“Aku dulu punya teman yang lumayan dekat. Selama berteman, aku merasa dipojokkan. Dia suka banget minta tolong ke aku, misalnya minta antar ke suatu tempat. Kalau aku menolak permintaannya, dia nanti ngambek dan ngediemin aku. Kadang mengancam juga, seolah-olah aku yang salah.”
Begitulah curhatan Desi, 29, karyawan swasta yang pernah terjebak dalam pertemanan toksik. Ia mengaku sempat jadi orang yang tidak enakan atau susah berkata tidak pada permintaan seseorang. Ia juga mudah merasa bersalah untuk suatu hal yang sebenarnya bukan merupakan kesalahannya.
Senada dengan Desi, Hanny, 23, marketing strategic planner juga merasakan pengalaman ini dari ibu kandungnya sendiri. Sang ibu adalah pribadi keras dan tidak suka dibantah. Jika Hanny tidak menuruti apa yang ibunya kehendaki, ia akan dicitrakan sebagai anak yang mengecewakan.
“Beliau sering kali menempatkan aku di posisi harus mengikuti apa kata beliau. Apa-apa harus ngikutin keinginan atau sesuai metode beliau. Dari hal paling kecil kayak harus bersihin rumah sampe hal-hal serius lainnya.”
Jika anaknya ogah-ogahan, ibu akan mengeluarkan kalimat sakti, seperti, “ Ibu sudah sering kasih tahu kamu, susah ya jadi ibu, enggak ada anaknya mau bantu, kalau enggak mau bantu nanti beli apa-apa jangan minta ibu.”
Baca Juga: Pacar Tukang ‘Gaslighting’ Menjebakku dalam Hubungan Toksik
Emotional Blackmail dan Siklusnya
Pengalaman yang dialami Desi dan Hanny relatif jamak ditemui. Rasa bersalah, kecewa, serta kepatuhan yang timbul dari manipulasi emosi ini kerap tidak kita sadari karena sudah terlalu lama ternormalisasi. Inilah yang dinamakan emotional blackmail.
Dilansir dari Healthline, emotional blackmail adalah istilah yang dicetuskan oleh Susan Forward, terapis, penulis, dan dosen pada 1997. Istilah itu mengacu pada tindakan manipulasi di mana seseorang memanfaakan perasaan sebagai cara untuk mengendalikan perilaku atau membujuk kita melakukan sesuatu dengan cara mereka.
Erika Myers, terapis berlisensi di Bend, Oregon dalam wawancaranya bersama Healthline menggambarkan emotional blackmail sebagai tindakan yang halus dan berbahaya. Ini umumnya dilakukan oleh orang-orang terdekat kita. Para emotional blackmailer atau pelaku pemeras emosional tahu betapa kita menghargai hubungan kita dengan mereka. Mereka tahu kerentanan kita.
Susan Forward dalam Emotional Blackmail: When the People in Your Life Use Fear, Obligation, and Guilt to Manipulate You (1997) lebih lanjut menjelaskan tentang enam tahap emotional blackmail.
Pertama, demand. Emotional blackmailer akan meminta korban melakukan sesuatu sesuai dengan permintaan mereka. Hal yang harus digarisbawahi adalah terkadang pelaku bahkan melakukan ini tanpa kata-kata atau non-verbal. Mereka bisa melakukan hanya dengan memainkan mimik atau gestur tubuh lainnya.
Kedua, resistance. Pelaku akan senang jika tidak ada perlawanan atau penolakan dari korban karena mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Oleh karena itu, strategi pemerasan emosional mereka berlaku hanya ketika korban berkata tidak pada permintaannya. Pada tahap inilah korban akan mulai merasa terpojokkan.
Ketiga, pressure. Jika pelaku belum mendapatkan apa yang dinginkan, mereka akan bersikeras memintamu untuk melakukan hal sama, apapun caranya. Mereka akan menciptakan rasa takut dan rasa bersalah, salah satunya dengan memberi tekanan yang menunjukkan bahwa korbannya sendiri adalah orang yang egois, tidak rasional, atau bahkan “penjahat” dalam hubungan itu.
Dalam konteks ini, korban mulai mempertanyakan realitas dan tindakan mereka sendiri yang sebenarnya tidak salah sama sekali.
Keempat, threats. Emotional blackmailer akan mengancam jika mereka tidak kunjung mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ini muaranya akan menimbulkan ketidakbahagiaan, ketidaknyamanan, atau rasa sakit bagi korban. Mereka menciptakan situasi di mana korban bertanggung jawab atas sesuatu yang akan terjadi pada mereka. Ancaman yang pelaku lancarkan dalam hal ini bisa berwujud ancaman tidak langsung dan tidak langsung.
Cara Mengatasi Emotional Blackmail
Berada di dalam lingkaran mematikan bersama emotional blackmailer akan membuat kita hidup dihantui rasa bersalah dan frustasi. Oleh karena itu, penting sekali untuk keluar dari lingkaran mematikan ini.
Berikut adalah tiga cara untukmu yang bisa kamu lakukan untuk mengatasi emotional blackmail:
- Terapkan SOS sebelum kamu merespons permintaaan
Seseorang yang mencoba memanipulasi, mungkin mendorong kita untuk segera menjawab permintaannya. Dalam keadaan kalut, mungkin kita akan lebih mudah menyerah pada permintaan seseorang sebelum sepenuhnya mempertimbangkan kemungkinan lain.
Baca Juga: 7 Cara Keluar dari Relasi Toksik di Masa Pandemi
Oleh karena itu Forward dalam bukunya memberikan tips pada kita untuk menerapkan SOS, yaitu:
STOP – Berikan waktu bagi dirimu untuk berpikir. Jangan terburu-buru mengambil keputusan dan langsung menuruti kemauan pelaku. Cobalah mengatakan pada pelaku “Saya tidak bisa memutuskan sekarang. Saya akan memikirkannya dan memberikan jawaban saya nanti.”
OBSERVE – Observasi dan identifikasi reaksi, pikiran, emosi, ketakutan, dan pemicu diri sendiri. Dengan meningkatkan pemahaman kita terhadap diri sendiri, kita akan bisa membalikkan keadaan dan mengambil alih kembali agensi kita yang berusaha direbut oleh pelaku.
STRATEGY- Menganalisis tuntutan dan dampak potensial dari kepatuhan kita terhadap pelaku dan diri kita sendiri. Tuntutan pelaku bisa berdampak pada kehidupan kita oleh karena itu kita harus mempertimbangkan kondisi kita saat permintaan dilayangkan oleh pelaku, risiko serta dampak yang akan muncul jika kita memenuhi permintaan yang ada.
Baca Juga: Waspada, Kekerasan Emosional Bisa Diam-diam Membunuhmu
- Kembangkan komunikasi non-defensif yang kuat
Sharon Ellison dalam bukunya Taking the War Out of Our Words With Powerful Non-Defensive (2002) mengungkapkan pelaku emotional blackmail sangat defensif dan komentar mereka sering menimbulkan konflik. Oleh karenanya, kita bisa menanggapi tekanan mereka dengan pernyataan seperti di bawah ini:
- Saya minta maaf jika kamu merasa kesal
- Saya bisa mengerti kenapa kamu berpikir atau berpendapat demikian
- Itu menarik
- Benarkah demikian?
- Berteriak, menangis, atau mengancam saya tidak akan menyelesaikan apapun. Yuk kita bicara ketika kamu sudah merasa lebih tenang.
- Oh iya benar juga ya kata kamu
Frasa ini adalah inti dari komunikasi non-defensif. Dalam sebuah siklus emotional blackmail, jangan membela atau menjelaskan keputusan kita sendiri dalam menanggapi tekanan, tapi cobalah frasa-frasa ini yang bisa kamu kembangkan sendiri.
- Tetapkan Batasan
Sharie Stines, terapis spesialis hubungan toksik yang berbasis di California mengatakan dalam Hack Spirit, orang-orang yang memanipulasi memiliki batasan yang buruk. Oleh karenanya, kita harus mengidentifikasi dan menetapkan batas-batasan kita sendiri. Tegaskan dengan jelas, tenang, dan konsisten batasan-batasan yang ada.
Menciptakan batasan akan membantu kita menciptakan jarak dari ketegangan fisik serta emosional dan membantu kita mengenal diri sendiri lebih baik untuk memahami pikiran, perasaan, dan emosi apa yang kita miliki. Hal ini pula yang akan menegaskan posisi kita di depan mata pelaku.
Ilustrasi: Karina Tungari
Comments