“Bibi, Mama punya Papop dan Papa Al punya Mama Tia. Kok Bibi enggak punya suami?”
Pulang untuk liburan Lebaran dan mendapatkan pertanyaan itu dari Gira, keponakan perempuanku yang masih berusia delapan tahun, adalah sesuatu yang benar-benar di luar dugaan. Butuh beberapa detik bagiku untuk menjawabnya.
“Hmm...enggak tahu. Mungkin belum dikasih sama Tuhan.”
“Oh.”
Respons kalem ini mengejutkan diriku sendiri. Tapi, ya, konyol saja kalau kesal gara-gara pertanyaan polos anak kecil. Berbeda kalau itu datang dari orang dewasa, yang biasanya punya niat lain di balik pertanyaan semacam itu.
Banyak orang dewasa di Indonesia yang akan langsung mencari-cari kesalahanmu bila, sebagai perempuan di atas usia 30, kamu masih saja melajang. Daftarnya bisa panjang, mulai dari kamu terlalu gemuk, terlalu pintar sampai bikin takut laki-laki, terlalu lantang, tidak seperti kakak perempuanmu (yang menurut mereka lebih cantik dan “ideal” – apa pun maksud mereka), dan lain sebagainya.
Beda dengan anak-anak. Mereka hanya penasaran, terutama bila orang tua mereka punya relasi sehat (setidaknya di depan mereka). Lewat mata polos anak-anak, orang dewasa yang berbahagia seperti itu. Berpasangan, menikah, dan kemudian menghadirkan anak, seperti yang dilakukan orang tua mereka.
Aku menghargai perhatian Gira. Dia hanya ingin tahu alasannya. Sebagai seorang anak perempuan, dia belum mengetahui kerumitan hidup orang dewasa. Tidak seperti di banyak cerita dongeng dan film roman, hubungan atau pernikahan tidak secara ajaib berhasil begitu saja. Butuh kerja keras dari kedua belah pihak secara terus menerus.
Bahkan sebagai perempuan lajang, kamu juga tahu bahwa hanya karena kamu mencintai seseorang, tidak berarti mereka akan otomatis balas mencintaimu. Seringnya, kamu lah yang lebih banyak berakhir dengan patah hati dan kekecewaan. Brengseknya, kamu tidak bisa berharap seluruh dunia akan mengerti dan bersimpati padamu. Kamu harus siap bila mereka memilih untuk menyalahkanmu dan hanya kamu karena dianggap gagal mendapatkan suami sesuai “tenggat waktu” buatan mereka.
Baca juga: Surat Cinta untuk Anak-anak Perempuan di Indonesia
***
“Apa itu?” tanya Gira di hari kedua Idulfitri. Aku sedang membuka kado Lebaran dari teman baikku. “Cincin?”
“Apa? Bukan.” Kutunjukkan dua botol parfum dalam kemasan plastik. “Ini dari teman dan teman Bibi perempuan.”
“Oh.” Dia terlihat agak kecewa. “Aku kira itu cincin kawin.”
Aku tak bisa menahan tawaku. “Bukan, Giraku,” kuberitahu pelan-pelan. “Bukan begitu caranya. Kalau ada yang mau menikahi Bibi, dia tidak akan mengirimkan cincinnya lewat pos. Dia harus kemari dan memberikannya sendiri.”
“Oh.”
“Dan,” buru-buru kutambahkan, mumpung kami masih membahas hal itu, “kalau ada laki-laki yang mau menikahi Bibi, dia harus tanya Nini dulu.” Yang kumaksud adalah ibuku.. “Dia harus mengenal Nini, mama kamu, kamu, kakak-kakak dan adik laki-laki kamu, om kamu Papa Al … seluruh keluarga. Dia harus belajar menyayangi kalian semua dan mencoba akur sama teman-teman Bibi dulu sebelum bisa melamar Bibi.”
