Ini adalah kali pertama saya kembali ke bioskop sejak pandemi melanda. Penuh semangat, saya duduk di bangku paling atas studio. Film pilihan saya, The Medium (2021) yang digadang-gadang sebagai tontonan terseram itu memang belum diputar. Namun, saya sudah lebih dulu terganggu saat melihat banyaknya anak yang ikut masuk bioskop. Padahal Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia mengklasifikasikan film tersebut untuk penonton berusia 17 tahun ke atas, karena mengandung adegan kekerasan dan kekejaman. Bahkan, IMDB juga mencatat, film ini memuat adegan seks dan ketelanjangan, rokok, obat-obatan, dan alkohol.
Saya miris melihat anak-anak itu harus menyaksikan The Medium. Bahkan sebagai orang dewasa, saya cukup merasa terganggu dengan berbagai adegan. Lalu kenapa banyak orang tua yang kurang peduli dengan ini sebelum memutuskan mengajak anak-anaknya menonton film di bioskop. Tak cuma khawatir dengan visual mengganggu, saya juga takut tak bisa menikmati film dengan tenang karena anak-anak yang ribut, sibuk bertanya, dan kerap menangis di tengah film.
Mungkin kegelisahan saya terdengar egois. Namun, saya merogoh kocek enggak sedikit, demi mendapatkan pengalaman nonton yang memuaskan. Masa iya, harus menoleransi 131 menit yang saya punya dengan kegaduhan?
Ternyata, permasalahan ini bukan hanya jadi perhatian saya, melainkan banyak warganet di Twitter. Pekan lalu, mereka ramai membahas status pengguna Facebook, yang bikin aksi protes atas ketidaknyamanannya menonton di bioskop. Singkat cerita, ia memilih melanggar peraturan bioskop, untuk tidak membawa makanan dan minuman dari luar.
Penyebabnya sama. Ia merasa terganggu dengan bayi dan anak-anak di dalam studio, yang diajak orang tuanya menyaksikan film bukan untuk usianya. Sementara, ia sudah membeli tiket dan makanan dengan harga cukup mahal. Harapannya, ia bisa menonton film tanpa merasa terganggu.
Lepas dari protes warganet tersebut, sebenarnya kesadaran itu perlu dimiliki orang tua. Sama seperti penonton pada umumnya, mereka juga punya peran dalam menciptakan kenyamanan penonton bioskop. Mungkin tanggung jawab itu terkesan cukup besar dan membebani. Namun, hal ini dapat dilihat sebagai dampaknya bagi anak, ketika mereka menyaksikan film yang diperuntukkan bagi orang dewasa.
Magdalene merangkum beberapa cara, yang dapat dilakukan orang tua sebelum mengajak anaknya menonton di bioskop.
Baca Juga: Memperbesar Volume Perempuan dalam Film Indonesia
1. Menonton Sesuai Usianya
Salah satu aturan yang enggak bosan diingatkan oleh sineas, LSF, maupun pihak bioskop, adalah menonton film yang diperuntukkan sesuai usianya. Selain diabaikan orang tua dengan mengajak anaknya, anak-anak dan remaja di bawah umur juga kerap melakukan hal serupa.
Yang belakangan ini menjadi sorotan adalah KKN di Desa Penari (2022). Perbincangan tentang film ini juga mencakup antusiasme orang tua yang rela membawa anak. Padahal, LSF mengategorikannya dalam dua rentang usia. Versi uncut disajikan untuk 17 tahun ke atas, dan versi cut untuk 13 tahun ke atas.
Sebenarnya ada berbagai faktor penyebab orang tua melakukan hal tersebut. Enggak ada yang menjaga anak, misalnya. Kenyataannya, enggak semua orang tua memiliki asisten rumah tangga, babysitter, atau bisa menitipkan anak pada kakek neneknya.
Pun, imbauan untuk menonton film sesuai usia dilihat sebagai angin lalu. Anggapannya, selama anak-anak ada di bawah pendampingannya, hal tersebut termasuk bentuk tanggung jawab mereka sebagai orang tua. Padahal, imbauan itu dibuat untuk melindungi anak-anak dari konten yang berpotensi membahayakan mereka.
