Seperti dejavu, guncangan ekonomi besar pernah terjadi di dunia pada 2008. Agak mirip dengan kondisi sekarang di mana pandemi memporakporandakan perekonomian global.
Saat itu, pasar finansial dunia terguncang akibat pecahnya gelembung kredit perumahan di Amerika Serikat (AS), dipicu derasnya aliran dana kepada para peminjam yang sebenarnya tidak mampu membayar. Rentetan kebangkrutan sejumlah lembaga peminjaman mencapai puncak dengan jatuhnya bank investasi Lehmann Brothers.
Keterhubungan pasar finansial global membuat krisis menular ke penjuru dunia: saham-saham berguguran, harga komoditas melonjak, dan negara-negara maju mencatatkan pertumbuhan negatif. Sementara, pertumbuhan ekonomi negara berkembang melambat.
Di Indonesia, pasar keuangan – termasuk saham dan obligasi – terkena cipratan dampak krisis ini. Namun, dampak krisis global ini masih dapat diredam karena pertumbuhan ekonomi yang lebih bergantung pada permintaan domestik alih-alih ekspor, kuatnya relasi perdagangan antara negara berkembang, serta gerak cepat otoritas keuangan dan Bank Indonesia dalam meredam guncangan. Pertumbuhan ekonomi pun lekas pulih ke kisaran 5 persen pada 2010.
Kini, diskusi mengenai kemungkinan terjadinya guncangan ekonomi global bergaung kembali – salah satunya karena terimbas invasi Rusia ke Ukraina. Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi global 2023 menjadi 2,7 persen, lebih lambat dibandingkan dengan prediksi tahun ini sebesar 3,2 persen.
Lembaga tersebut mengingatkan, pada 2023, sebagian orang akan “merasakan resesi” dalam kondisi perekonomian yang “menyakitkan”.
Apa beda dari krisis 2008 dan kemungkinan resesi yang akan datang? Bagaimana dampakanya ke Indonesia dan langkah yang sebaiknya ditempuh pemerintah?
The Conversation Indonesia mewawancarai sejumlah pakar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Baca juga: Setahun Pandemi: Bokek, Terinfeksi, dan Frustrasi
Pembeda
1. Penyebab yang lebih kompleks
Menurut Fajar B. Hirawan, Kepala Departemen Ekonomi Center of Strategic and Policy Studies (CSIS), perbedaan yang paling mencolok adalah krisis 2008 disebabkan oleh gangguan di sektor keuangan. Sementara, resesi global saat ini lebih disebabkan karena adanya gangguan rantai pasok (supply chain), yang diawali oleh pandemi COVID-19 serta diperparah oleh Perang Rusia-Ukraina dan kemungkinan tensi perang dagang antar negara.
Bhima Yudhistira Adhinegara Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengamini hal ini. Ia menambahkan, negara-negara sebetulnya sudah dihantam resesi semenjak munculnya pandemi.
“Belum pulih, sudah ada multifaktor yang disebut ‘badai yang sempurna’ karena ada Perang di Ukraina. Sekarang Arab Saudi dengan AS juga sedang tegang, harga minyak mintah naik dan turun dan sudah berpengaruh terhadap harga BBM (bahan bakar minyak) di dalam negeri, krisis pangan, dan juga krisis lingkungan. Nah, itu faktornya jadi lebih kompleks dibandingkan 2008 dan rentang resesinya semakin pendek,” ucapnya.
Muhamad Iksan, peneliti dari Universitas Paramadina menambahkan, berbeda dengan resesi yang mungkin terjadi, episentrum krisis 2008 jelas berada di sektor keuangan, sehingga permasalahan dan solusinya lebih mudah diidentifikasi.
Baca juga: Antara Dirumahkan dan PHK: Pentingnya Berserikat di Tengah Pandemi
2. Potensi dampak ke negara berkembang meluas
Penyebab resesi yang beragam pun membuat dampak guncangan ekonomi kali ini menjadi lebih rumit.