Tentu saja aku tidak mengungkapkan beberapa bagian realitas hidupku. Aku tidak ingin membuatnya takut dengan banyak hal yang pernah kualami sebagai manusia dewasa. Lagi pula, dia masih anak-anak. Dia tidak perlu tahu bahwa saat aku berhubungan dengan pacar keduaku, banyak temanku yang tidak setuju. Untunglah, tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa laki-laki itu ternyata tukang main perempuan dan seseorang dengan kepribadian narsistik.
Baca juga: 5 Pesan untuk Anak Perempuan Agar Tangguh dan Mandiri
Dia juga tidak perlu tahu bahwa aku pernah berkencan daring dengan seorang laki-laki lain yang, tanpa kuketahui, ternyata adalah predator seksual dan mengincar anak-anak perempuan (untunglah kini dia dipenjara di luar negeri!). Aku bahkan tidak memberitahu keluargaku sendiri bahwa setelah liburanku ke luar negeri, aku malah sempat depresi berat dan terpikir untuk bunuh diri.
Aku tidak tega memberitahu Mamaku sendiri bahwa saat itu aku sampai harus ke terapis. Sebagian karena rasa malu, sebagian lagi karena rasa takut akan mempengaruhi kesehatan fisik beliau dengan tambahan rasa khawatir dan stres tidak perlu. Aku memilih bercerita pada teman-temanku, sistem dukungan yang selama ini lebih sering menjadi andalanku sejak mulai tinggal sendiri.
Aku berharap dia akan tumbuh dengan kepercayaan diri lebih besar dari kepercayaan diriku sekarang. Kuharap mereka tak akan menilainya hanya dari kecantikan fisiknya belaka–atau apakah ada laki-laki yang menyukainya atau tidak.
Karena telah melihat dan mengalami cukup banyak keburukan di dunia ini, kini aku benar-benar mengkhawatirkan hidup keponakan perempuanku, termasuk kesehatan mental dan kesejahteraannya. Aku tahu aku bukan ibunya, tapi aku tetap menyayangi dan mengkhawatirkannya. Mungkin aku berharap terlalu banyak, tapi kuharap hidup akan lebih baik untuk perempuan saat Gira dan generasinya tumbuh dewasa.
Aku berharap dia akan tumbuh dengan kepercayaan diri lebih besar dari kepercayaan diriku sekarang. Kuharap mereka tak akan menilainya hanya dari kecantikan fisiknya belaka–atau apakah ada laki-laki yang menyukainya atau tidak. Gira lebih dari semua itu. Dia manis, cerdas, lucu, dan berani. Semua sifatnya itulah yang membuatnya cantik di mataku.
Kuharap Gira akan belajar bahwa punya pacar itu bukan segalanya, bahwa dia tetap cantik dan berharga meskipun tidak punya pacar. Kuharap dia akan tetap menjaga hubungan erat dengan keluarga dan teman-temannya, bahkan setelah dia punya pacar atau berhubungan dengan seseorang yang dia inginkan. Kuharap dia akan masih mau mendengarkan orang-orang yang benar-benar menyayanginya, berjaga-jaga kalau dia tidak bisa melihat “pertanda buruk” dari seseorang yang tengah menjadi kekasihnya.
Kuharap Gira akan tetap mencari cara untuk berbahagia, bahkan meskipun sebagai perempuan lajang. Jika dia memutuskan untuk menikah, kuharap dia akan memilih seseorang yang akan selalu memperlakukannya dengan baik–dengan rasa hormat dan kesetaraan dalam hubungan, bukan rasa kepemilikan orang itu atas dirinya.
“Bibi, kalau menikah nanti, habis itu Bibi akan punya bayi?”
“Enggak tahu, mungkin aja.” Aku tersenyum pada keponakanku. “Mau mendoakan Bibi?”
“Maulah.”
“I love you, Gira-ku.”
“I love you, Bibi-ku.”
Lalu kami pun berpelukan.
Comments