Contohnya adegan kekerasan—secara fisik maupun verbal, mengandung konten seksual, rokok, obat-obatan, dan alkohol. Dalam hal ini, orang tua kurang memperhatikan bahwa adegan tersebut berdampak pada psikologis anak.
Sonal Sood, psikoterapis asal India mengatakan, anak-anak—berusia dua tahun sekalipun—sangat peduli dengan konten yang disaksikan. Meskipun orang tua sering beranggapan, anak-anaknya belum memahami apa yang disaksikan.
“Konten kekerasan, perilaku seksual, trauma, dan storyline bergender memiliki dampak jangka panjang pada seorang anak,” katanya kepada The Indian Express. Hal itu disebabkan oleh otak anak yang mempelajari segala sesuatu secara visual. Karena itu, apa pun yang muncul di layar akan berpengaruh pada mereka.
“Anak-anak menginternalisasi apa pun yang dipaparkan pada mereka. Lalu menjadi suara di kepala dan lingkungan sekitarnya,” sambung Sood.
Misalnya ketika menonton film superhero. Ketika karakter pahlawan melakukan tindakan kekerasan untuk mengalahkan penjahat, anak-anak bisa menangkap bahwa kekerasan merupakan hal yang dirayakan dan patut diapresiasi. Atau kata-kata dan gestur tubuh yang kurang pantas.
Dalam Impact of media use on children and youth (2003), Paediatr Child Health mengungkapkan alasannya. Menurut mereka, di usia tiga sampai empat tahun, persepsi dan harapan anak-anak tentang dunia di sekitarnya mulai berkembang. Namun, anak-anak belum mampu memandang gambaran secara keseluruhan. Akibatnya, mereka akan melihat dunia sebagai tempat yang membahayakan dan penuh kejahatan.
Selain itu, konten yang membahayakan anak juga dapat meningkatkan kecemasan atau mimpi buruk, setelah menyaksikan sesuatu yang menyeramkan. Ditambah ketidakmampuan mereka menjelaskan emosi yang dirasakan.
Namun, perkara menonton film sesuai usia sebenarnya bukan hanya tanggung jawab penuh orang tua. Pihak bioskop pun sebenarnya perlu “bekerja sama” dengan orang tua, dalam menciptakan kenyamanan di lingkup bioskop.
Salah satunya dilakukan Alamo Drafthouse, franchise bioskop di Amerika Serikat, yang cukup ketat dalam menerapkan peraturannya. Dalam situsnya disebutkan, anak di bawah umur wajib menonton dengan pendampingan orang tua atau wali—pun konsekuensinya akan diusir apabila tanpa pengawasan.
Kemudian, anak di bawah usia dua tahun tidak diizinkan masuk, kecuali pada pertunjukkan tertentu yang dikhususkan untuk semua usia. Pada pertunjukkan yang disebut “Alamo For All” itu, pihak bioskop mengizinkan orang tua untuk membawa anak kecil—termasuk bayi.
Mereka juga menyalakan lampu, mengecilkan audio dari speaker, penonton diizinkan mengobrol dan berpindah tempat duduk, serta penonton yang terlambat diizinkan masuk ke studio.
Baca Juga: Hiburan Sekaligus Literasi Film di Bioskop Alternatif
2. Menonton Film Sebelum Mengajak Anak
Ketika film-film superhero bermunculan, biasanya anak-anak akan excited dan menyusun rencana untuk menontonnya di bioskop. Namun, acap kali ada adegan tertentu yang tidak orang tua inginkan, untuk disaksikan anak-anak. Misalnya memuat kekerasan atau konten seksual.
Sebagai salah satu upaya untuk menilai, apakah film itu layak disaksikan, orang tua dapat menontonnya terlebih dahulu. Lalu mendiskusikannya dengan anak-anak, terkait adegan yang perlu menjadi perhatian, dan alasan apakah sebaiknya mereka menyaksikannya atau tidak.
