Hampir setiap memasuki siklus menstruasi, saya enggak bisa berhenti menonton ulang A Star Is Born (2018). Film itu menceritakan perjalanan Ally Campana (Lady Gaga) yang mengejar mimpi sebagai musisi. Di saat bersamaan, ia menjalin relasi romantis dengan Jackson Maine (Bradley Cooper), rock star yang alkoholik.
Meskipun beberapa dialognya hafal di luar kepala, film garapan Cooper tersebut enggak pernah gagal menyentuh perasaan saya. Namun, setelah bolak-balik menonton, saya baru menyadari, hubungan Ally dan Jackson merupakan codependent relationship. Ini adalah hubungan yang memprioritaskan pasangan, sampai mengorbankan kebutuhan dan keinginannya sendiri.
Melansir Psych Central, sebenarnya istilah codependency mulai dikenal sejak 1936. Waktu itu, Bill Wilson dan Dr. Robert Holbrook Smith membuat gerakan Alcoholics Anonymous (AA). Kemudian, muncul 12-Step, program pemulihan bagi keluarga dan pendamping mereka yang alkoholik. Baik AA maupun 12-Step bertujuan untuk memberikan dukungan, dengan saling menceritakan pengalaman mereka.
Saat ini, codependency memiliki definisi lebih luas, tidak terbatas pada relasi seseorang yang alkoholik. Konselor profesional Brandy Porche melihat, codependency mengarah pada perilaku yang cenderung memperbaiki dan mengontrol pasangannya. Ujung-ujungnya malah berpengaruh pada sikap dan perasaannya sendiri.
Seperti karakter Ally yang tidak bisa menentang permasalahan minum Jackson. Meskipun ia tidak menyukai kebiasaan suaminya, Ally menganggap keberadaan Jackson membuatnya merasa lebih baik.
Keberadaan Jackson yang berhasil mengurangi insecurity terhadap penampilan fisiknya, membuat Ally merasa perlu menyenangkan Jackson. Sementara, laki-laki itu sendiri memiliki beban emosional dari trauma masa kecil, dan tidak mampu mengutarakan perasaannya. Hal ini membuat Ally semakin berempati dan tidak ingin meninggalkannya.
Porche menilai, perilaku itu muncul dalam hubungan codependent karena muncul rasa bertanggung jawab terhadap pasangannya. “Tapi tanggung jawab itu jadi enggak rasional dan enggak objektif, karena menganggap dirinya sebagai penyelamat,” terangnya kepada Cosmopolitan.
Hal ini mengarah pada savior complex, atau keinginan untuk selalu membantu orang lain yang dirasa membutuhkan. Namun, bagaimana codependency relationship ini bisa terbentuk?
Baca Juga: Dukung dan Dengar Pasangan itu Baik, tapi Kita Bukan Terapisnya
Terjebak dalam Codependency Relationship
Pada dasarnya, setiap relasi memiliki latar belakang berbeda, hingga membentuk ketergantungan dalam hubungan. Misalnya akibat tidak mampu mencintai diri sendiri, ketika tidak menerima perhatian, validasi, dan kasih sayang orang lain. Karena itu, muncul perasaan diabaikan oleh pasangannya.
Namun, semua itu bisa berawal ketika seseorang berada di dalam sebuah keluarga. Terlebih jika ada anggota keluarga yang bergantung pada alkohol, maupun obat-obatan. Sama seperti karakter Ally, terbiasa merawat ayahnya yang juga alkoholik.
Dalam laporannya, lembaga nonprofit Mental Health America (MHA) mengatakan, codependency bersifat generasional. Umumnya terdapat pada keluarga disfungsional, yang kesehariannya dipenuhi dengan kemarahan, rasa takut, sakit, malu, dan diabaikan. Pun dalam keluarga ini, permasalahan tidak dilihat sebagai konflik yang perlu diselesaikan, sehingga segala bentuk kekerasan—fisik, seksual, dan emosional—berputar di dalamnya.
“Mereka cenderung mengabaikan emosi dan kebutuhannya,” sebut MHA dalam laporannya.
Baca Juga: Jadi ‘Si Paling Cinta’ Alias ‘Hopeless Romantic’, Salah Enggak Ya?
Kondisi emosional dan perilaku itulah yang berpengaruh pada kemampuan diri, dalam memiliki relasi yang sehat dan memuaskan. Akibatnya, mereka terjebak dalam lingkaran itu.
Mereka cenderung lebih tertarik pada kelemahan orang lain karena memiliki keinginan untuk membantu. Bahkan sampai mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraan diri. Pada akhirnya justru akan mengganggu perkembangan diri sebagai individu, dan kembali menjadi “korban” dalam relasi tersebut.
Meskipun kelihatannya bertujuan untuk mendukung, seharusnya dorongan untuk merawat diri sendiri tetap diberikan. Tujuannya agar pasangan mampu memberdayakan dirinya secara perlahan. Pun relasi yang sehat sebaiknya memiliki keinginan untuk tumbuh bersama, dan dilandaskan pada menghargai terhadap satu sama lain. Bukan membebankan sepihak.
Baca Juga: ‘Anxious Attachment’: Saat Kamu Insekyur Takut Ditinggal Pacar
Perlukah Akhiri Hubungan?
Untuk dikategorikan sebagai hubungan sehat, yang dibutuhkan dalam hubungan romantis adalah interdependence—ketergantungan terhadap satu sama lain.
Kepada WHYY, Shawn Burn, psikolog asal AS, menggambarkan hubungan seperti diagram Venn. Menurutnya, ada momen di mana pasangan saling berbagi dan merawat satu sama lain. Kemudian, di waktu tertentu mereka tetap dua individu berbeda yang memiliki kehidupan masing-masing. Alhasil, keduanya memiliki kesempatan untuk berkembang.
Di sisi lain, relasi codependence tergolong tidak sehat, karena dapat dikatakan lebih banyak menyiksa secara emosional. Masih menurut laporan yang sama dari MHA, orang dengan ketergantungan cenderung mempertahankan hubungan secara sepihak, bersikap abusive, dan mengganggu secara emosional.
Maka itu, apabila kamu berada di dalamnya, mungkin sudah saatnya untuk merefleksikan hubungan tersebut. Apakah selama ini kamu satu-satunya yang merawat relasi sekaligus pasangan, dan tidak menerima perbuatan yang sama. Ketika itu sudah dilakukan, kamu juga bisa melihat kembali, apakah relasi itu dipengaruhi oleh masa kecil dan hubungan dengan keluarga.
Yang enggak kalah penting untuk dipahami, sebenarnya enggak ada yang salah dari membutuhkan, mencintai, dan ingin membantu orang lain. Asalkan itu enggak menomorduakan kebutuhanmu, dan memprioritaskan pasangan.
Comments