Beberapa waktu lalu saya mendapat giliran jaga malam selama empat hari berturut-turut, salah satunya untuk membantu sebuah persalinan darurat. Sampai sekarang saya masih terbawa perasaan emosional saat itu. Saya tahu seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diderita pasiennya, tapi hal ini sangat mengusik hati saya.
Waktu itu tengah malam, seorang perempuan 21 tahun, sebut saja Ita, datang dengan rujukan dan diantar oleh dua orang bidan dengan indikasi Preeklampsia Berat (PEB) -- sebuah komplikasi pada kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah tinggi dan tanda-tanda kerusakan organ, yang dapat menimbulkan sejumlah komplikasi lain.
Ita dirujuk ke IGD dalam keadaan pembukaan lengkap, tapi dia tidak terlihat hamil karena tertutup besar tubuhnya serta baju longgar dan jaket tebal. Ita hanya diantar kakak iparnya. Dari bidan saya mengetahui bahwa dia belum menikah dan datang ke bidan pun sudah dalam keadaan pembukaan lengkap.
“Maaf Bu Dokter, saya tadi buru-buru. Nggak sempat anamnesis banyak terus langsung kesini karena tensi Ita tinggi sekali, 170/100,” ujar bidan.
Saya pun melakukan anamnesis, atau teknik pemeriksaan dengan percakapan antara dokter dan pasien secara langsung, untuk mendapatkan informasi dan data mengenai pasien dan kondisi sejarah medisnya.
Namun ternyata sulit sekali mengorek informasi dari Ita. Ia tidak ingat kapan hari pertama haid terakhir, sehingga tidak bisa diketahui dengan pasti umur kehamilannya. Lalu dari informasi yang berubah-ubah, kami simpulkan umur kehamilannya baru 35 minggu, jadi masih prematur.
“Bu Dokter, Ita tidak pernah periksa ANC sebelumnya,” ujar bidan, mengacu pada Antenatal Care atau pemeriksaan kehamilan secara rutin.
Sambil menyuruh bidan IGD mengambil sampel air seni Ita untuk pemeriksaan protein urin, saya kembali melakukan anamnesis.
Ita hamil sepulang merantau untuk bekerja dari Bandung bulan Maret lalu. Pacarnya meninggalkannya begitu saja. Lalu Ita berhenti dari pekerjaannya di Bandung dan kembali ke Temanggung. Ia begitu malu karena hamil di luar nikah sehingga sangat merahasiakan kehamilan ini dan tidak memberitahu siapa pun, termasuk kakak ipar yang mengantarnya saat itu. Kakak iparnya baru mengetahui kehamilan ini setelah bidan yang merujuk memberitahu bahwa Ita segera akan bersalin. Di daerah, memang warga seringkali datang ke bidan untuk memeriksakan kesehatan meskipun tidak hamil.
Bidan pengantar kemudian pamit pulang dan tinggal kami bertiga di IGD: saya, satu bidan, dan seorang perawat.
Malam itu menjadi malam yang sangat sibuk karena dalam jeda 15 menit, datang seorang perempuan hamil yang juga menjelang persalinan. Saat kami sedang sibuk dengan Ita, ternyata pasien baru ini juga sudah dalam pembukaan lengkap. Jadi kami harus berlarian ke sana ke mari untuk menolong dua persalinan sekaligus, dua-duanya mengalami Preeklampsia Berat. Dengan bantuan satu orang bidan tambahan dari ruang bersalin, syukurlah kedua perempuan ini dapat melahirkan spontan di IGD tanpa komplikasi lanjutan.
Setelah bayi lahir, kami melanjutkan dengan Inisiasi Menyusui Dini, prosedur dimana seorang bayi yang baru lahir diberikan ke pelukan ibu untuk langsung disusui. Ita tidak mau memeluk bayi yang ada di pelukannya. Karena takut terjatuh, saya langsung memegangi bayinya. Saya lihat mata Ita nanar, tidak menangis tapi melihat dengan pandangan kosong.
“Bu Dokter, ini apa sih kok kayak lilin?” Ita menunjuk ke sekujur tubuh bayinya.
“Bu, itu bawaan air ketubannya, setiap bayi baru lahir memang seperti itu.”
Dia heran, “Tapi bersih kan?” Ternyata dia jijik melihat bayinya sendiri sehingga tidak mau memeluk bayinya.
“Bersih dong Bu, ‘kan dari dalam perut Ibu. Ayo dipeluk supaya nggak kedinginan, itu lihat bayinya cari-cari puting Ibu.”
Ita hanya memegang seadanya. Saya berpikir dengan sedih, apa jadinya anak ini nanti. Baru lahir saja ibunya sudah mengabaikannya. Siapa yang akan selanjutnya mengurus anak ini? Ayah tidak ada, ibu pengangguran, akan seperti apa masa depannya?
Saya teringat dengan dua orang teman dekat saya. Dalam setahun terakhir, dua orang teman dekat saya hamil di luar nikah dan keduanya memutuskan untuk aborsi, tanpa mengetahui satu sama lain. Teman saya yang pertama hamil oleh atasannya di kantor yang sudah berkeluarga. Dan teman saya yang kedua, memutuskan aborsi karena seorang anak saat ini tidak sesuai dengan rencana masa depan yang sudah ia susun.
Walaupun saya disumpah untuk menghargai setiap nyawa sejak saat pembuahan, banyak dukungan yang saya berikan untuk kedua teman saya ini. Setidaknya saya harus memastikan mereka menjalani aborsi dengan aman walaupun saya tidak membantu dalam prosesnya.
Bukannya saya pro-aborsi, tapi kehamilan sudah terjadi. Orang-orang selalu akan menyalahkan, “Siapa suruh seks di luar nikah?”, “Siapa suruh seks tidak aman?”. Saya yakin kedua teman saya sudah mengetahui risiko tersebut, dan percuma protes atas masalah yang sudah terjadi. Kita harus mencari solusi. Dalam kasus Ita, mungkin ia tidak memiliki pengetahuan tentang seks yang aman, serta akses dan biaya yang cukup untuk menjalani aborsi yang aman sehingga ia membiarkan kehamilannya sampai masa persalinan ini.
Saya merasakan tidak bahagianya hidup dalam pengabaian orangtua, dan itu membentuk diri saya yang sekarang. Saya sangat menghargai dan merasa keputusan yang diambil kedua teman saya adalah keputusan terbaik yang mereka ambil untuk dirinya sendiri dan anak-anak yang tidak pernah mereka lahirkan.
NS adalah seorang dokter yang baru lulus. Prihatin dengan stigma seks luar nikah dan kehamilan di luar nikah, peduli dengan kebebasan beragama, serta tumbuh kembang anak dari keluarga ekonomi dan pendidikan rendah di Indonesia.
Comments