Mohamad Dian Revindo, Kepala Grup Kajian Iklim Usaha dan Rantai Global LPEM FEB UI, mengatakan, resesi kali ini berpotensi mendorong stagflasi – kondisi ketika inflasi tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi dan dibarengi dengan tingginya angka pengangguran. Ini akan diperparah oleh lonjakan harga komoditas serta tergerusnya daya beli masyarakat. IMF memang memperkirakan inflasi global tahun ini dapat mencapai 8,8 persen.
Dengan variasi penyebab resesi – termasuk inflasi pangan dan energi akibat gangguan logistik selama pandemi dan Perang Ukraina – dampak krisis pun akan lebih luas. Tak seperti krisis sebelumnya, negara berkembang pun berpotensi mendapat hantaman besar.
“Perbedaan lain, pada 2008 sebagian besar yg terpukul oleh krisis adalah sektor keuangan dan lebih besar dampaknya ke negara maju. Saat ini, jika terjadi krisis dampaknya akan lebih merata ke seluruh negara baik maju maupun berkembang,” terang Revindo.
3. Ekonomi China terguncang, dampak ke Indonesia bisa lebih parah
Bhima berargumen dengan situasi sekarang yang terjadi secara global, risikonya Indonesia terdampak pun semakin besar. Tak seperti krisis 2008 yang lebih berpusat di AS dan Eropa, faktor China memainkan peran besar dalam guncangan ekonomi kali ini.
IMF menyebutkan bahwa kebijakan lockdown China menjadi salah satu faktor utama terganggunya logistik global dan menaikkan tingkat inflasi dunia, sehingga turut mendorong terjadinya resesi.
Di sisi lain, China merupakan destinasi ekspor maupun negara asal impor tebesar Indonesia, dengan kontribusi terhadap neraca ekspor dan impor masing-masing 23 persen dan 29 persen pada 2021. Terganggunya perekonomian China tentunya memiliki efek domino ke perekonomian Indonesia.
“Transmisi resesinya (ke Indonesia) bukan dari AS atau Eropa, tapi yang dikhawatirkan transmisi resesinya itu justru dari China,” ujarnya.
Baca juga: Duh, Angka Pengangguran Muda Naik Gara-gara Pandemi
Langkah yang Harus Ditempuh Pemerintah
Bhima memiliki beberapa masukan yang mesti ditempuh pemerintah dalam memitigasi dampak resesi, misalnya dengam pengarusutamaan dukungan kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
“Karena, dalam setiap krisis yang pernah dialami indonesia, bantalan untuk serapan tenaga kerja itu ada di UMKM,” terang Bhima.
UMKM terbukti ampuh menjadi penopang ekonomi pada krisis-krisis yang pernah dialami Indonesia, seperti pada krisis finansial 1997-1997. Pasalnya, UMKM berfokus pada permintaan domestik alih-alih mengandalkan perdagangan internasional.
Menurut Bhima, upaya digitalisasi juga penting karena bisa memperluas pasar dan efisiensi kegiatan usaha mikro.
Selain itu, pemerintah selayaknya memberikan relaksasi pajak yang berfokus pada konsumen – misalnya pajak pertambahan nilai (PPN) – untuk menstimulasi konsumsi masyarakat. Ini akan membantu pertumbuhan ekonomi di tengah lesunya kegiatan ekspor-impor.
Fajar menambahkan, selain memperkuat kebijakan fiskal yang lebih berorientasi pada stabilitas, pemerintah harus fokus menyalurkan program-program bantuan sosial guna menjaga stabilitas daya beli masyarakat, terutama masyarakat miskin dan rentan.
Ia juga menekankan bahwa resesi ini merupakan bahan pelajaran bahwa perekonomian dunia ini saling terhubung.
“Pada akhirnya perlu digarisbawahi bawa kerja sama ekonomi internasional itu sangat penting, strategic competition (persaingan strategis) seharusnya diubah menjadi strategic cooperation (kerja sama strategis),” pungkas Fajar.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments