menjadi mentor satu sama lain. Perempuan-perempuan mentor ini adalah mereka yang melakukan lebih dari yang diharapkan. Di jajaran pemerintah ada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, yang masing-masing memiliki prestasi yang dibanggakan.
Dari kalangan masyarakat sipil, adalah suatu kebetulan yang menggembirakan bahwa pucuk pimpinan organisasi saat ini banyak yang dipegang oleh perempuan. Direktur Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) adalah Nur Hidayati, sementara Asfinawati menjadi Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Yati Andriyani adalah Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) dan Dewi Kartika sebagai Sekretaris Jenderal Konsorsium Nasional untuk Pembaruan Agraria (KPA). Satu generasi perempuan menjawab tantangan untuk isu-isu garang seperti hak asasi manusia, konflik agraria, serta lingkungan adalah aset luar biasa bagi generasi berikutnya.
Di generasi yang lebih muda untuk bidang yang berbeda, benih-benih ini sudah terlihat. Ada Gita Syahrani, pengacara korporat yang banting haluan mendedikasikan ilmunya di bidang lingkungan untuk menjembatani kepentingan lingkungan hidup dan bisnis. Nama lainnya Asisten Menteri Kelautan dan Perikanan Fika Fawzia, yang merekam aktivitas Menteri Susi di akun media sosialnya sehingga publik bisa melihat kerja Ibu Menteri, termasuk pandangan atau kebijakan beliau.
Ada lagi mahasiswa S2 penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di Harvard Kennedy School of Governance, AS, bernama Andhyta F. Utami, yang mengunggah video-video mengenai sejarah hingga peristiwa politik kontemporer terkini di YouTube. Apabila dipikirkan lebih lanjut, sebetulnya Andhyta bisa fokus pada studinya saja, Gita cukup konsentrasi mendaki karier lebih tinggi sebagai pengacara korporat, dan Fika mungkin puas menjadi selebgram. Tapi mereka memilih berbuat lebih dari yang diharapkan publik pada seorang pengacara korporat, mahasiswa S2, dan asisten menteri. Tentu mereka hanya sekadar contoh saja. Saya yakin di luar sana banyak perempuan muda dengan capaian yang sama membanggakannya, bahkan mungkin lebih.
Saya teringat nama-nama tersebut di Hari Ibu ini. Saya membayangkan semua nama-nama tersebut sebagai kakak-kakak perempuan yang tidak pernah saya miliki. Saya menggambarkan mereka di benak saya sebagai senior-senior yang saya kagumi dan ingin saya tiru perilaku, tertib berpikir, serta sikapnya. Saya harap anak-anak perempuan Indonesia melihat mereka sebagaimana saya melihat kakak-kakak senior saya dulu ketika sekolah.
Di Hari Ibu (atau Hari Perempuan) ini saya bermaksud mengingatkan bahwa menjadi ibu bukanlah satu-satunya peran perempuan yang penting. Mengambil peran sebagai mentor yang membimbing dan membuka ruang saling belajar bagi sesama perempuan adalah peran yang sering terabaikan. Saling mengingatkan dan saling mengasuh secara intelektual antar perempuan adalah amunisi tak terhingga bagi generasi perempuan berikutnya.
Jadi, siapakah perempuan-perempuan yang Anda anggap sebagai mentor?
Comments