Persepsi hijab dan musik cadas sebagai dua hal bertolak belakang menjadi senjata untuk mendorong band metal Voice of Baceprot (VoB) berhenti bermusik. Trio Firda Marsya Kurnia (vokal), Euis Siti Aisyah (drum), dan Widi Rahmawati (bass) dianggap membawa pengaruh buruk untuk remaja seusia mereka di Garut. Karenanya, keluarga pun ragu mereka memilih musik sebagai karier, pertanyaan ‘Mau jadi apa’ menjadi makanan sehari-hari.
“Bisa dibilang (kami) tumbuh dengan persepsi semacam itu. Banyak yang menyuruh untuk berhenti main musik karena musik keras enggak sejalan dengan hijab. Jadi banyak yang bilang, kalau tidak berhenti musik lepas saja hijabnya,” kata Marsya pada Press Briefing kampanye #YukBukaSuara oleh Google Search untuk merayakan Hari Perempuan Internasional (7/3).
#YukBukaSuara merupakan inisiatif literasi digital untuk menginspirasi perempuan mengajukan pertanyaan ke Google untuk memperluas sudut pandang. Tujuannya agar perempuan membedakan stereotip dengan fakta, persepsi dengan kenyataan, serta tanggapan masyarakat dan suara dalam diri.
Marsya melanjutkan, alasan memilih musik metal bukan sekadar kegemaran pribadi, tetapi liriknya yang mengusung pesan kesetaraan. Karenanya, VoB ingin melakukan hal sama dengan membawa pesan kesetaraan gender dan hak perempuan dalam musiknya.
“Kalau orang beranggapan ‘ah, metal membawa pengaruh buruk’ yang digarisbawahi bukan metalnya, tapi apa yang disampaikan musik itu sendiri,” kata Marsya.
Namun, menurut VoB paham tentang kesetaraan gender tersebut masih minim di lingkungan mereka. Pasalnya ada keterbatasan akses internet dan digital untuk mencari informasi. Minimnya pengetahuan lalu berpengaruh pada ketidaktahuan kemudian melahirkan dan meneguhkan persepsi tertentu, seperti musik cadas bukan untuk perempuan berhijab.
Baca juga: Keterasingan Perempuan dalam Transformasi Digital
“Awal mula kami belajar isu ini, kami menyadari satu hal, ketidaktahuan melahirkan rasa tidak mau tahu. Maka setelahnya tumbuh subur cara berpikir yang tidak seimbang, seperti perempuan lebih dikenal dengan fisik dibanding suaranya,” kata Marsya.
Akses Digital Masih Timpang untuk Perempuan
Perkara kesulitan akses digital tersebut sejatinya menjadi permasalahan laten yang banyak disorot awal pandemi, saat proses belajar mengajar dilakukan secara virtual dua tahun lalu. Beberapa siswa, terutama di luar pulau Jawa, tinggal di daerah yang belum terjangkau internet, sehingga harus berjalan berkilometer agar dapat mengikuti proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Mengutip Liputan6, siswa di Desa Anakoli, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur harus naik ke perbukitan dengan jarak tempuh tiga kilometer untuk mendapatkan sinyal internet. Jika siswa menggunakan kendaraan bermotor akan sampai ke bukit dalam hitungan 15 menit, tetapi banyak dari mereka yang berjalan kaki.
Di The Conversation, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Whisnu Triwibowo mengatakan, sulitnya akses internet merupakan masalah pertama dalam ketimpangan digital di Indonesia. Karenanya, pemerintah menyiapkan anggaran mencapai Rp17 triliun untuk membangun layanan internet 4G di lebih sembilan ribu desa di daerah 3T: terdepan, terpencil, dan tertinggal.
Berkaitan dengan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan APBN 2021 yang mencapai triliunan itu bagian dari rencana akses internet setara sampai lima tahun ke depan. Meski demikian, lanjut Whisnu, memberikan akses internet belum menjadi jawaban yang komprehensif karena masih ada masalah dalam akses terhadap komputer. Di Indonesia hanya 53,7 persen penduduk yang menggunakan internet dan 18,8 persen yang memiliki akses terhadap komputer.
