Dalam prinsip hak asasi manusia (HAM), ada yang disebut sebagai pemangku kewajiban (duty bearer), yaitu negara, dan pemegang hak (rights holder), yakni masyarakat sipil. Negara jelas wajib melindungi, mempromosikan, dan memenuhi HAM rakyatnya.
Tapi HAM sendiri terbagi menjadi dua jenis, non-derogable rights (hak mutlak) dan derogable rights (hak yang bisa dibatasi). Hak berpendapat adalah hak mutlak yang bisa dibatasi.
Hak berpendapat adalah salah satu hak yang bisa dibatasi, yang dicakup dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang merupakan turunan dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR).
Lantas apa yang termasuk hak mutlak dalam ICCPR? Beberapa di antaranya adalah hak hidup, merasa aman, tidak disiksa, beragama, dan kemerdekaan dalam berpikir.
Mengacu pada Siracusa Principles (1995), prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan hak yang diatur ICCPR, kebebasan berpendapat adalah hak yang dapat dibatasi demi keamanan nasional, ketertiban hukum dan nama baik orang lain.
Tapi dalam beberapa kasus, pembatasan hak berpendapat juga berpotensi menjadi penyalahgunaan kekuasaan, atau hukum tidak tepat guna (misalnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU ITE).
Pembatasan kebebasan berpendapat tidak jarang berujung masalah, karena tidak tepat guna atau tidak kontekstual. Misalnya, kasus Prita Mulyasari yang sempat ditahan karena keluhannya ke suatu rumah sakit. Atau kasus Adlun Fiqri, aktivis Ternate yang sempat dikriminalisasi karena merekam dan menyebarkan video pungli pihak berwajib.
Lantas, konteks seperti apa yang dimaksud dalam pembatasan hak berpendapat?
Baca juga: Magdalene Primer: UU ITE Kriminalisasi Perempuan Korban Pelecehan Seksual
Seperti yang sudah disebutkan di atas, hak berpendapat dibatasi bila pendapat tersebut bisa mengancam keamanan, ketertiban hukum, dan nama baik orang lain. Tentu ini terjadi saat info tersebut terbukti tidak valid/hoaks, rekayasa, dan tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Dalam ICCPR yang mengatur hak sipil politik, khususnya derogable right dan non-derogable right, negara bersifat pasif dan akomodatif. Maka, hak berpendapat ideal adalah yang akomodatif terhadap kebebasan warganya dalam berefleksi terhadap pendapat mereka dalam perspektif keadilan restoratif, sehingga secara kolektif kita bias saling menjaga agar pendapat sesama tidak menimbulkan perpecahan dan mendorong kekerasan.
Bagaimana dengan upaya berpendapat dalam ekspresi yang merendahkan kalangan tertentu, khususnya yang terliyankan?
Baru-baru ini, ada kasus Ferdian Paleka, seorang YouTuber yang dijerat atas dasar UU ITE karena tidak ada dasar hukum lain yang menjadi acuan kasus prank-nya terhadap kalangan transpuan.
Kasus Ferdian mengingatkan kita pada kasus yang masih dalam konteks merendahkan martabat kalangan transpuan, yaitu kasus Mira di Cilincing. Mira adalah seorang transpuan yang meninggal dibakar hidup-hidup dan pelakunya bebas tidak terjerat hukum.
Kasus Ferdian Paleka dan Mira pun menjadi refleksi bersama tentang penegakan keadilan restoratif di Indonesia. Nyatanya, penegak hukum kita masih lebih serius menjerat masyarakatnya dari segi pembatasan kebebasan berpendapat, alih-alih mendorong keadilan restoratif agar masyarakat sadar bahwa isu Ferdian Paleka bukan sekedar isu hak berpendapat, tapi juga tentang martabat transpuan yang terliyankan.
Baca juga: Studi: Transgender Korban Terbanyak Persekusi Terhadap LGBT
Banyak pihak melihat kasus Ferdian Paleka sebagai kasus pembatasan hak berpendapat yang valid. Padahal, transpuan yang terkena prank juga bagian dari kalangan terliyankan seperti Mira, yang hak mutlaknya untuk hidup gagal dilindungi dan masih belum menemukan keadilannya. Tidakkah bisa penegak hukum kita memenuhi hak kalangan terliyankan sepenuhnya?
Ada banyak hal yang bisa kita refleksikan dari berbagai kasus terkait ITE belakangan ini. Dengan melihat hak kebebasan berpendapat yang terbatas dari segi HAM, kita juga menyadari bahwa ada hak-hak mutlak yang kerap gagal dilindungi negara seperti hak hidup, yang ironisnya masih jadi kemewahan bagi kalangan yang dimarginalkan seperti yang tercermin dari kasus Mira.
Negara tidak seharusnya memberi ruang untuk masyarakat saling mengkriminalisasi oleh pasal karet seperti UU ITE. Aturan karet ini bisa disalahgunakan oknum tertentu untuk mengalihkan isu kalangan terliyankan yang tidak dilindungi hak mutlaknya sebagai warga negara, serta mengkriminalisasi mereka yang berpendapat untuk menyuarakan kebenaran seperti Prita Mulyasari dan Adlun Fiqri.
Comments