Namun, apabila dianggap memakan waktu dan biaya lebih, opsi lainnya ialah membaca ulasan film. Selain membahas teknis, sebagian pengulas film menjelaskan alur cerita dengan terperinci. Mereka juga menyebutkan adegan tertentu yang memicu, atau tidak diperuntukkan bagi anak-anak.
“Meskipun beberapa adegan kekerasan tidak menunjukkan darah, contoh bahasa nonverbal tidak eksplisit dan sedikit membahas tentang seksualitas, Eternals (2021) mungkin tidak cocok untuk segala usia,” tulis Emily Clute di Screen Rant.
Ia menilai dengan rating PG-13, ada adegan seks yang menampilkan bagian tubuh dari pinggang ke atas. Meskipun hanya beberapa detik, kemungkinannya orang tua akan lebih berhati-hati saat ingin membawa anaknya.
Begitu pula dengan adegan perkelahian. Jika dibandingkan film Marvel lainnya, Clute melihat kekerasan dalam Eternals mungkin lebih bisa “dinikmati”. Namun, belum tentu penilaian serupa juga dilihat oleh anak kecil. Mereka bisa lebih sensitif dan menganggap adegan itu menakutkan.
Sebenarnya kuncinya terletak pada literasi orang tua. Berbagai situs telah menyediakan sinopsis dan mengategorikan film berdasarkan usianya. Bahkan, IMDB memiliki panduan informasi bagi orang tua, yang dibagi ke beberapa kategori; Sex & Nudity, Violence & Gore, Profanity, Alcohol, Drugs & Smoking, serta Frightening & Intense Scenes.
Ada juga Kids In Mind, situs yang memberikan informasi objektif untuk orang dewasa, terkait konten film. Tujuannya adalah membantu menentukan apakah sebuah film patut ditonton bersama anak-anaknya.
Baca Juga: 4 Alasan Kenapa Nobar 'Online' Wajib Kamu Coba
3. Pertimbangkan Menonton di Rumah
Beberapa kali menonton film di bioskop, saya mendapati anak-anak sibuk mempertanyakan konten film kepada orang tuanya. Ujung-ujungnya, orang tua berusaha menjelaskan sepanjang film. Tentu ini bukanlah kesalahan pada anak. Mereka hanya ingin menjawab rasa penasarannya.
Namun, diskusi antara orang tua dan anak itu mengganggu kenyamanan penonton lain. Sebuah hal yang bisa dicegah, apabila orang tua mempertimbangkan agar menyaksikan film tersebut bersama anaknya di rumah.
Selain penonton lain yang merasa terganggu, yang ingin dititikberatkan di sini adalah kenyamanan anak sendiri. Dalam tulisannya di HuffPost, psikoterapis dan pendidik orang tua Andrea Nair menjelaskan, adegan intens dalam film lebih bisa ditoleransi di layar yang lebih kecil.
“Anak-anak bisa mengontrol volume, menghentikan film, atau melewati beberapa adegan jika diperlukan,” jelasnya.
Menurut Nair, anak juga akan merasa lebih nyaman jika dipeluk dan bisa mendengar reaksi orang tuanya saat menonton film. Terutama saat ada adegan yang dianggap menyeramkan atau menyedihkan. Orang tua bisa menghentikan filmnya selama beberapa waktu, untuk membantu anaknya meregulasi emosi berdasarkan perasaan dan pemikiran mereka.
Yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah kerasnya audio dari speaker di bioskop. Sistem suara di dalam studio dapat mencapai 85 desibel, yang berpotensi menyebabkan gangguan pendengaran pada anak-anak.
“Suara di atas 85 desibel berbahaya bagi telinga bayi dan anak-anak, karena akan merusak koklea di bagian dalam telinga,” jelas Dr Ahed Bisharat, konsultan dokter anak di Healthpoint Hospital, Abu Dhabi.
Walaupun terpapar satu kali tidak cukup merusak gangguan pendengaran, jika dilakukan berulang justru dapat menimbulkan gangguan pendengaran permanen. Karena itu, anak-anak disarankan menggunakan ear plugs atau ear muff.
Comments