Dalam isu kesenjangan itu juga ada masalah ketimpangan akses digital perempuan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan dari tahun ke tahun ada peningkatan, tetapi ada perbedaan persentase pengguna internet laki-laki dan perempuan. Pada 2018 pengguna internet laki-laki mencapai 42,31 persen dan perempuan sebanyak 37,49 persen. Sementara pada 2019, laki-laki mencapai 53,13 persen dan perempuan 46,87 persen. Selain itu, mengutip Katadata, pengguna komputer perempuan mencapai 13,77 persen dan laki-laki 15,17 persen.
Menurut Fida Heyder, Head Consumer Apps Marketing Google Indonesia, kesenjangan akses digital itu berpengaruh pada tingkat kesetaraan gender di Indonesia. Apalagi dalam laporan World Economic Forum’s Global Gender Gap Report 2021 Indonesia berada di peringkat 101, sementara tahun sebelumnya berada di peringkat 85.
“Indonesia mengalami penurunan peringkat drastis. Kesetaraan gender masih banyak gap dan progres tahun kemarin bukan positif, tetapi negatif. Ini yang membuat (Google) ingin mengingatkan kembali masyarakat Indonesia isu kesetaraan gender penting,” ujarnya dalam Press Briefing yang sama.
Baca juga: Apa Itu Hak Digital dan Mengapa Perempuan Perlu Paham Soal Ini?
Hambatan Perempuan di Ruang Digital
Mengutip laporan Toward Gender Equity Online (2019) oleh Google tentang akses digital perempuan di Indonesia, Bangladesh, Brazil, India, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan, perempuan mengalami keterbatasan akses internet karena lingkungan yang membatasi. Keluarga, misalnya, melarang terlalu sering mengakses internet sebab ada kekhawatiran atas keselamatan anggota keluarga perempuan. Selain itu, ketakutan terpapar konten tidak senonoh yang dinilai dapat merusak nilai dan moral.
Sementara itu, laporan Hak-hak Daring Perempuan dari World Wide Web Foundation (2020) menemukan, hambatan perempuan dalam mengakses internet berupa kendala waktu dan keterjangkauan biaya data, sehingga harus membatasi penggunaan internet. Selain itu, perempuan di pedesaan mengatakan, menahan diri untuk tetap luring karena pengetahuan tentang literasi digital yang masih kurang. Hal itu dipengaruhi ketimpangan pendapatan, akses perangkat digital, pendidikan, dan budaya yang tidak menyorot kebutuhan perempuan.
Karenanya, ketika perempuan mengakses internet mereka cenderung lebih jarang menciptakan konten, menerbitkan entri blog, dan memberi komentar dibanding laki-laki. Laporan tersebut menuliskan: “Tanpa partisipasi perempuan sebagai pencipta, internet akan terus terbangun dengan bias sudut pandang laki-laki dan gagal memanfaatkan pengetahuan, bakat dan kontribusi penuh dari seluruh lapisan masyarakat.”
World Wide Web Foundation menyarankan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ranah daring dapat dilakukan dalam beberapa hal, seperti membangun kebijakan berdasarkan laporan yang menyasar langsung pengalaman perempuan di dunia maya atau kesenjangan dalam mengakses ruang digital.
Baca juga: Belajar dari Kasus Stella: UU ITE Bisa Halangi Perlindungan Konsumen
Selain itu, meningkatkan rasa aman dan privasi perempuan di dunia maya, pemerintah mempromosikan dan mendorong pemahaman terkait literasi digital agar perempuan dapat menggunakan dan menjelajahi internet. Untuk menutup kesenjangan digital itu, perempuan juga didorong bergerak sebagai pegiat yang mengembangkan dan memberi inovasi terkait teknologi.
Untuk meningkatkan literasi digital, lanjut Fida, Google memiliki program Bangkit, mempersiapkan siswa untuk sertifikasi digital dalam bidang pengembangan mesin, seluler, dan cloud computing. Selain itu, program Women Will untuk mengajak perempuan wirausaha memanfaatkan teknologi dan perangkat digital agar bisnisnya berkembang.
“Saat berselancar di internet dan menemukan konten yang bias gender juga bisa memberikan masukan kepada kami agar secara internal Google bisa memberi flag atau peringatan untuk konten tersebut. Jadi kalau melihat, tolong diberi masukan karena membersihkan informasi tidak gampang dan harus saling membantu,” kata Fida.
Comments